Chereads / PILU DALAM PELANGI / Chapter 1 - Ch 01 : KABUT SENDU

PILU DALAM PELANGI

🇮🇩Donny_Saputra1995
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 10k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Ch 01 : KABUT SENDU

Riuh suara rintik hujan menyambut pagiku. Saat mata Ku terbuka, Aku berharap semua ini hanyalah mimpi. Tapi semua itu tidaklah benar. Ini adalah kenyataan. Perlahan Ku beranjak membuka jendela kayu dan disapa oleh kabut tipis. Hanya suara sendu yang Aku dengarkan. Selimut angin yang lebih dingin pun menerpa wajahku yang masih tak percaya ternyata Aku tidaklah di alam mimpi. Tanpa sadar, untaian air mata kembali menetes layaknya langit yang terlihat pagi ini.

Namaku Raka Bumi Sasongko. Semua orang tau Aku adalah anak terbuang. Satu- satunya orang yang membesarkanku telah tiada kemarin sore, meninggalkanku untuk selamanya. Dia adalah nenekku, Nyi Ayu Dewi Sasongko. Sejujurnya Aku masih memiliki orang tua, tapi jika Aku mengingat kembali kejadian delapan tahun silam sangatlah menyakitkan. Aku di usir oleh orang tua ku sendiri karena Aku dianggap gila. Banyak pasang mata menyaksikan saat itu yang membuatku trauma. Namun, semua trauma yang Aku alami disembuhkan seiring Aku tumbuh bersama nenek Ku. Dia lah satu- satunya orang yang mengajariku untuk hidup normal bersama dunia yang Aku tempati.

Mungkin bagi orang tua Ku sendiri, Aku dianggap gila. Sedari kecil Aku sudah hidup bersama makhluk yang tak dapat dilihat oleh orang lain. Bagi nenek Ku, anak sepertiKu adalah anak special. Tak banyak orang yang mampu memahami kehidupan orang sepertiku. Nenek Ku sendiri juga sama sepertiku namun masa kecilnya berbeda dengan Ku. Tak banyak orang yang percaya dunia berbau mistis di era modern seperti ini. Contoh nyatanya adalah orang tua Ku sendiri.

Setelah sekian lama, luka lama kembali terbuka. Terasa lebih sakit kali ini. Aku kini hidup seorang diri. Menyadari hal itu, isak tangispun terpecah tak percaya dengan pandangan mata menengok foto lama yang terpampang di atas dinding kayu kamarKu.

" Nek, kenapa harus sekarang? Aku masih butuh nenek. Bukankah nenek berjanji akan menemaniku sampai nenek punya cicit.

Hiks... Hiks.."

***

Seminggu telah berlalu. Tak terasa Aku larut dalam kesedihan yang mendalam begitu lama. Pagi ini perasaanku sudah lebih membaik meski kabut dalam hati ini belum sepenuhnya hilang. Kini Aku lebih mampu untuk mengendalikan pikiranku. Aku tak mau lebih lama lagi merepotkan para tetangga yang sangat bersimpati kepada Ku. Meskipun nenek sudah tiada, bukan berarti Aku hidup dalam kesendirian.

Aku sangat beruntung lingkungan tempatku tumbuh masih banyak orang yang perduli satu sama lain. Meski hanya sebuah perkampungan kecil pelosok jauh dari perkotaan yang ramai, bagiku tanah ini adalah sebuah berkah paling indah. Keluargaku sendiri merupakan orang paling berpengaruh didesa ini. Dahulu, leluhurku merupakan orang yang sangat berperan penting untuk membuka lahan di desa ini. Namun, hanya menyisakan Aku saja yang mendiami rumah yang menjadi salah satu warisan tertua di desa ini.

Tok.. Tok.. Tok...

Assalamualaikum...

Aku tersadar dari lamunan Ku mendengar suara ketukan dan salam dari luar.

" Iya sebentar."

Kulangkahkan kakiku bergantian membuka pintu dan melihat siapa yang datang sepagi ini.

" Waalaikumsalam. Loh Ar. Kan Aku sudah bilang Aku baik- baik saja. Kamu nggak perlu repot kesini tiap hari."

" Kamu kalau bilang seperti itu, arti sesungguhnya terbalik Ka. Memangnya Aku bocah kemarin sore yang percaya kata- kata seperti itu", jawabnya sambil melangkahkan kaki masuk kedalam rumah.

Dia adalah satu- satunya teman yang Aku miliki. Namanya Arga. Kami berteman semenjak Aku pindah ke kampung ini. Kami juga sekolah ditempat yang sama dari SD, SMP bahkan nanti Kami memasuki SMA yang sama. Mungkin semua anak dari kampung ini berteman dengan ku. Tapi tidak untuk anak kampung lain. Mereka yang dari kampung sebelah menganggapku aneh. Bahkan hal itu membuat masa SMP Ku begitu kelam. Untung saja Arga satu- satu orang yang memahamiku dengan segala perbedaanku.

Setiap kali Aku melihat wajahnya jujur saja Aku sangat senang. Setelah mendiang nenekku tiada, Aku menyadari ketulusannya. Sejujurnya, masih ada hal yang Aku rahasiakan darinya. Kemampuanku yang mampu menbaca isi hati orang lain. Sejak dua tahun lalu Aku menyadari, Arga jatuh hati padaku. Dia diam sampai saat ini karena Dia takut Aku menjauh darinya. Sejujurnya dulu menyadari hal itu Aku sempat menghindar namun gagal karena Aku sendiri tak mampu menjauh darinya. Aku hanya bisa menunggu apakah perasaan Kami nanti akan sampai satu sama lain, ataukah mungkin takdir berkata lain.

" Aku beneran sudah nggak apa- apa Ar. Sekarang sudah lebih baik. Kamu sudah sarapan?"

" Jangan mengalihkan pembicaraan loh. Buktiin kalo perasaanmu membaik."

" Iya iya. Minta bukti apa?"

" Masak gih. Aku kangen masakan Kamu."

" Heleh. Bilang pengen sarapan aja belibet Kamu ini. Ya udah, tapi bantuin."

Dengan senyum lebar dia melangkahkan kaki mendahuluiku menuju dapur. Aku pun melangkah mengekorinya dengan gelengan kepala.

" Ka, Aku yang bikin nasi liwetnya ya."

" Kamu bisa? Ntar gosong loh. Sayang berasnya."

" Bisa. Percaya deh. Kemarin- kemarin emang nasi yang Aku bawa siapa yang masak, hah?"

" Loalah, pantes bau rada gosong. Tapi yang dua hari terakhir nggak ada masalah sih. Hehehe."

" Iya tau yang sebelumnya emang gosong sih, sampe dipukul centong sama si mbok pas ketahuan."

" Ya udah jangan sampe gosong lagi. Ini lauknya tumis kangkung sama tak buatin telur balado saja ya. Nggak banyak bahan soalnya dikulkas."

Senyum lebar dan anggukan menunjukkan Dia setuju begitu saja. Pesona dari senyumannya itu membuatku terkagum. Namun rasa kagum itu seketika hilang karena ada sosok yang muncul mengagetkaku. Kalian pasti tau setiap rumah pasti ada penunggunya. Apa lagi rumah yang Aku tinggali ini sudah berusia puluhan tahun meski hampir semua terbuat dari kayu namun tetap kokoh berdiri.

Sosok harimau putih tiba- tiba berjalan santai dari belakangku tanpa suara dan hanya berdiri melihat Kami. Aku pun tersontak kaget menjatuhkan telur yang Ku pegang. Aku hanya diam menata hati karena masih kaget. Bukan karena takut, Aku sudah hafal dengan beberapa makhluk yang mendiami rumah ini dan salah satunya Dia. Sejujurnya berkomunikasi dengan makhluk seperti ini tak perlu sampai mengeluarkan suara. Hanya cukup melalui batin, suara ini akan tersampaikan.

" Duh Aki ngagetin. Nggak salam nggak nyapa malah diem gitu. Kan sayang telurnya jadi jatuh ini."

" Haha. Saya kan tinggal sama Kamu. Kenapa Saya harus salam? Tapi melihat Kamu yang seperti ini Saya sudah lega. Itu berarti Kamu sudah mengikhlaskan Dia pergi."

" Aki jangan nyinggung itu dulu. Saya masih sensitif kalo diajak bahas almarhumah si mbah."

" Maafkan Saya. Saya hanya mengkhawatirkan Kamu. Karena permintaan beliau meminta Saya menjagamu setelah kepergiannya. Baiklah silahkan lanjutkan kembali, Saya juga mengingatkan jangan lupa mengunjungi makamnya nanti sore. Saya kembali dulu."

Harimau putih itu pun menghilang diiringi kepulan asap tipis. Sebenarnya ada empat penghuni yang menjaga tanah rumah ini dan menjaga rumah ini tetap berdiri kokoh. Rumah peninggalan ini adalah rumah adat joglo dengan empat pilar utama menyangga rumah ini berdiri. Tiang- tiang tersebut merupakan rumah Mereka. Leluhur dulu mengukir pahatan sosok yang menghuni tiang tersebut mengitari setiap sisinya. Mereka bukanlah makhluk pesugihan. Tapi mereka ada khodam atau jin peninggalan yang mengikuti leluhurku yang mana adalah seorang spiritualis jawa. Untungnya mereka tidak pernah meminta apapun, itu menandakan leluhurku jaman dahulu tak pernah melakukan sesuatu yang dianggap sesat.