Andika mengerucutkan bibirnya, kesal mendengar Amurwa menjawab permintaannya dengan setengah hati. Amurwa mencoba tersenyum untuk mencairkan suasana hati Andika, namun Andika tetap saja masih belum bisa memaafkan sikap Amurwa.
"Uncle, please deh tidak usah tersenyum begitu. aku kesal sekarang. Uncle sama seperti Papi yang tidak mau mengajak Andika keluar ke tempat kerja."
"Memangnya Papi begitu?"
Andika tersenyum saat melihat Amurwa bersimpuh di hadapannya dan mencolek pipinya. Andika mengibaskan tangannya mencoba cemberut namun bibirnya tidak bisa diajak kompromi. Melihat Andika tersenyum, Amurwa segera mengangkat tubuh Andika dan membawanya ke kamar tidurnya. Ia ingin Andika menemaninya berbaring untuk menghilangkan penat di tubuhnya karena telah bekerja terlalu keras hari ini.
"Aku tidak mau rebahan, uncle. Sudah capek tadi saat di kamar. yang aku mau aku mengobrol dengan uncle tentang banyak hal."
Amurwa mengangguk. Ia tahu Andika benar-benar haus akan kasih sayang ayahnya. Ia menginginkan Amurwa mendengarkan dan mau bermain dengannya bukan tanpa alasan dan Amurwa tahu semuanya.
"Uncle lelah sekali, Sayang. sore ini kita bermain di kamar ya? Kau bisa membaca dan melakukan aktivitas lain di kamarku, Ok?'
Tidak ada pilihan lain selain mengangguk. Andika akhirnya mengikuti Amurwa ke kamarnya. Kamar mewah yang didesain desain unik, membuat Andika merasa sangat nyaman. Ia lihat di beberapa sudut kamarnya, ada beberapa asesories yang ditata rapi. Andika mendekati foto keluarga Amurwa dimana di sana terdapat Amurwa kecil yang sedang bersama kedua orang tuanya.
"Apakah ini Uncle Murwa kecil?"
Amurwa mendekati Andika dan mengambil foto yang ia letakkan di dinding. Ia bawa ke ranjang dan berbaring sambil mengajak Andika untuk rebahan di sebelahnya.
"Ini aku. Ini Ayah dan ini Bundaku. Mereka semua sangat baik. Mereka memberiku kasih sayang dengan segenap jiwa dan raga, Tuan Muda. Mereka berasal dari keluarga sederhana namun aku sama sekali tidak pernah merasa kekurangan apapun."
Andika terpana mendengar semua kisah Amurwa. Dalam hati ia merasa sangat iri dengan keberuntungan yang didapatkan laki-laki yang selalu memanjakannya.
"Sayang, jangan pernah merasa bahwa dirimu paling sengsara di dunia. Uncle merasa sangat beruntung karena orang tua Uncle selalu memberikan kasih sayang yang lebih, tapi kami memiliki kekurangan juga."
"Kekurangan apa, Uncle?"
"Kekurangan uang. Kami sering kali harus mengencangkan ikat pinggang karena ayah kami tidak mendapatkan makanan sepulang kerja. Kami harus rela tidur sambil menahan lapar. Bahkan kami sampai pernah beberapa hari tak mendapatkan makan dan harus mau berjalan satu kilometer untuk mengambil daun-daun jati demi bisa dijual dan dipakai untuk membeli sepiring nasi."
Andika menunduk. Matanya basah mendengar kisah hidup Amurwa. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa apa yang diceritakan Amurwa benar-benar pernah terjadi kepada Amurwa.
"Saat ini apakah orang tua Uncle masih kurang makanan? Uncle harus sering-sering mengirim makanan untuk Kakek dan Nenek."
Amurwa tersenyum. Ia elus kepala Andika dan mengangguk. ia bahagia karena Tuan Mudanya memiliki keinginan agar dia mengirimkan banyak makanan untuk orang tuanya.
"Sayangnya orang tuaku sudah meninggal, Tuan Muda. Ayah dan Ibu kecelakaan saat akan berangkat ke pasar menjual ayam. Saat itu mereka berboncengan dengan sepeda dan sebuah mobi mewah menabraknya hingga tak bisa diselamatkan."
"Apakah pemilik mobil itu lari, Uncle? Kalau lari mengapa tidak dikejar? Kalau dikejar kan Uncle bisa meminta tanggung jawab kepadanya agar memberi makan Uncle dan ganti rugi semuanya."
Amurwa tersenyum. ia bangga pada Andika, meski masih kecil, rasa simpati kepada sesama benar-benar ia miliki. Amurwa yang sudah mulai nyaman dengan posisinya berkali-kali menguap dan tidak bisa menahan diri untuk terus menemani Andika yang selalu bertanya demi bisa menggali informasi dari dirinya.
"Uncle pasti lelah sekali ya? Uncle boleh tidur dengan tenang karena aku akan bermain sendiri di sini." Andika bicara sendiri. Demi menghilangkan kebosanannya, ia segera melangkah menuju rak buku yang berisi buku-buku yang berupa kumpulan kertas bekas pembungkus makanan. Beberapa tema yang dikumpulkan Amurwa semua terkait tentang kerajaan Kediri dan Sri Rajasa, membuat Andika semakin ingin mengetahui apapun tentang kerajaan yang sudah hilang tersebut.
"Apa yang ingin kau ketahui tentangku, Andika?"
Andika yang merasa ada hawa dingin di dalam kamar itu segera menoleh mencari orang yang bertanya kepadanya, namun ia sama sekali tak melihatnya. Ia hanya melihat Amurwa yang masih lelap dalam tidurnya tanpa ekspresi kesal sama sekali. Wajahnya sangat tenang dan senyum mengembang dari bibir Amurwa. Pemandangan indah yang baru sekali ia lihat. Selama ini ia memang berinteraksi dengan Amurwa namun ia belum pernah melihat Amurwa tertidur seperti sekarang.
"Dalam keadaan tidur saja kau sangat tampan, Uncle. Kau benar-benar membuat aku ingin menjadikan dirimu sebagai Papiku."
"Aku akan menolongmu untuk mewujudkan keinginanmu, Andika"
"Si-siapa kamu?"
"Aku? Apakah kau tidak mengingat suaraku?"
Andika memandang Amurwa dan mencoba mengingat saat dimana dia mengelilingi kompleks dengan kuda bersama Amurwa. Ada satu suara yang keluar dari bibir Maurwa, namun suara itu bukan suara Amurwa yang sesungguhnya.
"Apakah itu Sri Rajasa?'
"Hmmm"
"Mengapa Paman datang saat Uncle Amurwa tidur?"
"Karena aku selalu kesal kepada cucuku yang selalu menolak kehadiranku. Aku ini ingin sekali dia bisa memiliki apapun yang dia inginkan. Aku bisa membantu mewujudkannya, namun dia selalu menolak."
"Contohnya?"
"Saat kau meminta dia menjadi Papimu, dia selalu menolak permintaanmu dan juga permintaanku. Padahal kalau dia mau, dia bisa saja memiliki istana papimu, dia juga bisa menjadikan mami kamu sebagai istrinya."
"Apa yang harus kulakukan agar semua bisa terwujud Paman?"
"Bunuh Papimu!'
"Oh, a-aku harus membunuh Papi? A-apakah aku tidak berdosa, Paman?"
Tubuh Andika bergetar, ia benar-benar takut mendengar perintah dari suara yang kini mengintimidasinya. Amurwa yang sedang tidur membalikkan tubuhnya dan menghadap Andika.
"Uncle, bangun!'
Amurwa yang sedang dikuasai oleh nenek moyangnya sama sekali tidak mendengar permintaan Andika. Ia masih terlelap dan memejamkan matanya tanpa mempedulikan kondisi kejiwaan Andika.
"Uncle bangun! Aku takut."
Sekali lagi Andika mencoba untuk membangunkan Amurwa agar dia membebaskan dirinya dari rasa takut yang menyelimuti dirinya namun Amurwa masih bergeming.
"Uncle, Hiks. Bangun! Aku takut."
Amurwa yang seoah sedang bermimpi bahwa ia melihat Andika sedang duduk di halaman sendirian dengan menelungkupkan wajahnya di lutut, kini membuka matanya. ia pandang seluruh ruang kamar dan mencoba menganalisa bahwa suara yang didengarnya adalah suara Andika yang benar-benar sedang ketakutan bersamanya.
"Uncle . . . ."
Amurwa menoleh ke sumber suara, dimana Andika sedang berusaha menggapai tubuhnya. Amurwa segera memeluk Andika dan mengelus punggung anak yang sangat dicintainya.
"Ada apa, Sayang? Apakah Uncle tidur? Atau ini hanya mimpi kalau kau sedang ada bersamaku?"
"Tidak, Uncle, ini aku.'