Dengan senyuman riang sehabis mendapatkan jackpot, Ares pulang dengan mobilnya. Ia lalu menghubungi Brema untuk mengucapkan terima kasih.
"Brem, lu boleh minta apa aja sama gue. Gue akan traktir lo!" ucap Ares begitu sambungan telepon tersambung. Brema yang mengangkat telepon dan masih mengawasi para stafnya membereskan dapur pasti keheranan.
"Ada apaan sih, Res?" tanya Brema dengan nada bingung.
"Pokoknya lo minta apa aja bakalan gue kasih. Gue mau berterima kasih sama lo. Karena lo uda bantuin gue!"
"Soal apa?" Ares langsung mengatupkan bibirnya. Karena terlalu senang ia hampir saja keceplosan bahwa tebak-tebakan lelucon yang pernah diberikan Brema dulu padanya kini digunakan Ares untuk merayu Putri.
"Hehe, soalnya gue pakai tebak-tebakan yang lo kasih!"
"Ah gue makin gak ngerti!"
"Lo gak inget dulu pas SMA pernah kasih gue tebak-tebakan lucu buat ngerayu cewek?"
"Ehm," Brema menjawab dengan deheman.
"Nah, gue pake itu buat ngerayu cewek dan berhasil! Hehehe!"
"Putri?" Deg – jantung Ares jadi lebih cepat.
"Bukan ... memang Putri doang yang ngerti jokes begituan."
"Trus siapa dong."
"Cewek yang gue suka!" jawab Ares cepat mencoba menutupi.
"Yang mana lagi cewek lo?"
"Uda deh yang penting lo minta dibeliin apa? Atau gue traktir makan aja?" Brema malah tertawa keras.
"Lu gak salah traktir Chef?"
"Ya kan Chef juga manusia, memangnya lo gak mau dimasak sesekali sama orang lain?" Brema tampak terdiam dan sepertinya ia tengah berpikir.
"Kalo Mila yang masak, gue pasti akan makan dengan senang hati," gumamnya dan Ares langsung tersenyum.
"Atau gini aja, lu masak, gue yang bawain buat dia. Buat bayinya, buat bayi lo juga," ujar Ares menawarkan bantuannya.
"Memangnya lo percaya kalo gue Ayahnya?"
"Semoga aja." Brema masih diam beberapa saat.
"Ya udah, besok gue kasih tau kapan lu bisa anterin makanan itu untuk Mila!" Ares tersenyum dan mengangguk.
"Oke, see you, bro!"
"See you!"
Ares masih tersenyum riang membelokkan mobilnya ke arah apartemennya. Ia jadi lupa harus menelepon ibunya untuk membuat janji besok. Ares pun masuk ke dalam lift dan sedikit bergoyang mengikuti suara musik yang diputar secara acak di dalam lift pribadinya.
Begitu pintu lift terbuka, Ares yang malah bernyanyi ala seorang vokalis seperti yang dulu ia lakukan langsung kaget dan melompat. Jupiter sudah berdiri di depan lift dengan kedua tangan di pinggang dan wajah tanpa senyuman.
"Ah, gue kira siapa!"
"Kenapa? Lu kaget liat gue!" Jupiter balik bertanya dengan nada ketus. Ares langsung beringsut dan sedikit menunduk sambil keluar perlahan.
"Dari mana lo hari gini baru pulang?" tanya Jupiter lagi seperti seorang ibu yang mengomel. Ares berjalan masuk dan menyengir. Jika Jupiter tahu Putri diantar oleh Ares, maka dia bisa murka.
"Kan gue banyak meeting!"
"Bohong, Jin bilang lu seharian di luar!" sahut Jupiter tanpa ampun. Ares langsung menggerutu dalam hati gara-gara asistennya itu suka membocorkan jadwal pada Jupiter.
"Dasar Jin! Ntar gue masukin ke botol baru tau rasa lo!" gumam Ares pelan pada dirinya sendiri.
"Gue ada makan malam sama Daddy tadi. Ada yang harus diomongin!" sambung Ares menjawab Jupiter. Jupiter pun menggelengkan kepala sambil mengikuti Ares yang berjalan ke ruang tengah.
"Gue bawa Andy, sekarang dia sedang tidur di kamar." Ares berhenti hendak membuka jasnya dan menoleh pada Jupiter.
"Lho, ngapain dia kemari?"
"Gue yang bawa. Dia mabuk di Medieval. Ngomong gak jelas tentang cewek di mutilasi. Tapi gue belum lihat berita apa pun di TV hari ini." Ares masih diam dan senyumannya hilang sudah. Ia menarik napas berat dan sang Kakak Jupiter berjalan ke arah dapur untuk mengambilkannya segelas air.
"Makasih!" Ares menerima gelas pemberian Jupiter dan meminum airnya perlahan.
"Lo harus cepat bergerak, Res. Kalo Andy gak bisa tangkap Sanchez, lu aja yang ngelakuin. Atau kalau gak maka mereka bakalan merajalela dan pembunuhan akan makin banyak," ujar Jupiter kemudian. Ares menelan ludahnya dan mengangguk.
"Gue harus bicara sama Andy dulu." Jupiter mengangguk lagi dan akhirnya duduk di sebelah Ares. Mereka terdiam beberapa saat sambil melihat perapian otomatis yang menyala.
"Res, gue mau tanya sesuatu sama lo. Tapi tolong jawab dengan jujur," ucap Jupiter pada Ares yang sedikit menoleh ke arahnya.
"Soal apa?"
"Soal ini ..." Jupiter mengeluarkan foto Ares dan putri yang ia temukan di laci dapur. Bola mata Ares sejenak membesar melihat foto itu. Bagaimana Jupiter bisa menemukan foto yang sengaja disembunyikan oleh Ares di laci dapur?
"Lu dapet dimana?"
"Di dalam laci meja dapur. Kenapa lo taro foto lo dan Dek Putri di sana?" tanya Jupiter dengan nada sedikit tegang. Ia masih terus memandang Ares yang masih memegang foto itu.
"Hehe ... foto ini hilang, gue lupa uda simpan dimana. Gak taunya di laci dapur. Thanks ya!" Ares bersikap seakan tak ada yang terjadi dan meletakkan foto itu di atas meja kopi di depannya begitu saja. Jupiter mengernyit melihat sikap Ares yang menurutnya aneh.
"Kenapa lo gak bilang kalo foto itu ada di tangan lo?"
"Maksudnya?"
"Mommy pernah bilang kalo foto itu hilang dari album foto di rumah." Ares mencoba menetralisir perasaan tak enak dengan meminum air di gelasnya lagi.
"Mommy yang kasih ke gue. Mungkin dia lupa. Gue aja udah lupa ada foto itu!" jawab Ares dengan nada cuek. Ia berusaha tak kentara sama sekali pada Jupiter.
"Masa sih Mommy bisa lupa?" Ares mengedikkan bahunya tapi tak sedikit pun ia menoleh pada Jupiter. Jupiter pun menghela napas dan ikut bersandar di sofa sama seperti Ares.
"Gue tau lo gak suka sama Putri. Kalo lo gak setuju dengan hubungan gue dan Putri, lo kan bisa kasih tau gue!" ujar Jupiter dengan nada sedikit miris. Ares sedikit menoleh dan agak mengepalkan tangan.
"Gue bukannya gak suka sama Putri ..."
"Jadi apa? Lo simpan foto itu di laci dapur. Di tempat yang paling gak terlihat. Mungkin lo udah gak buka laci itu lebih dari satu minggu!" Ares menaikkan ujung bibirnya tersenyum miris namun Jupiter tak melihatnya.
"Gue minta maaf kalo hubungan gue sama Putri jadi mengganggu dan bikin lo gak nyaman selama ini," sambung Jupiter lagi. Ares hanya bisa menelan ludah dan berpaling pada Kakaknya. Tangan Ares lantas memegang tangan Jupiter dan menggenggamnya.
"Selama lo bahagia, gue juga bahagia." Jupiter ikut berpaling pada Ares dan ikut menggenggam tangannya. Ia tersenyum pada Ares yang menatapnya berkaca-kaca dan mengangguk.
"Lo juga harus bahagia, Ares. Gue sebenarnya cemas lihat lo tinggal sendiri terus." Ares tersenyum menggeleng.
"Gue gak sendiri, gue punya pacar!" Jupiter jadi tertawa sinis.
"Teman tidur bukan pacar." Ares hanya diam saja menghabiskan air minumnya. Ia pun bangun dari sofa dan menarik Jupiter bersamanya.
"Lo mau nginep di sini?" Jupiter menggelengkan kepala.
"Gak, gue harus pulang. Besok pagi gue harus ke Atlanta!" Ares mengangguk kemudian dan berjalan mengantarkan kembarannya ke pintu lift.
"Gue titip, Andy!" Ares tersenyum dan mengangguk pada Jupiter yang masuk ke dalam lift. Jupiter tersenyum seiring dengan pintu lift yang perlahan tertutup.
Senyuman Ares pun menghilang saat ia berjalan ke arah sofa yang sama lalu duduk di depan meja kopi. Ares mengambil satu-satunya foto dirinya dan Putri yang ada.
Ares hanya bisa menyandarkan punggung dan menghela napas berat pada kenyataan yang sebenarnya. Ia tak akan pernah mungkin memiliki Putri sampai kapan pun. Matanya terus memandang pada kenangan manis saat Ares menggendong dan mencium pipi Putri yang menggemaskan. Air mata itu jatuh dengan sendirinya. Dan akhirnya kepalanya hanya bisa terhempas menengadah ke atas melihat langit-langit.
"Kakak sangat mencintai kamu, Putri!" gumam Ares pelan di tengah ruangan mewah dan luas yang sunyi tanpa cinta.