Malam semakin larut. Rembulan tertutup oleh gumpalan awan kelabu.
Gelap. Segelap hatinya sekarang. Sepi, sunyi, seperti juga dirinya saat ini. Apakah hidup memang seperti ini? Apakah kesedihan selalu menghampiri manusia? Apakah kesepian juga sama?
Walaupun dia merupakan seorang pemuda. Seorang pendekar yang ilmunya sudah mumpuni, namun tetap bahwa dia juga seorang manusia biasa. Manusia seperti pada umumnya.
Untuk sekarang dan ke depannya? Ke mana dia akan mengadu? Ke mana dia akan meminta pendapat ataupun menceritakan pengalamannya? Semua keluarganya sudah tidak ada. Gurunya juga sama.
Semalang itukah nasibnya?
Kini dia hidup sebatangkara. Tak ada siapapun lagi di sisinya. Semua temannya sudah berpisah, entah mereka ada di mana. Mungkin sudah mempunyai kehidupannya masing-masing. Mungkin juga mereka sudah menjadi seorang yang kaya raya ataupun menjadi orang ternama.
Atau bahkan mereka sudah berbahagia sekarang. Apalagi yang sudah berkeluarga, mereka pasti sedang menikmati hari-harinya bersama anak dan istri.
Sedangkan dia? Nasibnya bertolak belakang dengan semua teman dan sahabatnya.
Di usia yang mencapai dua puluh tiga tahun, seharusnya Raka Kamandaka sudah menikah. Sudah mempunyai anak yang lucu dan menggemaskan. Tapi kenyataannya, dia masih jauh dari semua itu.
Dia masih berdiri seperti patung. Merenungi nasibnya yang malang.
Sekarang dia mengerti bagaimana rasanya kehilangan keluarga yang sangat dia sayangi. Ternyata rasanya sakit, lebih sakit daripada apapun.
Terbayang kembali semua kenangan bersama adik-adiknya. Teringat lagi saat dia bercanda tawa bersama ayah ibunya. Bayangan gurunya saat tersenyum dan mengajarkan ilmu kepadanya dengan tekun serta penuh kesabaran, semuanya bercampur menjadi satu.
Dendam yang ada semakin membara. Seperti lahar di gunung berapi. Dendam itu siap menyembur kapan saja.
Hutan yang sunyi, mendadak terdengar sesuatu yang mencurigakan dari balik semak belukar. Dia menengok ke arah suara itu, tetapi tidak ada apa-apa.
Dia kembali merenung. Keadaan sunyi kembali.
Namun secara tiba-tiba, Raka Kamandaka membalikkan badan lalu secepat kilat melancarkan pukulan dibarengi dengan tenaga dalam.
"Blarr …"
Sebuah batu hitam sebesar kerbau dibuat hancur hanya dengan sekali pukulan. Berbarengan dengan itu, seseorang melompat berjumpalitan sebelum akhirnya berdiri di hadapan pemuda tersebut.
"Siapa kau?" tanya Raka Kamandaka dengan suaranya yang dingin.
Suaranya sedingin gumpalan es. Wajahnya tanpa ekspresi. Seolah dia bukan lagi manusia. Karena jika manusia pasti mempunyai perasaan. Namun untuk saat ini, perasaan pemuda itu telah musnah. Entah jika hatinya sudah kembali tenteram.
Tetapi jika sekarang ada yang berani mengusik ketenangannya, siapapun orang itu, dia harus mati.
Orang yang kini ada di hadapannya adalah seorang pria tua. Usianya sekitar lima pilihan tahun, jenggotnya sudah tumbuh, kumisnya melintang seperti kumis lele.
Matanya mencorong tajam bagaikan mata seekor macan kumbang. Di pinggang sebelah kirinya tersoren sebatang golok agak besar. Walaupun belum dikeluarkan, tapi Raka Kamandaka tahu betul bahwa golok tersebut pasti sangat tajam.
"Orang yang akan mencabut nyawamu," jawab pria tua itu tidak kalah dingin.
"Atas alasan apa kau ingin membunuhku?"
"Ada alasan ataupun tidak ada alasan hasilnya sama saja. Untuk membunuhmu, tanpa alasan pun sudah cukup,"
"Kau yakin bisa membunuhku?"
"Kalau belum dicoba, bagaimana bisa tahu?"
"Tapi menurutku kau tidak akan mampu. Pergilah, kau belum pantas untuk mati di ujung pedangku,"
Mendengar perkataan yang penuh percaya diri tersebut, pria tua itu tertawa lantang. Suara tawanya menggema ke seluruh hutan. Lolongan serigala dan suara burung hantu langsung lenyap saat mendengar tawanya.
"Seyakin itukah dirimu?"
"Tentu. Karena aku yakin terhadap diriku sendiri,"
Raka Kamandaka memang pemuda yang keyakinannya tidak akan tergoyahkan. Dia tidak pernah bicara kalau dirinya sendiri tidak yakin. Namun sekalinya bicara, apa yang dia katakan, berarti hal itu sudah yakin bisa dia lakukan.
Walaupun kepalanya lepas, keyakinannya tidak akan pernah hilang.
"Bagus, kau memang pantas menjadi murid tua bangka itu,"
Yang dimaksud tua bangka tentu saja gurunya, Eyang Pancala Sukma.
Dadanya segera panas seperti dibakar. Siapapun, tidak boleh ada yang sembarangan menyebut nama gurunya yang mulia itu.
"Cabut ucapanmu. Kau boleh menghinaku, kau boleh mencaci maki sepuas hatimu, tapi jangan pernah kau menghina guruku,"
"Memangnya kenapa?" ejek pria tua itu.
"Itu artinya kau harus mati,"
"Bukankah kau yang bicara sendiri bahwa aku belum pantas mati di ujung pedangmu?"
"Tadi memang belum. Tapi sekarang sudah lebih dari pantas,"
"Kenapa?"
"Karena secara tidak langsung kau sudah menghina guruku. Cabut golokmu!!" ujar Raka Kamandaka dengan amarah yang sudah memuncak.
Tanpa banyak berkata lagi, pria tua itu segera mencabut goloknya. Sebuah golok yang benar-benar tajam. Ukurannya cukup besar dan sedikit lebih panjang dari golok pada umumnya.
"Aku sudah siap," katanya lalu memasang kuda-kuda yang kokoh.
"Bagus. Lihat serangan,"
Raka Kamandaka bergerak. Tubuhnya melesat secepat kilat menyambar bumi. Baru satu kedipan mata, dia sudah tiba di hadapan lawan.
Pedang Pencabut Nyawa sudah terhunus. Pedang itu menusuk ke arah tenggorokan. Tetapi lawannya ternyata memiliki kemampuan juga.
Dia sanggup menghindari serangan ganas tersebut dengan cara memiringkan kepalanya tepat pada saatnya.
Pemuda itu tidak berhenti. Dia melanjutkan serangannya, pedangnya bergerak ke samping kiri berniat untuk menggorok leher lawan.
Trangg!!!
Bunga api memercik lalu musnah tertiup angin malam. Golok si pria tua tampak bergetar. Wajahnya sedikit memerah seperti kepiting rebus.
Mungkin dia tidak pernah menyangka bahwa pemuda itu mempunyai tenaga dalam yang sedemikian sempurna.
Bukk!!!
Kaki kanan Raka Kamandaka menendang dadanya. Lawan terpental cukup jauh. Namun dia menjejak udara kosong kemudian meluncur membalas serangan.
Golok yang tajam tersebut segera bergerak meliuk-liuk seperti ular yang berniat mematuk mangsa. Gerakannya cepat dan aneh.
Raka Kamandaka sudah tahu kelihaian lawan. Dia tidak lagi bercanda, sekarang sudah saatnya untuk serius.
"Mengejar Bayangan Menembus Awan …"
Jurus pertama dari Kitab Pedang Pencabut Nyawa sudah dia keluarkan. Pedangnya langsung menusuk melancarkan serangan dahsyat ke arah lawan.
Ke mana lawan bergerak, pedangnya pasti tertuju ke situ. Desingan angin tajam terasa merobek kulit.
Trangg!!!
Batang golok berbenturan kembali. Namun ujung Pedang Pencabut Nyawa sudah menusuk tenggorokan si pria tua hingga tembus ke belakang.
Ternyata saat terjadi benturan, golok tersebut seketika patah menjadi dua bagian. Sedangkan pedang Raka Kamandaka terus melesat menembus tenggorokannya.
Mulut pria itu langsung memuntahkan darah segar kehitaman. Begitu pedang dicabut, darah segera menyembur lebih banyak lagi. Dia roboh. Roboh dengan membawa perasaan tidak percaya.
Sekarang pria tua itu baru menyadari bahwa apa yang diucapkan si pemuda, ternyata benar-benar terbukti nyata.
Sayangnya sekalipun dia menyesal, semuanya sudah terlambat. Sebab kini, nyawanya sudah melayang kembali ke asal.
Suasana hening lagi. Bau amis darah tercium terbawa oleh angin dari Barat. Raka Kamandaka lalu segera pergi dari tempatnya berdiri.