Pendekar Pedang Pencabut Nyawa memasang telinganya dengan tajam. Kalau dia sudah seperti ini, jangankan suara manusia, bahkan kasarnya suara semut pun dapat didengar olehnya.
Pada waktu berguru kepada Eyang Pancala Sukma, terkadang Raka mendapat gemblengan pelatihan yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain.
Pernah suatu ketika dirinya disuruh mendengarkan suara lalu menebak berapa jumlah semut yang sedang berjalan pada dinding goa hanya mengandalkan pendengarannya saja.
Pada awalnya Raka memang kesulitan. Bahkan pemuda itu berpikir kalau latihan ini hanya sia-sia saja. Bagaimana tidak, dia disuruh mendengarkan langkah semut. Memangnya pada saat berjalan, semut-semut itu bakal mengeluarkan suara?
Kalau pun benar mengeluarkan suara, bukankah suara itu teramat sangat lirih?
Konyol bukan? Manusia mana yang pernah berpikir tentang adanya latihan selucu ini? Mungkin tidak ada.
Tapi memang begitu kenyataannya. Seiring berjalannya waktu, pada akhirnya toh dia bisa juga melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh gurunya tersebut.
Karena alasan itulah pada saat ini dirinya yakin bisa mendengarkan percakapan dua orang pria tua asing tersebut. Perduli bagaimanapun mereka memelankan suaranya, dia yakin dirinya dapat mendengar.
Raka percaya akan hal tersebut. Sebab telinganya tidak pernah membuat ia kecewa.
"Bagaimana dengan tugasmu?" tanya si orang berpakain merah memulai pembicaraan.
Orang ini mempunyai rambut yang hitam dan panjang. Dia juga memakai ikat kepala berwarna hitam pekat sehingga menambah keangkeran dalam dirinya. Wajahnya sudah dipenuhi oleh keriput. Hidungnya bengkok mirip paruh burung elang. Sepasang matanya juga tajam seperti burung perkasa itu.
Meskipun sekarang sedang bicara dengan rekannya sendiri, tapi dia tetap berlaku waspada. Orang itu memang sangat waspada, kapan pun, di mana pun. Dia pasti waspada. Di pinggangnya ada sebatang golok berwarna hitam dengan gagang ular sendok yang terbuat dari taduk kerbau pilihan.
"Aku berhasil menjalankan tugasku dengan baik, Dursasana …" jawabnya serius.
"Hahaha, bagus, bagus sekali. Permainan si Golok Ular memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Ternyata kehebatan permainan golokmu itu memang bukan isapan jempol belaka," ujar si pria yang berpakaian biru tua yang dipanggil Dursasana.
Nama Golok Ular memang tidak asing lagi. Semua orang-orang dunia persilatan tahu bagaimana kehebatan jurus-jurus goloknya
Golok Ular. Sesuai dengan namanya. Orang itu selalu menyerang menggunakan golok pusaka nya, setiap serangan yang dia lancarkan untuk lawannya mengandung hawa kematian tersendiri.
Semua jurusnya merupakan jurus-jurus yang mengandalkan kecepatan. Kalau ada orang awam yang kebetulan menyaksikan pertarungannya, pasti orang itu tidak akan mampu melihatnya karena saking cepatnya permainan golok tersebut.
Orang-orang dunia persilatan sangat segan kepadanya. Terlebih mereka yang satu aliran dengan si Golok Ular. Sedangkan para pendekar aliran putih kebanyakan takut kepadanya karena semua orang sudah tahu bagaimna hebat dan cepatnya permainan golok orang itu.
"Kau terlalu memujiku. Lantas bagaimana, apakah kau sendiri sudah menyelesaikan tugas yang diberikan?"
"Tentu saja, sekarang aku yakin tidak akan ada orang lain yang mau ikut campur dengan persoalan ini," jawab Dursasana.
"Memangnya kenapa?" tanya si Golok Ular sambil mengerutkan keningnya.
"Karena orang-orang yang tadinya ingin ikut campur sudah aku berikan peringatan,"
"Bagus sekali. Aku percaya kalau si Cambuk Maut memang orang yang sangat pemberani. Setiap orang tahu akan hal ini …, hahaha," si Golok Ular tertawa lantang mendengar jawaban rekannya yang berjuluk si Cambuk Maut.
Dia tahu, rekannya yang satu ini paling besar nyalinya. Kepada siapapun dia tidak mengenal rasa takut. Jangankan kepada musuh, bahkan kepada Raja sekalipun, si Cambuk Maut tidak takut.
Malah sebagian orang ada yang bilang kalau dia memakan nyali harimau sehingga dalam hidupnya tidak pernah takut. Menghadapi persoalan apapun, berhadapan dengan siapapun, si Cambuk Maut selalu berani.
Dalam hidupnya, dia hanya takut kepada satu orang. Yaitu si 'dia' yang menjadi atasannya saat ini.
Kalau benar tidak mengenal rasa takut, lantas kenapa dia takut kepada atasannya sendiri? Apakah karena orang itu majikannya? Atau karena ada persoalan lain?
"Memang bagus. Tapi masih ada satu orang yang sudah aku peringatkan namun masih juga ngeyel," katanya sangat gemas.
"Hemm, siapakah orangnya? Apakah dia tidak takut akan keganasan cambukmu itu?"
"Ki Jaya," jawabnya dengan nada mendalam.
"Ki Jaya? Maksudmu si Golok Terbang?"
"Ya, memangnya siapa lagi kalau bukan dia? Di dunia ini, bukankah tidak ada orang yang mempunyai julukan si Golok Terbang selain dirinya?"
Memang benar, di kolong langit ini tidak ada lagi si Golok Terbang kecuali hanya Ki Jaya saja. Golok Terbang hanya satu. Ki Jaya pun cuma seorang.
Ternyata meskipun dia sudah lama mengundurkan diri dari dunia persilatan, tapi namanya masih bisa menggetarkan tokoh seperti si Cambuk Maut itu.
"Hemm, apakah kau takut kepadanya?"
"Aku sama sekali tidak takut. Aku hanya belum yakin akan kemampuanku kalau menghadapi permainan goloknya,"
"Kenapa mesti belum yakin? Aku sendiri menggunakan golok,"
"Aku tahu, karena itulah aku ingin meminta bantuanmu,"
"Apa yang bisa aku bantu?"
"Besok senja hari di kaki Gunung Puteri, datanglah ke sana. Dia menantangku untuk bertarung, kalau sampai dia kalah, maka dirinya tidak akan ikut campur lagi,"
"Kalau sampai dia menang dan kau yang kalah?"
"Mungkin itu adalah hari terakhirku melihat dunia," jawab si Cambuk Maut dengan ekspresi wajah serius.
"Hemm, tenanglah. Aku pasti akan datang ke sana besok hari,"
"Baiklah, terimakasih. Sekarang kita selesaikan dulu tugas yang satu lagi," kata si Cambuk Maut.
"Baik …"
"Kalian, cepat periksa seluruh rumah Ki Uli! Semua barang berharga, ambil dan jangan ada yang tersisa," perintah si Golok Ular kepada delapan orang berpakaian serba hitam yang datang bersamanya.
"Baik, kami mengerti …" jawab mereka serempak.
Begitu selesai berkata, delapan orang itu langsung bergerak cepat laksana kilat. Gerakannya lincah dan cekatan. Setiap apa yang mereka lakukan sepertinya merupakan hal yang biasa bagi orang-orang itu.
Selama mendengarkan percakapan tadi, Raka Kamandaka hanya diam tanpa suara. Meskipun dia sangat marah dan ingin sekali menghajar mereka semua, namun keinginan itu sebisa mungkin ditahan olehnya.
Dia tahu, saat ini bukan waktu yang tepat untuk bergerak. Sekarang hanyalah saat untuk menyelidiki persoalan yang rumit ini.
Wushh!!!
Tubuhnya tiba-tiba melesat laksana burung elang. Gerakannya sangat cepat dan ringan seperti asap. Hanya sesaat saja, Raka sudah berada jauh dari tempatnya semula.
Rumah Aki Uli cukup besar. Layaknya orang-orang kaya yang mempunyai rumah mewah dan megah, delapan orang itu mulai menjalankan tugasnya masing-masing. Setiap tempat, setiap ruangan, mereka periksa dengan seksama.
Namun pada saat seperti itu, mendadak muncul satu bayangan berwarna putih tepat di hadapan mereka semua.
"Keluar sebelum aku marah …" katanya sambil menatap tajam kepada mereka.
Nadanya datar. Ekspresi wajahnya juga dingin. Dingin seperti gunung es nun jauh di sana.