Sekarang Raka sudah berada di dalam sebuah goa. Goa yang biasa dipakai gurunya untuk melakukan pertapaan. Di goa inilah Eyang Pancala Sukma sering menurunkan ilmu-ilmu yang beliau miliki kepada murid satu-satunya itu.
Dan di tempat ini juga, Raka Kamandaka menemukan gurunya sudah tidak bernyawa.
Jika teringat kembali saat itu, hatinya selalu sakit. Selalu perih. Lebih perih daripada ditinggal oleh kekasih yang sangat dicintai.
Dendamnya berkobar kembali. Amarahnya memuncak lagi.
Raka kembali memeriksa keadaan goa tersebut. Seluruhnya dia periksa. Batu-batu dia angkat, tumpukan apapun yang ada di sana dia singkirkan.
Tujuannya hanya satu, dia sedang mencari petunjuk. Dan dia yakin akan menemukan petunjuk yang dimaksud.
Setelah beberapa saat mencari, pada akhirnya perjuangan Raka Kamandaka membuahkan hasil. Dia mendapatkan petunjuk tersebut.
Walaupun petunjuk itu lain daripada yang lain, namun dia yakin suatu saat akan menemukan siapa pelaku yang sudah membunuh gurunya, Eyang Pancala Sukma.
Sebuah kain berwarna merah darah telah tergenggam erat di tangan kanannya. Kain itu robek, sepertinya ketika gurunya bertarung, beliau berhasil merobek kain si pelaku.
Walaupun hanya sehelai kain robek, tapi pemuda tersebut yakin bahwa itu saja sudah cukup.
Tetapi, berapa banyak orang yang memakai kain berwarna merah? Berapa banyak juga kain merah di dunia ini? Buaknkah sangat banyak?
Lantas, apakah benar bahwa hanya petunjuk itu saja sudah cukup?
Bagi orang lain mungkin sangat tidak cukup. Tetapi bagi seorang pemuda bernama Raka Kamandaka, justru itu sudah sangat lebih daripada cukup.
Karena dia lain daripada orang lain.
Setelah beberapa saat berdiam seperti patung, Raka Kamandaka mencari kembali petunjuk yang masih mungkin bisa dia temukan.
Sebab dirinya yakin, mustahil jika pelakunya hanya seorang. Pasti orang yang telah membunuh gurunya lebih dari satu orang. Karena dia sendiri tahu sampai di mana kemampuan yang dimiliki oleh orang tua itu.
Kembali Raka Kamandaka menemukan satu petunjuk. Di dalam cangkir yang terbuat dari bambu bitung, pemuda itu menemukan sebuah bubuk berwarna putih kehitaman. Mirip seperti pasir, tetapi bukan pasir.
Racun. Pasti racun inilah yang sudah membunuh gurunya.
Kalau racun tersebut sangat ganas, lantas kenapa bisa banyak luka tusukan di jenazah Eyang Pancala Sukma?
Racunnya mungkin memang sangat ganas. Namun sepertinya racun itu saja belum cukup untuk membunuh seorang datuk dunia persilatan seperti dirinya.
Apalagi dia dikenal dengan ilmu-ilmu yang menggetarkan kolong langit. Bagaimana mungkin dia bisa mati hanya karena diracun?
Alasan yang paling mungkin adalah setelah terkena racun, beberapa orang pelaku langsung menyerangnya secara membambi buta. Sehingga puluhan tusukan bersarang di tubuhnya.
Walaupun begitu, Eyang Pancala Sukma pasti sempat melawan beberapa saat sebelum tubuhnya benar-benar tidak kuat. Dapat dipastikan bahwa beliau bertarung sengit sehingga secara tidak disengaja, dia berhasil memberikan petunjuk untuk muridnya.
Terkadang sesuatu yang tidak disengaja memang mendatangkan suatu hal diluar dugaan.
Petunjuk lain yang berhasil Raka dapatkan adalah serpihan sebuah bambu berwarna hijau tua.
Tiga bukti sudah dia temukan. Sekarang saatnya untuk mencari hal lain. Bagaimanapun caranya, dia harus menemukan siapa saja orang-orang yang sudah membunuh gurunya.
Raka menjejak kakinya, hanya dalam satu tarikan nafas, pemuda itu telah menghilang dari pandangan.
Di hutan tersebut kembali hening. Suara lolongan anjing dan serigala terdengar lagi. Tidak ada siapapun di sana. Kecuali hanya satu mayat yang darahnya mulai mengering.
Pemuda itu sengaja tidak menguburkannya. Biarlah mayat itu menjadi santapan hewan pemakai bangkai yang kelaparan.
###
Hari mulai terang tanah. Suasana di Kawasen telah ramai seperti biasanya. Warga setempat berlalu-lalang memulai aktivitas mereka. Yang berdagang sudah berteriak menjajakan barang dagangannya masing-masing.
Yang petani sudah ada di sawah ladang mereka, atau juga ada di sawah ladang tuan tanah setempat. Delman (dokar) yang membawa penumpang manusia ataupun barang hilir mudik tiada hentinya.
Raka Kamandaka berjalan dengan santai. Dia sudah terbiasa dengan keadaan semacam ini. Setiap hari, pasti dirinya selalu lewat jalan ini. Karena memang jalan inilah yang selalu dia pakai untuk pulang pergi dari rumah keluarganya untuk ke tempat gurunya. Begitu juga sebaliknya.
Setelah menempuh perjalanan beberapa saat, pada akhirnya Raka kamandaka telah tiba di depan sebuah bangunan megah. Rumah itu terbilang sangat mewah pada zaman tersebut, benteng setinggi satu tombak mengelilingi seluruh bagian rumah.
Pohon-pohon tumbuh subur di sekeliling benteng. Di kanan kiri terdapat pula rumah para tetangganya. Beberapa kali ada warga sekitar yang menyapa dirinya saat melihat pemuda itu kembali ke rumah.
Raka Kamandaka hanya menjawab singkat atau bahkan hanya sekedar melempar senyum. Berusaha untuk ramah dalam keadaan kalut, ternyata sangat sulit. Hampir sama sulitnya seperti makan di dalam air.
Inilah rumahnya. Rumah hasil jerih payah ayahnya dari menjalankan puluhan bisnis. Semua kenangan, baik suka ataupun duka, tersimpan di rumah yang sangat mewah ini.
Raka Kamandaka segera masuk ke sana, di sana sudah ada seseorang yang telah menunggu. Keesokan setelah kejadian tragis yang menimpa keluarganya, Raka memang meminta kakek tua itu untuk menyelidikinya. Selain itu, dia juga merupakan salah satu saksi atas peristiwa berdarah tersebut.
Seorang kakek tua berambut putih dengan jenggot dan alis mata putih, sedang berdiri menghadap ke arahnya datang sambil menaruh kedua tangannya di belakang.
"Sampurasun Aki (Kakek)" sapa Raka Kamandaka kepada kakek tua tersebut.
"Rampes Aden (Raden/panggilan khusus bagi orang yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat Sunda. Semisal keturunan bangsawan)" jawab kakek tua tersebut.
"Mari Aki, silahkan masuk," kata Raka Kamandaka lalu masuk ke dalam rumahnya diikuti oleh kakek tua tersebut.
Kakek itu duduk di sebuah kursi dari kayu jati yang mahal harganya. Raka pergi membuatkan kopi untuk dirinya sekaligus si kakek tua tersebut. Tidak lupa juga ada cemilan untuk mereka berdua.
"Aki, apakah Aki tahu persis kejadian yang menimpa keluarga Abdi (saya)?" tanya Raka dengan senyuman ramah. Dia sedang berusaha memndam perasaan dendam dalam dirinya.
"Tahu Den, bahkan Aki melihat sendiri," jawab si kakek yang biasa dipanggil Aki Uli itu.
Aki Uli adalah seorang sesepuh di tempat Raka Kamandaka. Usianya sekarang kira-kira sudah mencapai delapan puluh tahunan. Dulunya, dia juga merupakan seorang pendekar kenamaan. Sama seperti ayahnya.
Bahkan menurut berita tersiar, si Aki Uli ini pernah dijuluki sebagai Pendekar Tapak Bara. Sebab hanya dengan mengandalkan keahlian ilmu tapaknya, dia pernah menggetarkan dunia persilatan.
Tidak sedikit juga jago-jago kenamaan yang tewas di ujung tapaknya.
Sehingga sampai sekarang, walaupun usianya sudah tua, Aki Uli ini tetap dihormati dan disegani oleh setiap orang, terlebih oleh warga sekitarnya.
Bahkan biasanya, semua permasalahan yang menimpa warga sekitar, kadang suka di urus hingga tuntas olehnya. Menurut warga setempat, tidak ada masalah yang tidak dapat dia selesaikan.
Masalah apapun, dia bisa menyelesaikannya. Baik masalah nyata maupun halus. Apalagi, dia juga terkenal dengan ilmu kabatinannya yang sudah mencapai taraf sukar untuk diukur.