Raka Kamandaka kemudian masuk ke dalam kerumunan warga. Dia ingin melihat jenazah Aki Uli untuk yang terakhir kalinya. Selain itu, diapun ingin bicara dengannya.
Apakah mayat bisa bicara?
Bagi orang lain tentu tidak bisa. Tapi bagi Raka, sudah pasti bisa.
Sesampainya di dalam, dia mendekati Ki Jaya. Ki Jaya adalah salah satu sesepuh juga yang ada di desa itu.
"Ki, aku ingin melihat jenazah Aki Uli untuk yang terakhir," kata Raka sambil menepuk pundak Ki Jaya.
Orang tua itu memandangi wajahnya dengan seksama sambil memastikan siapakah yang menepuk pundaknya. Ternyata Raka, Ki Jaya jelas mengetahui siapa dirinya.
Di daerah sekitarnya, memangnya siapa yang tidak mengenal Raka? Terutama kepada keluarga Kamandaka nya itu?
Siapapun pasti mengenalnya.
"Aih, Aki kira siapa. Baik, Den Raka. Silahkan," ucap Ki Jaya mempersilakan dengan isyarat tangan.
Raka mengangguk. Dia langsung masuk ke dalam ke tempat di mana mayat Aki Uli berada.
Orang-orang disuruh keluar untuk sementara. Sekarang yang ada di dalam sana hanya ada Raka dan Ki Jaya saja. Tiada orang lain kecuali mereka.
Raka memperhatikan seluruh anggota tubuh Aki Uli. Dia memandangnya lebih teliri lagi. Baginya, kematian orang tua itu jelas sangat ganjil. Seingat Raka, Aki Uli tidak mempunyai seorang musuh pun.
Tapi kenapa dia bisa tewas mengenaskan seperti ini? Apa yang menjadi alasan orang itu membunuhnya?
"Kematian Aki Uli sungguh ganjil. Aku yakin ada alasan kuat di balik semua peristiwa ini," ucap Raka setelah puas memeriksa mayatnya.
"Memang sangat ganjil Den. Seingatku, Aki Uli tidak punya musuh, dia juga tidak punya masalah. Rasanya aneh kalau ada orang yang membunuhnya begitu saja," jawab Ki Jaya.
"Apakah karena kemarin aku telah mempercayakan harta peninggalan orang tuaku kepadanya?" tanyanya sambil berkerut kening.
Ki Jaya terlihat sedikit kaget. Orang tua itu tidak tahu sama sekali tentang hal ini. Padahal, Aki Uli dan Ki Jaya bukan orang lain. Keduanya merupakan sahabat lama, sahabat sejak muda.
Bahkan menurut cerita yang beredar, kedua orang tua itupun pernah mengembara bersama dalam dunia persilatan. Namanya dikenal oleh banyak kalangan, sepak terjangnya juga membuat siapapun kagum.
Pada tokoh aliran putih sangat segan kepada mereka. Sedangkan tokoh aliran hitam merasa jeri dan takut. Kalau ada orang yang membicarakan keduanya di hadapan tokoh-tokoh aliran hitam, niscaya mereka bakal merasa bulu kuduknya berdiri.
Dulu, nama Pendekar Tapak Bara (julukan Aki Uli) dan Si Golok Terbang (julukan Ki Jaya dahulu) sangatlah termashur.
Tapi sekarang? Setelah mereka mengundurkan diri dari dunia penuh pertarungan itu, perlahan-lahan namanya mulai dilupakan.
Hampir tidak ada para pendekar generasi sekarang yang mengetahui siapa mereka itu, kecuali hanya pada tokoh yang satu generasi dengannya.
Apakah kehidupan manusia memang begitu? Ketika lama tidak muncul di dunia ramai, benarkah namanya akan dilupakan begitu saja, tanpa mengingat jasa-jasanya?
"Jadi, Raden menitipkan semua harta peninggalan keluarga Kamandaka kepada Aki Uli?" tanyanya di tengah keterkejutan itu.
"Benar Ki, tak disangka akibatnya justru malah seperti ini," ujar Raka sambil menghela nafas.
"Di dunia ini memang banyak kejadian yang tidak disangka-sangka,"
Raka Kamandaka kemudian terdiam. Pemuda itu sepertinya sedang berpikir terkait kejadian semua ini. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa banyak sekali manusia yang menginginkan hartanya.
Apakah karena harta peninggalan keluarganya sangat banyak? Ataukah masih ada keinginan lain selain harta kekayaan itu?
"Apakah Ki Jaya tahu siapa saja pendekar yang menggunkan golok di Tanah Pasundan?"
"Sudah tentu sangat banyak sekali Den,"
"Aku tahu, maksudku siapa saja para pendekar golok yang sanggup membunuh Aki Uli itu,"
"Mungkin hanya ada tiga orang tokoh saja Den,"
Sorot mata Raka Kamandaka semakin bersinar. Sedikitnya dia sudah mempunyai harapan karena ucapan Ki Jaya barusan. Bisa saja di antara mereka merupakan pelakunya.
Bukankah hal itu sangat masuk akal?
"Siapa saja mereka itu Ki?" tanyanya antusias.
"Pendekar Golok Setan, Dua Golok Perenggut Nyawa, dan satu lagi, si Golok Ular …" ucap Ki Jaya.
Pada saat menyebutkan nama itu satu-persatu, tampak Ki Jaya merasa jeri sekaligus segan. Siapapun tahu, setiap orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persilatan pasti tahu pula, sebab tiga nama yang baru saja disebut itu bukan nama kosong.
Ketiganya merupakan nama-nama yang pernah menggetarkan dunia persilatan. Tiga puluhan tahun lalu, konon ilmu golok mereka tidak ada yang dapat mengalahkannya. Kalaupun ada, pasti jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang.
Raka Kamandaka pernah mendengar ketiga nama itu dari mendiang gurunya. Sehingga sedikit banyak pemuda itupun tahu bagaimana kehebatan mereka.
"Hanya tiga orang itu saja?"
"Ya, hanya itu saja,"
"Mungkinkah salah satu di antara mereka merupakan pelaku yang membunuh Aki Uli?"
"Hal ini bisa iya, bisa tidak,"
"Baiklah kalau begitu. Terimakasih untuk informasi yang telah Ki Jaya berikan," tukas Raka Kamandaka.
Ki Jaya mengangguk. Setelah itu orang tua tersebut segera berlalu kembali. Dia sudah berniat untuk mengurus pemakaman Aki Uli, sahabat sejatinya.
###
Malam telah datang. Kegelapan menyelimuti alam mayapada. Suasana di rumah Aki Uli sudah sepi sunyi. Semua orang yang tadi melayat, kini telah kembali ke kediamannya masing-masing.
Di rumah Aki Uli tiada siapapun. Hakikatnya dia memang tinggal seorang diri. Istrinya sudah lama meninggal, seumur hidupnya, orang tua itu tidak mempunyai keturunan.
Oleh sebab itulah dia sangat menyayangi Raka Kamandaka seperti menyayangi cucunya sendiri. Begitu juga dengan Raka, pemuda itupun sudah menganggap Aki Uli sebagai kakeknya sendiri.
Sekarang pemuda berjuluk Pendekar Pedang Pencabut Nyawa itu sedang berada di sekitar makam Aku Uli. Raka bersembunyi di antara rimbunnya daun pohon. Dia duduk di sebuah dahan dengan tenangnya.
Apa yang dia lakukan?
Sebenarnya pemuda itu sedang menunggu. Menunggu seseorang yang menurut firasatnya bakal datang.
Bagaimanapun juga, dia merasa di balik kematian Aki Uli ada sesuatu yang sangat luar biasa. Apalagi dia tahu kalau harta orang tua itu masih tersimpan rapi di dalam rumahnya.
Setelah hampir sepeminum teh menunggu, ternyata firasatnya terbukti. Ada dua orang yang datang ke rumah Aki Uli.
Keduanya memakai pakaian merah dan biru tua. Mereka sama-sama pria yang usianya sudah lumayan tua. Tidak berapa lama setelah itu, muncul juga delapan orang lainnya. Semuanya memakai cadar hitam. Penampilan mereka mirip seperti ninja di negeri Jepun (Jepang) sana.
Siapa mereka? Apa pula tujuannya malam-malam begini datang ke rumah Aki Uli yang sangat sepi itu?
Raka Kamandaka membetulkan posisi duduknya. Dia membuka beberapa helai dedaunan yang menghalangi pandangan matanya. Pemuda itu ingin mengetahui dengan jelas apa yang akan mereka perbuat.
Malam semakin larut. Suasana semakin hening. Dua orang yang pertama datang itu sekarang sedang berdiri persis di hadapan makam Aki Uli.