Amurwa masih terus menelpon Andika namun beberapa kali menelpon Andika sama sekali tidak menerima panggilannya. Amurwa mendesah. dalam hati ia khawatir akan kondisi anak majikan yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Ia mengirim pesan kepada anak buahnya yang berjaga di rumah untuk melaporkan kondisi Andika kepadanya. Bryan yang sedang duduk di meja kerjanya segera mengangkat telpon dari Amurwa.
"Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"
"Cek kondisi Tuan Muda dan Nyonya. Apakah ada sesuatu yang terjadi pada mereka hari ini!"
"Baik Tuan."
Bryan segera melangkah keluar dari ruang kerjanya. Beberapa pelayan yang melihat dirinya menundukkan kepalanya, takut jika kehadiran Bryan mendapat perintah untuk memberikan hukuman kepada mereka.
"Dimana Nyonya dan Tuan Muda?"
Minah yang baru saja keluar dari dapur, segera menundukkan badannya memberi hormat kepada Bryan. laki-laki gagah yang kini dipekerjakan sebagai kepala pelayan rumah tangga yang bertugas menjaga keamanan mereka.
"Tuan Muda baru saja makan, Tuan. Mungkin sekarang sedang di kamar. istirahat. Tuan Muda pasti sangat kelelahan karena pulang sekolah agak lambat hari ini."
"Cek kondisi Tuan Muda dan Nyonya dan segera laporkan kepadaku sekarang."
Minah mengangguk. dengan cepat ia melangkah meninggalkan Bryan yang memandangnya dengan tatapan garang. Tak kalah ganas dari Tuan Kusuma selama ini. Lima menit kemudian, Minah sampai di kamar Padmasari dan mengetuk pintu. Minah frustrasi saat beberapa kali mengetuk dania tidak mendapatkan jawaban apapun dari dalam.
"Nyonya. Apakah Nyonya baik-baik saja? Ini Minah, Nyonya. Tuan Bryan memintaku untuk mengecek Nyonya dan Tuan Muda apakah baik-baik saja?"
Tidak ada jawaban. Padmasari dan Andika yang tertidur sama sekali tidak menjawab membuat Minah panik. Ia segera berlari menuruni tangga dan melaporkan kejadian itu kepada Bryan.
"Ampun Tuan. Nyonya dan Tuan Muda tidak menjawab padahal saya sudah berkali-kali mengetuk pintunya."
Bryan memandang Minah sambil mencebikkan bibirnya. ia segera berlari menaiki tangga dan mencoba mengetuk pintu kamar pribadi Tuan Kusuma.
Tok tok tok
"Nyonya. . . ."
Bryan menunggu jawaban dari dalam dan hingga sepuluh menit ia menunggu, ia segera mencoba membuka pintu. Kamar Tuan Kusuma tidak terkunci. Ia pandang Minah dengan kesal. Bryan mencoba membuka kamar pribadi Tuan Kusuma dan mengecek semua ruangan namun nihil. Tidak ada Nyonya dan Tuan Muda mereka di sana.
"Mungkin di kamar Tuan Muda."
Bryan dan Minah segera berlari menuju kamar Andika di sebelah kamar utama. Mereka mengetuk pintu namun hingga beberapa menit mereka menunggu tidak ada jawaban dari dalam. Bryan melakukan hal yang sama. Ia buka pintu kamar Andika dan melihat Nyonya dan anaknya sedang terbaring di ranjang.
"Tuan, jangan diganggu. Mereka pasti lelah makanya tidak menjawab panggilan kita tadi."
Bryan segera menyibak tangan Minah dan melangkah masuk kamar Andika untuk meyakinkan bahwa kedua tubuh yang terbaring di ranjang sedang baik-baik saja, bukan pingsan atau meninggal.
"Ehm, Nyonya."
Padmasari yang sedang terlelap segera membuka mata. Samar ia melihat wajah laki-laki di hadapannya. Ia masih diam sesaat. Ia kucek matanya dan sekali lagi melihat bayangan laki-laki di hadapannya dengan mengerucutkan bibirnya.
"Ada apa kau ke sini? Apakah kau ingin membuat aku marah? Kau sama sekali tidak sopan. Mengganggu istri Tuanmu dan mengganggu tidurku."
"Ma-maaf, Nyonya. Saya hanya melaksanakan perintah."
"Perintah siapa? Tuanmu? Sejak kapan dia peduli kepada keluarganya? Katakan kepada Tuanmu agar mengabaikan aku dan anaknya. Kami baik-baik saja."
"Ampun Nyonya, saya tidak berniat mengganggu. Saya mendapatkan perintah dari Tuan Amurwa untuk memastikan bahwa Nyonya dan Tuan Muda baik-baik saja. Karena Nyonya dan Tuan muda baik-baik saja, saya mohon pamit,"
Padmasari memegang kepalanya yang mulai sakit kembali. Ia mendesis membuat Bryan terpana.
"Apakah Nyonya sakit? Mari, Nyonya saya antar ke dokter. Saya akan merasa bersalah kalau saya sampai terlambat memberikan pertolongan kepada Nyonya."
Bryan mengulurkan tangannya ke arah Padmasari. Ia hendak memberikan pertolongan kepada Padmasari, namun istri bosnya menolak. ia singkirkan tangan Bryan dan menghardiknya dengan kasar.
"Jangan kurang ajar kamu! Biarkan saja aku dengan posisiku. Katakan kepada Tuanmu kalau aku tidak akan mati walaupun aku sakit saat ini."
"Nyonya"
"Apa? Apakah kau takut melaporkan semuanya?"
"Bu-bukan begitu, Nyonya, Saya . . . ."
Padmasari merebahkan tubuhnya kembali. Ia menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya dan mengibaskan tangannya.
"Pergi dari hadapanku. Aku tidak butuh perhatianmu sama sekali."
Bryan mengangguk. ia pandang wajah pucat Padmasari sekali lagi sebelum akhirnya ia melangkah keluar. Ia ambil ponselnya dan mengirimkan berita kepada Amurwa bahwa Nyonya tidak sedang baik-baik saja. Amurwa yang mendapat laporan dari Bryan segera menelpon Bryan.
"Halo, Tuan."
"Apa yang terjadi?"
Bryan menarik napas dalam. ia menyusun kalimat laporan agar tidak membuat kepala keamanan keluarga Kusuma panik.
"Nyonya sakit, Tuan. Wajahnya pucat dan Nyonya tidak mau kuantar ke dokter. Nyonya bilang . . . ."
"Nyonya bilang apa?'
"Dia akan bertahan walau Tuan Kusuma tidak pernah menginginkannya. Dia juga bilang kalau akan bertahan hidu demi Andika, Tuan. Tidak akan menyerah."
"Cari tahu apa yang sebenarnya terjadi, Bryan."
"Siap, Tuan. Saya akan segera melaksanakan perintah Tuan Amurwa."
Amurwa nampak tersenyum. Ia mencoba mengambil telponnya dan menghubungi Andika dengan video call agar bisa melihat bocah itu secara langsung.
Andika yang terbangun segera mengambil ponselnya yang berdering. Ia pandang layar ponsel yang menampakkan penelponnya hari ini. bibirnya tersenyum dan ia segera menerima panggilan Amurwa.
"Selamat siang, sayang. Apa kabar?"
Andika memandang wajah Amurwa yang sedang tersenyum menampakkan barisan giginya yang rapi. Ia memang selalu suka melihat senyum manis Amurwa yang tak pernah membuatnya bosan. Amurwa yang ditatap sedemikian rupa oleh Andika semakin melebarkan senyumannya.
"Aku kangen banget sama kamu, Tuan Muda. Sekian lama tak pernah menghabiskan waktu bersama lagi."
"Itulah mengapa aku selalu kesal kepadamu, uncle. Aku benci Uncle Amurwa yang sekarang. Selalu sibuk dan tak pernah meluangkan waktu untukku lagi."
"Maaf, sayang. Uncle janji minggu depan Akan mnghabiskan waktu bersama Tuan Muda."
"Kau jangan berjanji, Uncle. Aku kesal kalau sudah janji ujung-ujungnya mengkhianati. Aku yakin kau akan selalu mengikuti papi kan? Kemanapun Papi ada, disitulah Uncle. Aku tahu sekarang Uncle sudah menjadi orang penting. Makanya aku sama sekali menjadi tidak penting."
"Sayang, mengapa bicara seperti itu? Uncle hanya melaksanakan tugas Tuan Kusuma, Papi kamu. Kalau tidak, aku pasti akan menemanimu, Tuan Muda."
Hiks
Amurwa terpana melihat Andika meneteskan airmata sambil terisak. Ia tidak tahu mengapa Tuan Mudanya menangis.
"Tuan Muda kenapa? Apakah Tuan Muda sakit?"
Andika menggeleng. ia ingin sekali mengucapkan semua keluh kesahnya, namun ia segera mengurungkan niatnya.