Chereads / Exorcis / Chapter 5 - Chapter 5

Chapter 5 - Chapter 5

Seminggu setelah kejadian itu Gray sudah pulih sepenuhnya, dia berjalan santai menyusuri trotoar menuju sekolahnya. Sesekali dia menguap karena masih merasa lelah dan mengantuk.

Setelah kejadian melawan Grim Reaper, Gray berlatih lebih keras dibanding sebelumnya, dia tak ingin mengulangi kesalahannya lagi waktu itu. Kelelahan ketika pertarungan, hampir membuatnya mati di tangan Grim Reaper.

Gray mengangguk sopan ke arah satpam sekolah ketika dia melewati gerbang.

"Tumben kau tidak terlambat," kata Satpam Sekolah setengah menggerutu.

Gray tak menghiraukannya, dia terus berjalan sampai akhirnya dia berhenti di depan kantor guru. Dia melihat Bu Yola sedang bercengkerama dengan guru wanita lainnya. Lalu, ia melanjutkan langkahnya melalui lorong sepi menuju kelasnya. Matanya terpancang pada salah satu ruangan di lorong itu yang pintunya digembok dan dirantai.

"Hai Kak" sapa Hantu Gadis kecil ramah yang wajahnya rusak separuh, kini ia tak terbelenggu oleh rantai lagi dan bisa melayang bebas kemana saja yang ia mau.

"Hai, apa kau senang?" tanya Gray berjongkok di dekatnya.

"Iya," sahut Gadis Hantu itu ceria.

"Boleh aku bertanya sesuatu padamu?"

"Apa, Kak?"

"Apa kau tahu soal pintu yang tertutup rapat itu?" Gray menunjuk ruangan yang terkunci rapat tadi.

Gadis hantu itu menggelengkan kepalanya.

"Jadi dia tidak tahu juga" batin Gray.

"Tapi, aku mendengar dari hantu tua di sekolah ini, kalau ada seseorang yang jahat pernah dibunuh di dalam situ" jelas Gadis Hantu itu dengan mata berbinar-binar.

"Begitu ya," gumam Gray berpikir sejenak.

"Ada apa, Kak?"

"Tak ada apa-apa kok, baiklah aku ke kelas dulu, sampai jumpa dan terima kasih atas infonya" kata Gray melambaikan tangannya dan buru-buru masuk ke dalam kelas.

Di kelas dia tak begitu konsentrasi pada pelajaran, pandangannya tertuju ke arah lapangan. Pikirannya masih tertuju pada surat yang dikirim oleh para tetua untuknya tempo lalu.

2 hari yang lalu,

Seekor elang terbang membelah langit, membawa kertas perkamen yang dicengkeram dengan kakinya. Elang itu tiba-tiba menukik tajam, dan melemparkan kertas itu ke dalam jendela apartemen yang terbuka, lalu dia melayang kembali ke langit dan hilang di antara awan.

Seekor kucing hitam mengambil surat itu, memandanginya seolah sedang membaca.

"Apa yang dikatakan para master, Djin?" tanya Gray tanpa memandang Djin, dia sedang berlatih dengan pedangnya.

"Hanya ucapan selamat telah membereskan Grim Reaper, bayaran yang telah ditransfer, dan misi baru"

"Misi apa?" Gray menghentikan latihannya mendadak. Memandang ke arah Djin dengan pandangan penuh tanya.

Djin melompat dari meja dan berjalan menghampiri Gray, menyerahkan perkamen tersebut kepada pemuda itu.

Gray mengambil perkamen di mulut Djin, lalu membaca isinya terutama soal misi berikutnya,

"...ada misi baru yang kami harapkan engkau emban Gray Aldric, misi ini kembali behubungan dengan salah ruangan di sekolahmu. Ruangan ini sejak lama tertutup rapat, konon ada misteri tak terungkap di dalamnya. Kau harus memecahkan misteri ini sebelum purnama berikutnya..."

Ekspresi Gray berubah masam, tampaknya dia kesal setelah membaca misi barunya.

"Kenapa kau?"

"Misi ini terlalu membingungkan, tidak ada informasi tentang ruangan ini seolah-olah aku harus mencari tahu sendiri ada apa tentang ruangan ini" keluh Gray melempar perkamen itu ke atas meja.

"Jika kau tak ingin mengambilnya, kenapa kau repot-repot untuk mengeluh?"

"Siapa bilang aku tidak ingin mengambilnya? Aku cuma mengeluhkan informasi di dalamnya, tapi yang membuatku penasaran adalah nama pemohonnya," ujar Gray.

"Siapa?"

"Helena, teman sekelas yang menarik perhatianku sejak awal pindahan," kata Gray.

Masih ada 10 hari lagi sebelum purnama tiba, Gray memutuskan untuk mencari tetua hantu. Menurut informasi dari Luna, hantu tua itu berdiam di pohon besar tepat di samping lapangan olahraga.

Gray menyentuhkan telapak tangannya di batang besar pohon itu, memejamkan matanya ia merasakan kehadiran kekuatan yang cukup besar menghuni pohon ini. Namun, energi itu cenderung positif.

"Permisi, bisa aku bicara denganmu?" sapa Gray ramah berbicara kepada pohon itu.

Tak ada yang terjadi.

"Permisi tetua hantu, bisa aku berbicara sebentar?" ulang Gray menyapa.

Angin berhembus agak kencang, namun tak ada terjadi.

"Ah memang harus memakai cara itu," Gray mengambil pisau berburu di kakinya, dan bersiap-siap melancarkan serangan pada pohon itu.

Bu Yola yang sedang berjalan di lorong lantai dua, tak sengaja melihat tingkah aneh Gray, dia berhenti sejenak dan memperhatikan. "Sedang apa anak itu?" batinnya bertanya.

Seorang anak perempuan berambut panjang cokelat, duduk di pinggir lapangan sambil memakan bekal makan siangnya, matanya menatap penuh minat ke arah Gray dan pohon besar di depannya.

Gray mengayunkan lengannya, namun belum sampai mata pisau mengenai batang pohon sesuatu menghentikannya.

"Jangan anak muda, atau ku bunuh kau," ancam suara tanpa tubuh.

"Oh, akhirnya kau muncul juga" Gray nyengir, melirik ke atas pohon.

Sesosok kakek berbadan tegap, kepalanya setengah botak, berpakaian hitam-hitam memandang penuh amarah ke bawah dari atas dahan pohon.

"Mau apa kau kemari anak muda?"

"Aku ke sini hanya ingin sekadar bertanya" kata Gray.

"Aku sedang tidak ingin menjawab pertanyaan apapun dari manusia," kata kakek itu setengah menggeram, walau terdengar suaranya, tapi bibirnya menutup rapat ketika dia berbicara dan matanya melotot seakan mau keluar dari tempatnya.

"Aku hanya ingin bertanya beberapa pertanyaan Kek, dan itu tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupanmu" gerutu Gray mulai tak sabar.

"Tetap saja, aku menolak" tegas Hantu Kakek itu kekeuh dengan pendiriannya.

"Waktuku mendesak dan hanya kau yang bisa membantuku" tukas Gray masih berusaha menahan dirinya.

Hantu Kakek itu tetap bergeming dengan keputusannya.

Gray memainkan pisau berburunya dengan jari-jarinya, seakan dia sedang mengintimidasi kakek itu.

"Aku takkan kalah melawan mu" geram Hantu Kakek itu, tahu apa yang akan dilakukan Gray terhadap dirinya.

"Oh kau menantang ku?" tanya Gray pura-pura bodoh. "Sudah beberapa lama sejak hari itu aku tidak melawan hal-hal gaib, mungkin kau bisa menjadi pemanasan untukku"

"Lancang!" teriak Kakek Hantu marah. Seluruh pohon dan tanah di sekitarnya berguncang hebat menerima kemarahan dari dirinya.

"Hebat juga kakek ini, meski tidak sebanding dengan Grim Reaper," batin Gray mengukur tingkat kekuatan arwah tua itu. "Bahkan tak ada seujung jarinya dibanding kekuatan ayahku..."

Gray mengambil posisi siap bertarung, dia siap menyerang dan diserang kapan pun juga.

"Stop! Stop! Hentikan kalian berdua!" teriak seorang wanita di belakang Gray.

"Yola?" gumam Gray menoleh ke belakang mendapati gurunya itu menghampiri dirinya.

"Mau apa Succubus wanita itu" gerutu Hantu Kakek itu.

"Succubus kan memang wanita, Inccubus baru pria," gerutu Gray sebal melirik hantu kakek itu.

"Kalian ini jangan berbuat seenaknya, kekuatan kalian akan mempengaruhi manusia di sini! Ini masih siang hari!" teriak Bu Yola memperingatkan, lalu dia memandang tajam ke arah Hantu Kakek itu. "Dan kau arwah tua bodoh, sudah kubilang pakai dulu otakmu, ukur tingkat kekuatan lawan mu sebelum kau melawannya, anak ini bukan lawan yang bisa kau kalahkan, dia sendiri pernah membunuh Grim Reaper,"

"A-apa?! Kau bilang anak ini mengalahkan Grim Reaper!" seru Hantu Kakek itu tak percaya, dia menoleh ke arah Gray, dan melihat pemuda itu melambaikan tangan ke arahnya. "Aku tidak percaya!"

"Kalau kau memang tidak percaya, bagaimana mungkin hantu-hantu di sekolah ini bisa melayang ke sana kemari, dan kau bisa mengeluarkan gempa kecil tadi tanpa memanggil sosoknya kehadapan mu?" tanya Bu Yola kesal, berkacak pinggang. Seperti biasa sosok iblis wanita itu tampil cantik dan menggoda.

Hantu Kakek itu berpikir sejenak, dia pun akhirnya sadar apa yang dikatakan Succubus itu benar, dan dia pun melompat turun dari atas pohon.

"Akhirnya kau turun juga, Kek" kata Gray senang. "Karena tak ada waktu lagi, maka... Apa?"

"Apa kau benar-benar mengalahkan Grim Reaper?"

Mendadak Hantu Kakek itu mundur beberapa langkah, dia nampak ketakutan merasakan aura kuat yang muncul tiba-tiba dari tubuh Gray.

"Masih tidak percaya, Kek?"

"Ti-tidak, aku percaya padamu, Nak" kata Hantu Kakek itu cepat-cepat. "Jadi apa yang ingin kau tanyakan?"

"Aku ingin bertanya soal ruangan yang tertutup rapat itu, di dalam lorong gedung sekolah" kata Gray langsung ke topiknya.

"Soal gedung itu, ya? Ruangan itu memang aneh sejak dulu, setahuku sudah begitu adanya sejak aku pindah ke pohon ini, dan sekolah ini masih berbentuk rumah tua bekas bangsawan. Ketika awal-awal pembangunan sekolah, ruangan itu satu-satunya yang tak berhasil dirobohkan, bahkan beberapa exorcist pernah diundang untuk menetralkan ruangan itu, tapi tetap saja nihil hasilnya" ujar Hantu Kakek itu bercerita.

"Ada apa di dalamnya?" tanya Gray semakin tertarik.

"Konon pernah terjadi pembunuhan di dalam sana, pembantu yang dulu bekerja di rumah bangsawan itu diduga seorang penyihir hitam yang kejam. Dia mengorbankan bayi, anak bangsawan itu, sebagai tumbal untuk mendapatkan kekuatan lebih serta syarat mendapatkan ilmu kecantikan dan awet muda. Tapi, prakteknya ketahuan oleh pemilik rumah, dia pun dikunci di ruangan itu, disiksa dengan berbagai alat penyiksa, sampai akhirnya dia dibunuh dengan gas beracun yang dimasukan ke dalam ruangan itu," ujar Hantu Kakek itu bergidik.

"Lalu mayatnya?" kali ini Bu Yola bertanya, ternyata dia pun tertarik dengan cerita ini.

"Mayatnya dimutilasi, dan dimakan oleh seisi rumah"

"Maksudmu? Mereka berubah gila?"

"Benar, kegilaan menyerang mereka, aku pikir itu karena kutukan," ujar Hantu Kakek itu.

Gray menganggap kasus ini semakin menarik. "Apa ritual yang dilakukan juga di rumah itu?" tanyanya bersemangat.

"Tidak" Hantu Kakek itu menggelengkan kepalanya, lantas menunjuk dengan jarinya ke arah barat. "Di sana daerah pinggiran sungai kota, di sebuah rumah kosong yang sekarang berubah menjadi museum hantu"

"Begitu ya, terima kasih, Kek, lain kali akan kubawa kan kau sesaji" kata Gray senang.

"Tunggu Nak, ada satu lagi yang ingin ku sampaikan kepadamu" desah Hantu Kakek itu, raut wajahnya berubah serius.

"Apa itu?"

"Sejak awal penyihir itu sudah dikutuk oleh Azazel, rohnya tidak akan pernah bahagia dan selamanya akan menjadi pembalas dendam, sudah puluhan orang yang meninggal akibat perbuatan dirinya, dan semuanya karena ingin mengungkap misteri ini, berhati-hatilah" pesan Hantu Kakek itu kepada Gray.

Gray pun berterima kasih dan memohon pamit kepada Hantu Kakek itu karena bel sudah berbunyi.

"Kapan kau ke sana?" tanya Bu Yola sedikit menuntut.

"Nanti malam, apa kau ikut, Bu?" Gray bertanya balik mengajak gurunya itu. "Ada beberapa orang lagi yang ingin ku ajak"

"Siapa?"

Gray hanya nyengir lebar dan bergegas kembali ke dalam kelasnya, meninggalkan guru cantik itu yang masih berdiri bengong di lapangan sekolah.