Chereads / Exorcis / Chapter 4 - Chapter 4

Chapter 4 - Chapter 4

"Ternyata kau dalang di balik kejadian selama ini, dan mengikat jiwa-jiwa hantu yang tidak bersalah di sekolah ini" kata Gray menatap jijik ke arah atap sekolah. Dia melirik ke belakang "apa dia bosmu, Bu?"

Succubus itu tak menjawab, dia terlampau ketakutan. Gemetar di tubuhnya tak mau berhenti.

Sosok yang berdiri di atas atap tetap berdiam, sosok itu hanya mengenakan jubah hitam, membawa sabit besar seperti malaikat pencabut nyawa, wajahnya tidak terlihat begitu jelas.

"Grim Reaper, sang kematian. Anak buah dari Azazel sang malaikat maut" kata Gray dalam bisikan. "Bagaimana kau bisa berada di tempat ini?"

Grim Reaper itu dalam sekejap hilang dari pandangan Gray. Persis seperti apa yang dilakukan pemuda itu ketika berhadapan dengan Succubus tadi.

"Traaang!" bunyi bilah pedang beradu dengan bilah sabit memenuhi udara malam. Ujung bilah sabit yang melengkung itu tepat di tengah-tengah kedua mata Gray.

"Aku belum mengizinkanmu bergerak" ujar Gray, nada suaranya begitu dingin. Dia menghentakkan pedangnya dan melepaskan diri dari cengkeraman Grim Reaper itu.

"Siapa yang menyuruhmu? Apakah Azazel sendiri? Apa salah satu tujuh dosa besar? Atau, kau bergerak sendiri?" tanya Gray waspada.

Grim Reaper itu tak menjawab. Gray melirik belakang dan melompat ke atas, ketika sabit besar Grim Reaper menyapu yang beberapa detik lalu tempat kakinya berdiri.

"Sungguh kecepatan khas dewa kematian," gumam Gray menjaga jarak. "Lengah sedikit saja, kakiku pasti sudah terpotong"

"Berhati-hatilah! Jangan sampai sedikitpun sabit itu mengenai dirimu, atau jiwamu akan tersedot" teriak Bu Yola mengingatkan.

Gray mengangguk paham, berterima kasih tanpa suara. Rupanya dia tak bisa bermain-main lagi seperti saat melawan Bu Yola. Dimensi kekuatan antara keduanya berbeda jauh, jika melawan Succubus selama kau bisa mengontrol hawa nafsumu maka kau pemenangnya. Tapi, melawan Grim Reaper dalam arti lainnya melawan kematian itu sendiri. Kau hanya bisa berdoa, bahwa hari ini bukanlah jadwal kematianmu di kalender dewa kematian.

"Grim Reaper, ya? Tak ada data dalam legenda yang menceritakan dia pernah terbunuh, dalam kitab-kitab lama pun tak ada, lagipula mana ada ceritanya pencabut nyawa dapat mati?" batin Gray merasa kesal sendiri. Dia melirik jam tangannya. "Kurang 3 jam lagi matahari terbit, semoga saja ada keajaiban"

Kali ini Gray berinisiatif menyerang dulu, dia menyabetkan pedang hitamnya secara vertikal, Grim Reaper terlambat menghindar, jubahnya robek dan terlepas dari tubuhnya. Sosok aslinya pun terlihat.

Tak ada kulit, tak ada daging, tak ada organ dalam, tak ada darah atau apapun itu yang membuat dirinya bisa disebut mahkluk. Sosok Grim Reaper hanyalah berbentuk rangka atau tengkorak manusia utuh dari kepala hingga ujung kaki.

Gray tak memberi kesempatan Grim Reaper memulihkan diri, dia terus maju menyabetkan dan menusuk menggunakan pedangnya.

Keduanya terlibat petarungan intens dan gerakan mereka sangat cepat. Gray mulai kelelahan, napasnya mulai memburu. Staminanya tak cukup kuat jika harus terus bertempur dalam kecepatan seperti ini. Apalagi Grim Reaper memiliki kemampuan memulihkan diri super cepat setiap terkena serangan dari Gray.

Gray melompat mundur, menjaga jarak dari Grim Reaper. Terengah-engah, dia menyeka keringat di keningnya.

"Aku harus menemukan cara bagaimana mengalahkan mahkluk ini" batin Gray berpikir keras.

Kelelahan membuat konsentrasi Gray turun, dia pun lengah ketika Grim Reaper menyergapnya tiba-tiba dari belakang. Gray tersadar ketika ujung sabit mengenai pipi kanannya, ia melompat menyamping untuk mengurangi dampak serangan lawan.

"Sialan aku..." tiba-tiba ia jatuh terduduk, staminanya berkurang drastis, tangannya gemetar hebat, seakan jiwanya tersedot keluar. Cengkeraman di gagang pedangnya pun melemah.

"Sudah kubilang kan, dasar" geram Bu Yola, tapi jauh di dasar hatinya ia berharap Gray tidak mati.

"Cih, aku kurang latihan akhir-akhir ini, tapi latihan sekeras apapun tak mungkin mengalahkan kematian, apalagi dia membawa senjata yang bisa..." sorot mata Gray kembali tajam, seringai terbentuk di mulutnya, sepertinya dia baru saja menemukan sesuatu yang mampu membantu dirinya mengalahkan Grim Reaper.

"Kuharap dia mendapat ide bagus" harap Bu Yola melihat ekspresi aneh di wajah muridnya itu.

"Bisa-bisanya aku melupakanku hal sepenting itu, jika ini berhasil... Mungkin, aku yang pertama mengalahkan kematian" gumam Gray senang.

Dia bangkit berdiri, menopang tubuhnya dengan pedangnya. Setelah mengatur napasnya, Gray memasang kuda-kudanya kembali, dan kini siap mengalahkan Grim Reaper.

Gray berlari mendekati musuhnya, sabit kembali disabetkan kepadanya. Gray berguling menghindar ke samping, Grim Reaper kembali menghujamkan sabitnya, Gray lagi-lagi menghindar. Dia terus menghindar dan menepis setiap kali Grim Reaper menyerang, dan terus mencoba menemukan posisi yang pas untuk serangan terakhirnya.

Kesabaran Gray terbayar. Ketika ia cukup dekat untuk menyerang, Grim Reaper menyabetkan sabitnya, Gray menunduk dan dengan cepat menghantamkan pedangnya, bukan ke tubuh Grim Reaper, melainkan ke sabitnya, sehingga menambah laju putarannya. Grim Reaper kehilangan kendalinya, sabit itu melesat cepat ke arah dirinya sendiri, mengoyak tulangnya menjadi dua bagian. Tak berapa lama Grim Reaper itu menjadi debu dan menghilang bersama angin, begitu juga dengan sabitnya.

"Kematian terletak di sabitnya, dan tubuhnya sendiri digerakkan oleh sabitnya itu, aku harus membuat catatan tentang ini," gerutu Gray letih. Lalu, dia terjatuh terlentang, pingsan kelelahan.

Bu Yola berjalan tertatih mendekati Gray, dia duduk bersimpuh di dekatnya.

"Sepertinya di masa depan kau akan membuat perubahan besar," gumam Bu Yola, tersenyum penuh arti. Lalu, dia melakukan hal yang tidak diduga. Mencium kening Gray. "Terima kasih telah membebaskan ku"

Bu Yola segera membawa anak itu pergi, apalagi di ufuk timur cahaya matahari mulai muncul, bersiap menyinari bumi ini dengan cahayanya yang hangat.

***

Perlahan mata Gray terbuka, mengerjap-ngerjap karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah kelambu. Dia merasakan tubuhnya kesakitan, namun kondisinya perlahan mulai pulih walau masih terasa lemas.

"I-ni di mana?" gumamnya melihat ke sekeliling dan tahu kalau itu bukan kamarnya. "Djin?"

"Kau sudah bangun rupanya," sapa Bu Yola berdiri menyender bersedekap di pintu kamar. Wanita itu masih mengenakan gaun tidur tipis berwarna pink.

"Kau?"

"Ya, sekarang kau berada di apartemenku, kau kubawa kesini setelah kelelahan melawan Grim Reaper" jelas Bu Yola berjalan mendekati Gray dan duduk di dekat kakinya.

Gray terduduk, dia hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Lalu bertanya kepada Bu Yola dengan pandangan menyelidik, "Anda tidak melakukan hal-hal aneh kepadaku, kan?"

"Gimana yaa? Yah, aku sedikit mencicipi mu" goda Bu Yola menatap manja ke arah Gray.

"Oh" Gray mengeluh, menunduk menutup wajahnya.

Bu Yola tertawa melihat ekspresi dan tingkah laku muridnya itu.

"Apa yang kau tertawa kan?"

"Tidak... Tidak, sesungguhnya aku tidak melakukan apa-apa terhadap dirimu," ujar Bu Yola.

"Benarkah?" Gray masih sedikit curiga.

"Iya Sayang, kecuali aku mencium kening mu setelah pertarungan itu, selebihnya aku tidak melakukan apa-apa" kata Bu Yola tersenyum penuh arti.

Gray tampak malu, tapi dia tak mempermasalahkan perbuatan Bu Yola padanya.

"Apa punggungmu tidak apa-apa?" tanya Gray lagi sedikit merasa bersalah karena telah mematahkan salah satu sayapnya.

"Punggungku baik-baik saja, walau mungkin belum bisa ku gunakan terbang dalam waktu dekat ini" jawab Bu Yola meringis sakit ketika dia menyentuh bahunya.

"Maaf, Bu"

"Tak apa. Makanlah dulu, jika kau ingin pulang pergilah siang nanti, biarkan tubuhmu pulih sepenuhnya" saran Bu Yola kepada Gray. "Aku sudah memberikan surat izin palsu, ku beritakan kau sedang ada urusan mendadak, dan aku pun juga izin sakit. Dan, pedangmu ku taruh di dalam lemari itu,"

"Apa kau setelah ini masih akan mengambil jiwa orang-orang lagi?" tanya Gray tiba-tiba.

"Succubus tidak memakan jiwa manusia, kami hanya bersenang-senang lewat mimpi, setelah dia kau kalahkan aku tidak ada niat lagi untuk mengambil jiwa manusia" jelas Bu Yola berterus terang.

"Begitu ya? Terima kasih atas pengertian mu, Bu" kata Gray tersenyum lemah.

"Tidak, aku yang harus berterima kasih, Gray. Jika tidak ada kau, mungkin aku masih dalam belenggu kekuasaan dia, dan entah berapa lama lagi aku harus menunggu sosok penyelamat sepeti dirimu" terang Bu Yola terlihat senang.

Mereka berdua lantas terdiam. Saling pandang dalam beberapa detik.

"Apa kau sudah punya pacar?" tanya Bu Yola, duduk bergeser tepat di samping Gray, kulit mereka berdua saling bersentuhan.

"Tidak, kenapa?" kata Gray cepat-cepat, ia merasakan deru napas gurunya itu di dekat lehernya, baunya wangi menyegarkan.

Jari Bu Yola menelusuri lengan Gray, pemuda itu sampai bergidik dibuatnya.

"Apa kau tidak tertarik menjalin hubungan dengan orang yang lebih tua?" tanya Bu Yola lagi, sesekali dia menggigit bibirnya, matanya menyipit tertarik kepada Gray.

Detak jantung Gray meningkat tajam, rasa-rasanya ia ingin sekali jatuh dalam pelukan hangat gurunya itu. Tapi, pikirannya masih jernih, jika dia dalam pengaruh Succubus tentunya dia tidak seperti ini...

Kecuali...

"Bu"

"Iya?"

"Kenapa kau tidak menggunakan kekuatanmu untuk menaklukan ku?"

Mendengar pertanyaan Gray, Bu Yola terkesiap, ia berdiri melompat menjauhi Gray, berjalan ke arah pintu dan ia mendadak berhenti menoleh ke arah muridnya yang masih kebingungan.

"Ayo kita makan, perutku sudah lapar" ajaknya kepada Gray.

"Berapa usiamu?"

"Kenapa?"

"Kau tidak seperti Succubus biasanya"

"Aku tidak akan menjawab pertanyaan mu" ketus Bu Yola dingin. Lalu, ia pergi keluar dari kamar Gray.

Ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Gray, tapi ia tidak menganggapnya sesuatu yang penting, setelah berpakaian dia pun menyusul Bu Yola.

"Ada yang aneh denganku tadi, ini bukan seperti diriku, manusia hanya untuk pemuas nafsu birahi saja tidak untuk dicintai, begitu kata ibu" batin Bu Yola meyakinkan dirinya sendiri.