"Apakah Aki bisa menceritakannya untukku?" tanya Raka Kamandaka.
"Pasti Den. Aki akan menceritakan apa yang Aki ketahui,"
Si Aki Uli itu menarik nafas dalam-dalam sebelum bercerita. Beberapa kali dia menghembuskan nafasnya. Seolah sedang mengeluarkan beban berat yang ada dalam benaknya. Seperti tidak tega untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Apalagi dia sendiri masih membayangkan betapa mengerikannya peristiwa berdarah tersebut.
"Saat itu tengah malam, kebetulan Aki sedang meronda bersama para warga sekitar. Aki bersama tiga warga lainnya berkeliling kampung. Kebetulan lewat rumah Aden ini. Saat itu Aki melihat ada tiga puluhan orang berpakaian berbeda-beda sedang berusaha masuk ke dalam rumah. Aki mengikuti mereka dari belakang. Keadaan di rumah Aden sudah sepi. Sepertinya Tuan dan yang lain sudah tidur,"
"Aki tidak menahan mereka?" tanya Raka Kamandaka memotong cerita si Aki Uli.
"Niatnya Aki juga ingin masuk ke sana. Tetapi Aki malah dihadang oleh sepuluhan orang berpakaian serba hitam. Kemampuan mereka juga cukup lumayan, sehingga sedikit merepotkan. Singkat cerita setelah bertarung beberapa saat, Aki sudah berhasil membereskan orang-orang itu. Tapi ketika Aki menuju ke rumah Aden, semuanya sudah berubah,"
"Tiga puluhan orang tadi sudah tidak ada. Mereka hilang entah ke mana. Tidak ada yang tahu bagaimana perginya. Atau mungkin lewat pintu belakang, Aki tidak tahu juga. Karena penasaran, Aki memutuskan untuk masuk ke dalam,"
"Begitu masuk, keadaan di sana tak lebih dari tempat pembantaian. Mayat di sana sini. Darah menggenang, bau anyir menusuk hidung hingga membuat Aki terasa mual. Namun Aki berusaha untuk tetap menguatkan diri, Aki masuk semakin dalam mencari Tuan dan Nyai (Nyonya). Tapi semuanya sudah terlambat. Mereka berdua tewas. Ke sananya Aki yakin Aden juga tahu sendiri," ujar Aki Uli menceritakan peristiwa berdarah yang dia ketahui.
Raka Kamandaka memang tahu kelanjutan ceritanya. Dia melihat betapa semua keluarganya tewas dengan mata melotot. Mereka tewas seperti tidak percaya. Sepertinya dari sekian banyak orang-orang itu, ada salah satu orang yang dikenal keluarganya.
Namun siapa orang itu, sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti.
"Apakah di antara orang-orang itu ada yang Aki kenal?" tanya Raka Kamandaka terus mendesak Aki Uli.
Kakek tua itu tampak berpikir sebentar. Dia sedang mengingat-ingat kembali.
"Sepertinya ada Den,"
"Siapa Ki?"
"Ragadenta,"
"Hahh? Pa-paman Ragadenta ada di antara orang-orang yang membunuh Ayahku?" tanya Raka Kamandaka sangat tidak percaya.
Dia sangat tahu siapa itu Ragadenta. Ragadenta adalah pamannya sendiri. Adik kandung ayahnya. Memang dia merupakan orang-orang persilatan, bahkan cukup mempunyai nama juga di sungai telaga.
Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah benar dia termasuk pelakunya? Tega kah seorang adik kandung membunuh kakak kandung?
Atas alasan apa pula pamannya melakukan semua ini?
Raka Kamandaka melamun. Otaknya sedang berputar. Hatinya seperti jatuh ke jurang yang paling dasar. Dia sangat ingin tidak mempercayai ucapan Aki Uli itu.
Sayangnya Raka tidak bisa. Sebab siapapun tahu bahwa seumur hidupnya Aki Uli tidak pernah bohong. Sedikit pun tidak. Kalau kejadiannya A, maka tidak mungkin dia menceritakan B.
"Apakah Aki yakin?"
"Sangat yakin Den. Walaupun sudah tua, tapi mata Aki masih bisa dipakai dengan baik. Selain itu, Tuan Agung Kamandaka juga memanggil nama Ragadenta, sesaat sebelum Aki benar-benar sampai di sampingnya," kata Aki Uli.
Agung Kamandaka adalah nama ayahnya Raka Kamandaka. Kalau ayahnya sampai berteriak, berarti ucapan Aki Uli memang benar.
Hanya saja sampai sekarang Raka Kamandaka tidak habis pikir. Apa tujuan pamannya melakukan perbuatan sekeji ini?
"Siapa lagi yang sekiranya Aki ketahui?"
"Benggala Seta, Nyai Genit, orang-orang Perguruan Golok Hitam, dan beberapa tokoh lainnya lagi," jawab Aki Uli.
Raka Kamandaka semakin tertegun. Pantas ayahnya bisa tewas secara mengenaskan. Ternyata dia di keroyok oleh beberapa tokoh. Kedua adik dan ibunya mungkin di tangani oleh yang lainnya.
Raka Kamandaka menggeram sangat marah. Dendamnya kembali mencuat keluar. Hampir saja dia tidak bisa mengendalikan dirinya. Wajahnya sudah memerah. Begitu juga dengan matanya.
Jelas, sekarang pemuda itu sedang menahan amarah yang sangat besar.
"Aki, aku ingin meminta bantuan kepada Aki. Kalau Aki bisa menyanggupi permintaanku, aku sangat berterimakasih sekali. Tapi kalau tidak, tidak menjadi soal,"
"Permintaan apa dulu Den?" tanya Aki Uli belum mengerti.
"Aku minta tolong supaya Aki jaga dan rawat rumah serta semua bisnis Ayahku," kata Raka Kamandaka langsung ke permintaan intinya.
"Tapi Den, bisnis keluarga Kamandaka itu sangat banyak. Aki takut Aden tidak percaya," jawab Aki Uli ragu-ragu.
"Aki jangan khawatir, aku percaya," tukas Raka sambil menepuk pundak kakek tua itu.
Aki Uli sebenarnya ingin menolak permintaan Raka Kamandaka. Apalagi di usianya yang sudah setua sekarang. Tentu dia tidak akan sanggup untuk mengurus rumah dan semua bisnis yang ditinggalkan oleh Tuan Agung Kamandaka.
Namun setelah mengingat semua kebaikan itu kepadanya, maka mau tidak mau Aki Uli harus menerima permintaan Raka Kamandaka.
"Baiklah Den. Aki akan berusaha sebisa mungkin,"
"Terimakasih Ki. Kebaikan ini takkan aku lupakan,"
Aki Uli mengangguk sambil tersenyum. Keduanya meminum kopi yang sudah mulai dingin.
Suasana mendadak hening. Raka Kamandaka tidak tahu harus dari mana dia memulainya. Namun hatinya sudah bertekad untuk membalas dendam atas kematian keluarga dan gurunya.
Sebab kalau tidak begitu, mungkin arwah mereka belum merasa tenang di alam baka.
"Apa yang akan Aden lakukan sekarang?" tanya Aki Uli memecah kesunyian.
"Aku sudah bertekad untuk membalas dendam Ki. Hanya saja, aku bingung dari mana memulainya,"
Aki Uli tersenyum. Dia sempat berada di posisi Raka Kamandaka waktu pertama kali berniat untuk terjun ke dunia persilatan. Sehingga saat pemuda itu berkata demikian, dia sudah tahu apa yang harus dikatakan.
"Aden harus mencari orang-orang yang bersangkutan dengan peristiwa ini. Cari juga sahabat Aden yang mungkin seorang pendekar, kalau memang ada. Minta bantuan kepada mereka untuk menyelidiki semuanya agar jelas. Supaya Aden mendapatkan informasi, baik tentang dunia persilatan ataupun sebagainya, Aden tinggal cari saja kedai yang ramai. Niscaya Aden akan mendapat apa yang diinginkan," kata Aki Uli memberikan saran.
Raka Kamandaka tersenyum gembira. Akhirnya sekarang dia tahu apa yang harus dilakukan. Setelah mendapat saran dari Aki Uli, sedikit banyak pemuda itu sudah mendapatkan gambaran apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
"Baik Ki. Terimakasih, malam nanti aku akan memulai pengembaraan,"
"Baik, Aki akan selalu mendoakanmu Den. Pesan Aki, Aden harus selalu waspada. Sebab orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persilatan itu kebanyakan mereka yang licik. Selalu mementingkan diri sendiri, tidak memikirkan orang lain. Aden harus bisa membedakan jenis-jenis orang seperti ini. Mana yang harus dijadikan sahabat, mana yang tidak. Tindak tandukmu akan mendapatkan balasan yang setimpal. Karena itu, berbuat baiklah walau di manapun Aden berada. Kalau Aden ingin dianggap manusia, maka Aden harus memanusiakan manusia,"
"Terimakasih Ki. Aku pasti akan mengingat semua wejangan Aki," ujar Raka Kamandaka penuh rasa terimakasih.