"Uncle"
Andika memandang Amurwa yang sedang mendekatinya mencoba menarik perhatian. Ia benar-benar merasa sendiri. Hidup dalam sangkar emas namun minim kasih sayang. Ibunya memberi banyak perhatian, namun ayahnya sama sekali tak pernah mau mempedulikan perasaannya. Harta sangat banyak namun dia tidak diberi kebebasan keluar rumah dan melakukan aktivitas seperti teman-teman sekolahnya yang lain.
"Ada apa, Sayang? Uncle di sini menemani Tuan Muda. Uncle akan tetap menjaga Tuan Muda dengan segenap jiwa dan raga ini. Jangan khawatir!"
"Hiks. Mengapa Mami meninggalkan Andika di sini ? Apakah Mami sama sekali tak mencintaiku? Apakah aku ini benar-benar anak Mami dan Papi, Uncle?"
Amurwa menggeleng, meminta Andika untuk tak melanjutkan prasangka buruknya. Ia sendiri tidak tahu seperti apa kehidupan Andika, Padmasari dan Tuan Kusuma. Amurwa datang ke Mansion Tuan Kusuma baru beberapa bulan dan itu terjadi jauh setelah Tuan Kusuma menikah dan Andika sudah ada di dunia.
"Tentu saja mereka menyayangi Tuan Muda. Yang tidak mereka lakukan adalah mendekati Tuan Muda dan mempdulikan perasaan Tuan Muda Andika sebagai anaknya. Kebutuhan kita tidak hanya melulu harta, namun bagi mereka, memberi sesuatu yang berlebih mungkin tindakan yang sangat menyenangkan. Mereka lupa bahwa harta yang mereka sediakan untuk Tuan Muda sama sekali tak ada artinya dibandingkan dengan perhatian dan cinta."
"Sekarang tidurlah di pelukan Uncle. Uncle akan menjaga Tuan Muda seperti seorang ayah menjaga anak laki-lakinya."
"Tidak, bukan seperti seorang ayah, tapi seperti seorang malaikat menjaga umatnya. Cinta dan kasih sayang uncle melebihi cinta ayah. Papi sebagai ayahku tak memiliki kelembutan seperti yang Uncle lakukan kepadaku."
"Ok, baik, Uncle paham. Uncle hanya ingin kau tahu Tuan Muda. Papi juga sebenarnya sangat peduli dengan kebahagiaan Tuan Muda."
Andika menggelengkan kepalanya, lalu merebahkan tubuhnya di samping Amurwa. Ia mencoba memejamkan matanya, melupakan rasa sakit yang sungguh sangat mengganggu pikirannya.
Amurwa mengelus punggung Andika dan mencoba bercerita panjang lebar tentang masa kecilnya. Ia tidak akan pernah lupa bagaimana kedua orang tuanya membagikan kebahagiaan kepada Amurwa kecil yang kini sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang gagah dan cerdas.
Perlahan namun pasti, Andika dan Amurwa sudah memejamkan matanya, kini mulai lelap. Mereka melupakan kenangan manis dan pahit dalam kehidupan masing-masing.
Di tempat lain, Padmasari yang baru saja masuk ke dalam mobil yang menjemput dirinya di bandara menyandarkan kepalanya di jok penumpang. Maira yang melihatnya nampak sangat prihatin pada nasib Padmasari. Sahabat masa sekolah yang kini mengalami masa-masa sulit dalam kehidupan pernikahannya. Maira mengulurkan tangannya, mengelus pundak Padmasari dalam diam.
"Apakah kau menyesal karena telah mengambil keputusan ini? Kalau kau menyesal, kau bisa kembali sebelum kita sampai di rumah asistenku."
Padmasari menggeleng. niatnya memang sudah bulat. Meninggalkan kemewahan dan suami yang tak mempedulikannya. Yang ia pikirkan saat ini adalah Andika. Anak yang kini bersama Amurwa dan ia tinggalkan tanpa kata.
"Andika"
"Kau bilang ada Amurwa yang akan merawatnya. Apakah aku perlu menculiknya agar dia juga bisa menyusulmu kemari?"
Padmasari menegakkan tubuhnya. Ia membuka mata lalu memandang wajah Maira yang nampak sangat serius memandangnya. Tidak ada keraguan atas apa yang baru saja ia katakan.
"Apakah kau tak takut pada suamiku? Dia orangnya jahat, kasar dan memiliki banyak mata yang mampu menangkap kita dalam sekejap mata. Dia monster yang mampu menggenggam dunia."
"Kita buktikan saja berapa lama dia akan sanggup mencarimu."
Padmasari menggelegkan kepalanya. Ia sudha tahu kalau Maira sudah keras sejak pertama kali mereka bertemu, namun Padmasari sama sekali tak mengira kalau Maira tak memiliki rasa takut sedikitpun.
"Kau sungguh pemberani."
"Mengapa harus takut? Bukankah aku melangkah di jalan yang benar? Aku wanita kau juga. Aku tahu bagaimana rasanya dikurung dalam sangkar emas, namun diabaikan melebihi hamba sahaya. Siapapun tidak akan kuat walau dia wanita setangguh Srikandi istri Arjuna."
"Aku pusing, Maira. Aku bingung mengapa harus takut pada suamiku. Aku sudah memutuskan untuk pergi namun masih ada rasa ragu dan takut aku akan disakiti olehnya. Padahal kau tahu sendiri kalau dia sudah menyakitiku selama ini."
"Mintalah tolong sama Tuhan. Dia Maha tahu yang terbaik untuk hambaNya. Dia Maha Agung yang tak akan membalas kejelekanmu dengan kejelekan seperti manusia."
Padmasari mengangguk. Ia menyandarkan kembali tubuhnya dan kembali memejamkan matanya. rasa kantuk yang sejak tadi menyerangnya masih belum sanggup melumpuhkan semua ingatan dan daya pikirnya sehingga hingga detik ini, Padmasari belum bisa tertidur lelap.
"Katakan padaku berapa lama kau akan tinggal bersamaku!"
Maira menerawang, membayangkan betapa banyak pekerjaan yang harus ia handle, ketika ia memutuskan untuk meninggalkan kantornya selama seminggu. Ia tersenyum, lalu menoleh pada Padmasari yang masih memejamkan mata. Terdengar suara dengkuran halus dari Padmasari membuat Maira menggeleng-gelengkan kepalanya heran dengan sikap sahabat terbaiknya.
"Kau memang sakit Padma. Kau butuh refreshing untuk kewarasanmu. Sayangnya refreshingmu kali ini adalah refreshing yang tak diretui suami sehingga kau yang seharusnya bahagia, justru terlihat sangat menyedihkan.
Beep
Suara notifikasi masuk. Maira memandang ponselnya dan membuka pesan anak buahnya yang memberitahu kalau beberapa anak buah Tuan Kusuma sedang mencarinya. Mereka sudah mampu mengendus kepergian Maira dan Padmasari.
"Halo"
"Iya, Nyonya."
"Siapkan tiket untuk aku pergi ke Raja Ampat. Aku akan segera berangkat malam ini. Sahabatku butuh refreshing dan dia tidak boleh terlalu tertean sekarang. Perintahkan kepada mereka anak buahmu agar memperketat bandara. Aku yakin Tuan Kusuma tidak akan tinggal diam"
"Baik, Nyonya. Segera laksanakan."
Maira segera mematikan ponselnya dan menepuk punggung supirnya membuat pengemudi yang sedang fokus menyetir terperanjat. Saking terkejutnya, ia nyaris mengerem mendadak dan membuat kendaraan di belakangnya mengumpat.
"Ada apa, Nyonya?"
"Putar balik dan antar kami ke bandara.'
Supir pribadi Maira mengangguk. sebenarnya ia sangat lelah dan keberatan dengan permintaan Bos mafia wanita di belakangnya, namun ia sama sekali tidak berani menolak karena ia yakin bukan hanya dia yang terimbas kalau sampai Maira marah.
"Baik, Nyonya."
Mobil sudah memutar di perempatan lalu melaju menuju bandara dalam kecepatan sedang. Maira mengecek notifikasi, mencoba melihat seberapa cepat kerja anak buah yang ia minta memesan tiket. Tiket dikirim atas nama Jatun dan Janatun, membuat Maira mencebik kesal.
"Pilih nama kok ya sejelek ini. apa tidak ada nama lain yang lebih bagus? Hah. Awas saja kalau sampai aku pulang. Kau orang pertama yang akan kuhabisi."
"Em, ma-maaf, Nyonya. Saya sama sekali tidak melakukan apa-apa. Jangan dihabisi sayanya ya, Nyonya. Anak istriku bagaimana nasibnya?"
Maira memandang supirnya dengan mengerutkan keningnya, mencari jawaban atas ucapan supir yang sama sekali tidak nyambung dengan pemikirannya.