Saat Amurwa sedang bercengkerama dengan Andika karena merasa lucu saat Andika di kamarnya, di mansion, Padmasari justru menyendiri di kamar mandi. ia benar-benar merasa tersisihkan. Suaminya, Tuan Kusuma sama sekali tidak mau memandangnya apalagi mengajaknya bicara. Berkali-kali Padmasari menyapa, Tuan Kusuma sama sekali tidak mempedulikannya.
"Ya, Tuhan, apakah aku harus segila ini melihat suamiku sama sekali tak mau menyapaku? Bukankah lebih baik pergi ketika aku tidak dianggap ada lagi?"
Dia segera mengambil ponsel yang ia masukkan ke dalam sakunya dan mengirim pesan kepada sahabatnya, Maira.
"Apakah kau sibuk, Maira? Aku butuh bantuanmu."
Beberapa menit menunggu, Maira membalas pesan Padmasari. Padmasari tersenyum ketika jawaban Maira benar-benar membuat dirinya senang.
"Aku sedang santai. Aku baru saja pulang kerja. Ada apa?"
"Aku tak tahu harus bicara apa kepadamu, Maira. Aku sedang kesal dengan suamiku yang mengacuhkan aku sejak lama."
"Ha ha ha, sepertinya kau perlu memberikan pelajaran berharga kepadanya."
Padmasari membelalakkan matanya ketika ia mendapat jawaban tentang pelajaran berharga. Di pesannya Maira memberikan saran secara detail dan Padmasari tersenyum lalu mengangguk. setelah membuat janji untuk bertemu dengan Maira di salah satu mall terbesar di Jakarta, Padmasari keluar kamar mandi. ia kuatkan hatinya untuk memberi pelajaran berharga pada suami angkuhnya dengan menuruti saran Maira. Sahabat terbaik yang selalu membantunya sejak dia duduk di bangku SMA.
Padmasari melangkah menuju ruang ganti. Ia ambil dompet dan ia masukkan ke dalam saku celananya, lalu melangkah meninggalkan kamarnya. Saat melihat Padmasari melangkah meninggalkan kamarnya, Tuan Kusuma memandangnya dan mencoba mengikuti langkahnya dengan ekor matanya. Tuan Kusuma merasakan ada hal aneh yang akan dilakukan Padmasari, namun ia sama sekali tidak berniat untuk mencari tahu. Tubuh lelahnya dan kekesalannya pada Andika lebih dia utamakan untuk dipenuhi. Ia merebahkan tubuhhnya dan mengabaikan apapun.
Saat Padmasari sampai di ruang bawah, ia segera mengambil tasnya dan melangkah menuju parkir mobil dan meminta supirnya untuk mengantarnya keluar, menuju mall tempat dirinya membuat janji dengan alasan ingin membeli keperluan pribadi. Supir yang sama sekali tidak curiga lebih memilih untuk menuruti keinginan Padmasari.
"Apakah Tuan Kusuma mengijinkan Nyonya pergi sendiri?" Supir yang kini sedang mengemudi mobilnya dengan kecepatan sedang, kini menatap spion, mencoba mencari tahu wajah istri majikannya sedih atau bahagia.
Supir itu mendesah. ia sangat paham saat melihat wajah sendu yang selalu ditampilkan Padmasari setiap hari. Ia merasa prihatin melihat keluarga Tuan Kusuma yang bergelimang harta namun sama sekali tak memperlihatkan keharmonisan.
"Apakah Nyonya akan lama di dalam? Kalau lama, saya akan minum kopi dulu di kedai itu, Nyonya."
"Baiklah, Amir. Aku akan segera masuk sekarang. Kau boleh pulang dulu, nanti kalau aku sudha selesai aku akan mengabarimu."
Amir, supir keluarga Padmasari tersenyum lalu mengangguk. mendengar Padmasari engijinkannya pulan, ia sangat senang karena ia sedang melihat pertandingan Timnas Indonesia melawan Bahrain.
"Baiklah, Nyonya. Saya akan pulang dulu. Saya akan selalu menunggu kabar dari Nyonya kalau sudah selesai belanjanya."
Padmasari tersenyum lalu melangkah masuk meninggalkan Amir yang masih bergeming. Padmasari mengedarkan pandangannya ke semua penjuru mencari Maira, namun ia segera mengurungkan niatnya. Ia segera melangkah menuju mesin ATM untuk mengambil uang karena ia tak ingin terlacak oleh suaminya.
"Kamu dimana? Kenapa lama sekali?"
Pesan Maira baru saja dibaca oleh Padmasari yang baru saja keluar dari ATM. Dia segera mengetikkan pesan dan mengiirimkannya kepada Maira. Maira memintanya untuk menunggu di Cafe Pelangi agar Padmasari tidak terlalu jauh melangkah dari mesin ATM tempatnya mengambil uang.
Saat Padmasari masuk Cafe, ia sama sekali tak menemukan kursi kosong di sana. mengurungkan niatnya untuk makan dan hanya berdiri menunggu Maira datang.
"Kenapa tidak masuk, Padma? Apakah kau sengaja menungguku dan masuk bersama?"
Padmasari menggeleng. bukan memberi penjelasan kalau tidak ada kursi di dalam, Padmasari jusru mengajak Maira untuk meninggalkan Cafe tersebut menuju halaman parkir. Ia segera mematikan ponselnya dan menyimpannya di saku tasnya.
"Kita makan di luar saja ya. Jangan di sini. Aku takut pengawal suamiku mengikutiku kemana-mana."
Mendengar pengawal suami, Maira tersenyum kecut. Ia tahu suami Padmasari yang arogan tidak akan mengampuni mereka kalau sampai mereka melakukan kesalahan sekecil apapun.
"Apakah tidak apa-apa kalau kau melakukan semua saranku?"
Padmasari menggeleng. ia yang kesal dengan suaminya sudah memantapkan hatinya untuk memberikan pelajaran kepada Tuan Kusuma. Pria arogan yang hanya mau menang sendiri dan tak memiliki hati.
"Ajak aku pergi dari istana setan itu, Maira. Aku sudah bosan dengan kehidupanku yang tak normal. Aku rela mati bahkan untuk bisa keluar dari siksanya. Aku lelah, Maira."
Maira mengangguk. ia tahu Padmasari bukan tipe perempuan yang mudah menyerah pada keadaan apapun, namun kehidupan terkininya memaksa dia harus berbuat diluar kebiasaannya.
"Baiklah. Aku akan membantumu semampuku. Aku tahi ini bukan hal enteng karena aku pun akan menerima akibat yang jauh lebih mengerikan dari apa yang akan kau terima."
"Hiks. Maafkan aku yang selalu membuatmu terbebani dengan masalah hidupku."
Maira menggeleng. Ia tuntun tangan Padmasari dan melangkah menuju taksi yang baru saja ia pesan lewat aplikasi.
Beberapa menit kemudian, Maira berhasil membawa Padmasari keluar dari mall tempat mereka bertemu. Mereka meminta supir taksi untuk mengantar mereka menuju bandara, dimana di sana sudah bersiap, anak buah Maira. Mereka akan meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta.
Sampai di Bandara, Maira meyakinkan Padmasari sekali lagi. Ia pandang wajah sahabatnya yang sedang menangis memandang pesawat yang siap membawanya pergi.
"Apakah kau yakin kalau kau sudah siap meninggalkan kehidupanmu yang mewah?"
Padmasari mengangguk. Ia sudah memantapkan hati dan sama sekali tidak ingin ragu dengan keputusannya lagi.
"Aku siap."
"Baiklah. Aku akan membawamu ke desa tempat salah satu pembantuku berasal. Di sana kita akan hidup dengan sederhana, menanam padi, membantu ibunya Dini ke sawah. Kau tidak akan seputih dan semulus ini karena di sana kau tidak akan dilayani. Kau harus melayani dirimu sendiri, bagaimana?"
Padmasari mengangguk.
"Bagaimana dengan Andika? Apakah kau sama sekali tidak pernah memikirkan bagaimana perasaannya?"
Sekali lagi Padmasari menggeleng. Ia bukan tidak memikirkan bagaimana nasib Andika kedepannya. Ia tahu Andika akan sedih mendengar dia meninggalkan mansion dan meninggalkan dirinya, namun seiring dengan berjalannya waktu, Padmasari yakin Andika akan paham mengapa maminya meninggalkannya.
"Dia akan bertahan di bawah bimbingan Amurwa."
"Siapa Amurwa? Pembantu baru?"
Padmasari menggeleng. ia segera menceritakan jati diri Amurwa pada Maira. Maira mengangguk tanda mengerti. Dengan segera, Maira mengajak Padmasari masuk ke pesawat pribadi yang sudah siap lepas landas.
Padmasari yang sudah siap dengan resiko apapun yang akan dia terima, mantap melangkahkan kaki dan menginjakkan kaki di tangga pesawat pribadi Maira.