Malam.
Rembulan bersinar terang bersama bintang yang bertaburan di angaksa raya. Cahayanya memberikan keindahan tersendiri. Ada secercah sinar mirip pelangi yang mengelilingi Sang Dewi malam.
Suara kelelawar berdecit bersahutan. Suara lolongan anjing terdengar di kejauhan sana. Semilir angin menerpa lembut seperti belaian kekasih. Bau harum bunga mawar dan melati tercium membawa kenyamanan bagi siapaun yang menciumnya.
Raka Kamandaka sudah membersihkan dirinya. Sekarang dia telah mengganti pakaian berwarna putih ringkas dengan corak biru. Aki Uli berdiri di sampingnya.
Kedua orang tersebut sedang berdiri tepat di depan pintu. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, Raka Kamandaka akan memulai pengembaraannya untuk mencari tahu siapa yang sudah membunuh guru dan keluarganya.
Selain daripada itu, dia juga ingin menjalankan wasiat dari gurunya untuk memberantas kejahatan dan membela kebenaran.
Sebagai murid yang taat, Raka tentu saja akan menuruti perintahnya meskipun orangnya kini sudah tiada. Pula, menjadi seorang pendekar adalah impiannya sejak dulu.
Namun belum sempat pemuda itu berpamitan kepada Aki Uli, mendadak kakek tua itu tersentak kaget. Sebab kini secara tiba-tiba, di atas tembok sudah berdiri seorang berpakaian serba hitam. Memakai cadar pula.
Sepertinya orang asing itu berniat untuk masuk ke rumahnya. Sayangnya saat itu ada orang, sehingga begitu tahu bahwa di rumah tersebut ada orang lain, seketika dia langsung melompat lalu pergi kembali.
Kejadian ini berlangsung dengan sangat cepat. Maka dari itu, Aki Uli juga langsung memberitahu Raka Kamandaka.
"Di atas tembok ada orang Den. Sepertinya dia berniat buruk. Sayangnya kini dia sudah pergi lagi," kata Aki Uli.
"Benarkah? Ke mana larinya orang itu Aki?"
"Sepertinya dia menuju ke arah Utara,"
"Baiklah. Sampai jumpa lagi Ki. Sampurasun …"
Selesai berkata demikian, Raka Kamandaka langsung menjejakkan kakinya lalu melesat dengan sangat cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah terhitung ke dalam jago kelas satu.
Hanya dua helaan nafas, pemuda itu sudah menghilang dari pandangan mata.
Aki Uli juga merasa kaget saat menyadari bahwa ilmu meringankan tubuh Raka Kamandaka sedemikian tingginya. Pantas saja dia bertekad untuk terjun ke dunia persilatan, begitu pikirnya.
"Dengan kepandaian yang dia miliki seperti sekarang ini, rasanya hanya segelintir orang saja yang mampu melukainya. Tinggal mencari pengalaman dan meningkatkan kesempurnaan tenaga dalam, kalau semuanya berhasil, niscaya dia akan menjadi pendekar tanpa tanding," gumam Aki Uli dengan sinar mata berbinar-binar.
Dia kemudian masuk ke dalam rumah untuk membereskan barang-barang dan mengunci rapat-rapat. Setelah itu, Aku Uli segera pergi kembali untuk melakukan persiapan esok hari dan menjalankan tugasnya.
Sementara itu, Raka Kamandaka sampai sekarang masih terus mengejar orang tadi. Orang berpakaian dan bercadar serba hitam itu melesat masuk ke dalam hutan. Kemampuannya dalam hal ilmu meringankan tubuh memang patut diacungi jempol.
Sepertinya orang itu bukan tokoh sembarangan. Terbukti sekarang, sudah beberapa saat Raka Kamandaka mengejarnya, namun orang itu masih bisa berada di depannya. Meskipun memang jarak mereka tidak selisih terlalu jauh.
Malam semakin larut. Bulan telah menggeser ke Barat. Entah sudah berapa lama Raka Kamandaka mengejar orang tersebut. Dia sudah melewati beberapa desa, kebun, sawah ladang bahkan hingga hutan dan hutan lagi.
Baru sekarang pemuda itu merasa curiga, sepertinya dia sedang dijebak.
Dan dugaanya memang tidak salah. Setelah sekian lama berlari, akhirnya orang berpakaian serta bercadar hitam itu mendadak berhenti lalu membalikkan badannya ke arah Raka Kamandaka.
Sinar matanya mencorong tajam. seperti sinar mata seekor harimau di malam hari yang sedang mengincar buruannya.
Suasana di hutan tersebut sangat sepi. Hanya terdengar suara lolongan serigala yang menyeramkan.
"Siapa dan apa tujuanmu datang ke rumahku?" tanya Raka Kamandaka dengan tatapan mata penuh selidik.
Orang tersebut tersenyum misterius di balik cadarnya. Walaupun Raka Kamandaka tidak dapat melihatnya secara langsung, namun dia bisa melihat dari balik matanya.
"Kau Raka Kamandaka, anak dari Agung Kamandaka?" tanya orang tersebut. Suaranya cukup menyeramkan, suara tersebut mendatangkan perasaan ngeri tersendiri bagi yang mendengarnya.
"Benar. Lalu, siapakah saudara ini? Apakah bisa memperkenalkan diri kepadaku?" tanya Raka Kamandaka berusaha sedikit ramah.
"Kau belum cukup pantas untuk mengetahui namaku," jawab orang itu dengan dingin.
Pemuda itu semakin dibuat bingung. Dalam hatinya dia terus bertanya-tanya, siapakah orang tersebut?
Kenapa pula dia menanyakan identitas dirinya. Meskipun belum mengetahui masalah secara jelas, namun Raka sudah dapat meraba-raba bahwa di balik semua ini, pasti ada persoalan yang menyangkut keluarganya. Terlebih lagi ayahnya sendiri.
"Kalau begitu, apa sebenarnya masalahmu denganku? Kita baru berjumpa sekali ini, aku rasa tidak ada permasalahan di antara kita,"
"Memang tidak. Namun kau pantas untuk mati,"
"Kenapa?"
"Karena kau anak dari Agung Kamandaka,"
"Apakah itu artinya semua keluarga Kamandaka harus mati? Meskipun tidak tahu apa-apa?"
"Benar. Wajib mati,"
"Aku hanya ingin tahu apa masalah sebenarnya," pinta Raka Kamandaka.
"Untuk membunuhmu, ada masalah atau tidak ada masalah, adalah sama saja. Asal ada keinginan untuk membunuh, itu saja sudah cukup," jawab orang bercadar tersebut.
Raka Kamandaka mulai kesal dibuatnya. Namun dia masih mencoba untuk menahan amarahnya sebisa mungkin. Karena jika akan menghadapi sebuah pertarungan, minimal kau harus bisa menguasai amarahmu.
Sebab jika sampai tidak bisa menguasai amarah, maka kau akan bertarung seenaknya. Dan hal itu sangat berdampak pada jalannya pertarungan.
"Baik. Aku mengerti," jawab pemuda itu.
"Bagus. Kalau begitu, terima seranganku,"
Begitu ucapannya selesai, orang bercadar hitam tersebut segera melancarkan serangan pertamanya.
Wushh!!!
Desiran angin tajam langsung terasa merobek kulit. Mendadak cahaya putih berkilat di tengah gelapnya malam.
Ternyata orang tersebut sudah mencabut sebatang golok. Entah kapan dia melakukannya, namun begitu tubuhnya hampir tiba, golok tersebut sudah lebih dahulu menusuk ke bagian tenggorokan Raka Kamandaka.
Tapi belum sempat mengenai sasaran, Raka Kamandaka sudah menghindari serangan lebih dulu. Kepalanya berkelit ke samping kanan. Tangan kananya segera menepak punggung tangan lawan yang memegang golok.
Akibatnya senjata tajam tersebut berubah arahnya. Dalam kesempatan itulah Raka Kamandaka menyentil gatang golok.
Trangg!!!
Suara dentingan nyaring terdengar mendengung. Golok orang berpakaian serba hitam bergetar hebat. Kalau tidak disaluri tenaga dalam tinggi, sudah pasti golok itu kini sudah patah.
Untung tenaga dalam orang itu juga sudah lumayan tinggi. Sehingga goloknya masih utuh seperti sedia kala. Meskipun memang masih tetap bergetar hingga sekarang.
Raka Kamandaka tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Tubuhnya langsung berkelebat lalu melancarkan hantaman ke arah lawan dengan jurus Tapak Penggetar Sukma.
Tubuh orang tersebut segera terpental hingga terbang ke belakang. Untungnya dia sempat berjumpalitan dua kali. Tapi meksipun begitu, saat kakinya menjejak tanah, tubuh orang itu sudah terasa lemah.
Dia merasakan tenaganya hilang. Wajahnya seketika langsung pucat pasi.