Di rumah keluarga Tuan Kusuma, Padmasari sedang membersihkan diri di kamar mandi. beberapa kali ia merasa tubuhnya sangat lemas., kepala pusing, mata berkunang-kunang dan perutnya sangat mual. Ini hari pertama dia sedang mendapatkan tamu bulanan membuat ia enggan melakukan aktivitas lain selain merebahkan diri di kasur empuknya. Seharian dia tidak melakukan apapun hingga kepalanya terasa sangat berat. Setelah menyelesaikan aktivitasnya, Padmasari segera keluar menuju ruang gantinya, mengganti pakaian yang basah oleh keringat dinginnya lalu merebahkan tubuhnya kembali di ranjang.
Andika yang baru saja pulang dari sekolahnya mendekati mamanya. Wajahnya tampak sangat khawatir menyaksikan wajah mamanya yang pucat. Ia ulurkan tangannya, mencoba mengecek dahi mamanya, memastikan bahwa mamanya tidak sedang baik-baik saja.
"Mami mengapa pucat sekali?'
Padmasari yang baru saja merebahkan tubuhnya hanya menggeleng. Ia sama sekali tidak mau mengatakan kepada Andika bahwa tubuhnya sedang tidak baik-baik saja. Ia tidak mau Andika akan khawatir pada kesehatannya. Selama ini hanya Andika yang paham bagaimana memperlakukan Padmasari. Tuan Kusuma suaminya sudah tidak mempedulikannya sama sekali. Ia hanya akan meminta dirinya untuk melayani di ranjang tanpa mempedulikan bagaimana perasaan dan kondisi Padmasari.
"Mami lelah, Andika. Lelah sekali. Rasanya ingin sekali . . . ."
"Ingin apa, Mami? Biar Andika bilang ke Uncle Murwa kalau Mami ingin jalan-jalan ya."
Padmasari memandang anaknya tak percaya. Ia heran mengapa Andika lebih memilih melaporkan keadaannya kepada Amurwa dibandingkan kepada ayahnya. Ia tahu anaknya kesal. Beberapa kali meminta ayahnya untuk memperhatikan mamanya, bukan diterima dengan baik, justru mendapatkan perlakuan kasar.
"Aku tidak mau membahayakan Amurwa, Nak. Dia bekerja di sini dalam tekanan atau karena senang kita tidak tahu. Yang mami inginkan, Amurwa menjalani pekerjaannya karena ia benar-benar bahagia dan menikmatinya."
Andika mengangguk mendengar keinginan Padmasari. Setelah meletakkan semua perlengkapan sekolah, ia mendekat ke arah mamanya. Ia elus punggung mamanya dengan kasih sayang penuh. Ada rasa khawatir dalam dirinya jika sampai mamanya sakit parah. Ia takut mamanya meninggal dan sepeninggal mamanya akan hadir mama baru yang menggantikan posisi mamanya di hati ayahnya.
"Mama jangan sakit ya. Andika takut."
Padmasari menatap wajah anaknya trenyuh. Ia melihat ketakutan Andika dan segera bangkit. ia peluk anaknya dan ia elus lembut.
"Tidak perlu takut, Sayang. Walaupun Papi tidak menginginkan Mami, Mami akan tetap berjuang untuk hidup demi kamu. Walau sekarang Mami sakit, Mami akan selalu ada untukmu. Ayo sekarang makan dulu. Biar Mami temani."
Andika menggeleng. Ia segera melepaskan diri dari pelukan mamanya.
"Biarkan Dika makan sendiri di bawah, Mami. Dika tidak mau Mami tambah sakit karena kelelahan mengasuk dan menemani Dika."
"Ya Sudah, sana makan. Mami tidak mau kalau Andika sakit. kita harus sehat, Sayang agar tidak menyusahkan Papi. Kalau kita sakit, Papi akan selalu bilang kalau kita ini beban baginya dan selalu menjadi orang yang akan menghabiskan uang Papi."
"Iya, Mi."
Andika melangkah meninggalkan mamanya menuju ruang makan di lantai satu. Ia melangkah dengan penuh waspada, melihat sekeliling ruangan dari lantai dua. Setelah semua aman, ia segera menuruni tangga dan melangkah menuju ruang makan tanpa menghiraukan para pelayan yang menyapanya.
"Tuan Muda mau makan? Biar Minah yang menyiapkan ya?"
"Iya, Minah. Aku akan menunggu di sini."
Minah segera berlari menuju dapur untuk mengambilkan perlengkapan milik Andika dan membawanya ke ruang makan segera. Ia sama sekali tidak ingin membuat Andika menunggu lama.
Minah segera meletakkan perlengkapan makan di depan Andika. Dengan cekatan ia mengambilkan makanan dan meletakkannya di piring milik Tuan Mudanya. Andika yang mendapat pelayanan terbaik dari Minah segera merogoh sakunya dan mengambil sesuatu dari dalamnya dan menyerahkan pada Minah.
"Ini untukmu, Minah. Terima kasih karena kau telah setia kepadaku."
Minah terpana mendapatkan apa yang diulurkan Andika kepadanya.
"Ini apa, Tuan Muda?"
"Tip untuk pelayan terbaikku. Ambillah! Jangan ragu"
"Ta-tapi, Tuan Muda. Minah sudah digaji oleh Tuan besar. Gajinya sudah banyak, Tuan Muda."
Andika mengibaskan tangannya mengusir Minah yang menolak pemberiannya. Ia benar-benar kesal karena pelayannya sama sekali tidak mau mengambil tip yang diberikannya.
"Jangan marah, Tuan Muda. Minah hanya tidak mau dianggap sebagai pelayan yang suka mengambil hak orang lain."
"Aku yang memberimu. Bukan kau yang minta, Minah. Kalau kau tak suka aku akan meminta Papi untuk memecatmu sekarang juga."
Minah menunduk. Ia menyesali semua kebodohannya, menolak pemberian Tuan Mudanya padahal tidak ada yang pernah mendapatkan perhatian seperti dirinya dari Andika.
"Apakah masih mau menolak?"
Minah menggeleng. ia benar-benar melihat sisi lain dari Tuan Kusuma. Andika yang masih kecil sudah bisa membuatnya bergetar dan ini sungguh meniru ayahnya. Minah mendekat lalu menunduk, tangannya ia ulurkan untuk mengambil tip yang diletakkan Andika di meja makan.
"Terima kasih, Tuan. Semoga rejeki Tuan Muda bertambah dan melimpah"
"Terima kasih atas doamu, Minah. Aku berharap bisa memiliki usaha sendiri sehingga aku bisa memberimu lebih banyak."
Minah mengangguk. iDalam hati a mendoakan agar keinginan Andika benar-benar terkabul. Andika segera mengambil perlengkapan makan dan mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Ia sama sekali tidak ingin membuang waktunya demi mamanya yang masih terbaring lemah di ranjangnya. Setelah selesai makan, Andika segera berlari ke kamar Mamanya dan menemani Padmasari yang tidur sambil membelakanginya.
"Mami pusing tidak?"
Padmasari menggeleng. Ia sama sekali tidak pusing karena sakit. yang jelas saat ini ia sakit hati pada perlakuan suaminya yang tak mempedulikannya setiap hari.
"Mami capek hati dan pikiran, Sayang. Lelah di rumah. Rasanya ingin sekali refreshing keluar kota atau berendam di kolam renang sepanjang hari biar hati ini adem, sayang."
"Aku telpon Uncle ya?"
"Jangan. Nanti Papi marah sama uncle. Mami tidak mau membuat Amurwa terkena masalah, Andika."
Andika mengangguk. ia mengambil ponse yang ia letakkan di laci meja belajarnya dan membuka aplikasi whatsapp. Ia mengirimkan pesannya kepada Amurwa dan menanyakan kabar Amurwa hari ini.
"Uncle, bagaimana kabar?'
Beberapa menit pesan Andika belum bisa diterima oleh Amurwa. Hingga beberapa menit kemudian, pesan yang Andika kirim masih centang satu, belum diterima oleh Amurwa. Andika melemparkan ponselnya dan merebahkan tubuh lelahnya di ranjang dekat dengan mamanya. Ia benar-benar kesal pada Amurwa yang kini semakin hari semakin menjauh darinya. Kesibukannya dengan ayahnya membuat pemuda itu mengabaikan semua kepentingannya. Tidak seperti saat dia belum diangkat sebagai kepala keamanan di rumah Tuan Kusuma.
"Ada apa, Sayang? Apakah kau membutuhkan kehadiran Uncle?"
Andika sudah terlanjur memejamkan mata sehingga ia tidak mendengar pesan yang di kirim oleh Amurwa. Amurwa yang sedang berada pada posisi genting di lapangan, akhirnya mencoba untuk menelpon Andika, namun sekali lagi, Andika tidak mengangkatnya.