** Arsya POV **
Alarm menyala sudah berlalu. Saat Aku mulai terbangun seketika itu pula Aku terkejut karena jam di handphoneku sudah menunjukkan angka sepuluh. Langkah seribu pun Aku lakukan untuk bersiap karena hari ini adalah hari dimana sepupuku Arga dan (Dia) akan pindah ke asrama hari ini. Sejujurnya Aku semalam sulit terlelap karena tak sabar menunggu datangnya hari ini. Aku sudah lama sekali tak melihat wajah Raka. Setelah ku selesaikan persiapanku, langkah kakiku berganti menggapai kunci mobil dan menuju tempat parkir asrama. Tanpa pikir panjang Aku langsung mengambil roda gigi berangkat menjemput Mereka berdua.
" Sudah 2 tahun. Aku berharap Kau belum menjadi milik siapapun."
Sebelum hari ini datang, alasanku bersemangat adalah Raka. Aku sudah mengenalnya 2 tahun lalu. Entah Dia masih mengingatku atau tidak, karena pertemuan Kami hanya beberapa hari saja saat itu, namun bagiku itu adalah hari yang sangat menyenangkan.
Waktu itu Aku sedang mengungsi ke rumah keluarga Arga karena Aku sedang terbebani oleh beberapa hal. Hal pertama adalah beberapa hari sebelumnya Aku berkonflik dengan kedua orang tuaku. Aku sebenarnya adalah homoseksual dan hal itu Aku ungkapkan kepada kedua orang tuaku. Bundaku sebenarnya sudah tau sejak lama dan Dia merahasiakan hal ini dari Ayahku karena tempramen yang Dia miliki. Aku masih ingat saat Aku terbuka kepada Bunda, kata- katanya mampu membuatku tak terbebani hidup didunia seperti ini.
" Sya, meskipun Kamu berbeda, Bunda tetep sayang sama Kamu karena Kamu anak bunda. Tidak ada yang salah meskipun Kamu seperti ini, bunda tak melihat perubahan Kamu dan Bunda berharap Kamu tak berubah menjadi lebih buruk setelah beban yang Kamu simpan selama ini sudah Bunda terima. Tapi rahasiakan hal ini dari Ayah, jujurlah jika waktunya sudah tepat nak."
Saat kurasa waktuku tiba untuk jujur kepada Ayah, Aku malah dianggap sedang stres dan Ayah memaksaku datang ke psikiater. Akhirnya karena Aku menolak keras bahwa Aku tidak gila, terjadilah batu hantam antara Aku dan Ayah. Bunda yang melihat Kami bertarung akhirnya melerai Kami dengan penuh isak tangis. Setelah itu Aku diminta oleh Bunda untuk tinggal sementara di rumah keluarga Arga karena Bunda memintaku memberi waktu kepada Ayah untuk menerima kondisiku. Sejujurnya Aku tak terlalu mengiyakan, namun datanglah masalah kedua. Aku berpikir untuk mengungsi sementara di kos- kosan Ardi, pacarku. Pada waktu itu, beberapa hari sebelumnya Ardi pamit pulang kampung jadi Aku berpikir untuk tak menghubunginya karena Kami berdua juga masih menyembunyikan hubungan terlarang Kami dari dunia luar. Aku hanya takut terjadi insiden tak terduka. Namun, sesampainya di kosan Ardi, insiden lain malah terjadi. Setelah Aku buka pintu kamarnya, pemandangan mengerikan mengejutkanku. Sejak awal Ardi pindah kesini sebenarnya Aku sudah memiliki kunci cadangan yang diam-diam Aku buat karena wataknya yang pelupa. Namun hari itu serasa duniaku hancur. Setelah kenyataannya kondisiku yang seperti ini, Aku malah memergoki Ardi sedang tidur pulas tanpa sehelai benang bersama pria lain. Aku hanya menangis diam melihat pemandangan itu. Aku lelah jika harus memukul seseorang lagi. Kuputuskan membangunkan Ardi yang sedang terlelap itu. Dia yang kaget melihat kedatanganku dengan panik melihatku dan pria yang berbaring disampingnya itu berusaha menjelaskan namum seketika Aku potong dengan nada santai.
" Di, kejarlah kebahagiaanmu. Aku tak apa. Ini kali teralhir Aku ingin melihatmu. Terima kasih untuk selama ini."
Setelah kuselesaikan semua urusanku dengan Ardi, Akupun beranjak pergi secepat mungkin menuju rumah keluarga Arga. Dan sesampainya disana Aku tak sepatah katapun bercerita soal ini kepara orang tua Arga, hanya Arga lah yang menjadi tempatku bercerita meski Dia masih terhitung bocah, tapi Arga adalah anak yang cukup memahami dunia semua masalahku dan tak mempermasalahkan Aku ini seperti apa. Entah apa yang Aku pikirkan sampai Aku begitu saja terbuka dengan Dia, namun sedikit rasa sedihku hilang dan jujur saja Aku sangat berterima kasih sepupu kecilku itu.
Karena semua pelik permasalahku, di hari kedua semenjak Aku tinggal disini, Arga mengajakku keluar. Dimintanya Aku membawa mobil untuk ikut menjemput seorang temannya tak jauh dari rumah pergi bersama ke air terjun. Dia adalah Raka. Aku tak terlalu memperhatikannya waktu itu karena Kami masih canggung untuk basa basi ditambah Aku masih memikirkan Ayahku.
Sesampainya ditempat tujuan Kami, Aku tak ikut menghibur diri bersama Mereka bermain air. Aku hanya duduk disebuah batu besar memandang air yang terjun bebas dari atas tebing itu. Suasananya begitu damai.
" Aku kanget liburan sama Ayah sama Bunda jadinya. Coba aja Mereka bisa Aku bawa kesini."
" Hayo Bang jangan ngelamun ditempat kaya gini. Nanti kesambet penunggu sini loh."
Aku tersontak kaget mendengar suara yang muncul dari belakangku. Aku tak menyadari Raka yang sedari tadi bermain air tepat di depanku sekarang sudah naik keatas batu tempatku merenung.
" Eh Ka. Abang nggk melamun kok. Abang cuma takjub liat tempat ini. Kamu kok disini? terus Arga mana?"
" Dia lagi kewarung situ pesen bakmi goreng buat kita juga. Kan tadi belum sempet sarapan. Abang lagi masalah ya? Diem mulu dari tadi."
" Enggak ko Ka. Abang baik- baik aja."
" Bang, mau denger sesuatu nggak?"
" Denger apa Ka?"
" Aku sebenernya bisa liat dedemit. Hahahahaha"
" Hah? Haha, becanda Kamu garing sih. Tapi makasih ya."
" Sama- sama bang. Tapi bang, menurutku tak ada salahnya berkata jujur. Waktulah yang akan menjawab dan Kita hanya menunggu buah dari kejujuran Kita. Tuhan itu enggak pernah tidur kok. Kita percaya saja semua masalah pasti teratasi selama Kita memiliki hal patut untuk Kita percaya. Jangan pernah berbohong meski itu pada diri sendiri jika ingin bahagia."
Seketika Aku terdiam mendengar perkataan yang dikeluarkan dari bibir merahnya itu. Aku tak berharap hal itu diutarakan oleh seorang bocah. Aku juga dibuat bertanya- tanya kenapa bocah jaman sekarang lebih cepat dewasa. Semua lamunanku terpecah mendengar teriakan Arga memanggil Kami berdua untuk makan. Akupun berteriak kembali menjawab permintaanya itu karena jarak Kami berdua lumayan jauh.
Aku memandangi kepergian Raka yang tengah melompat dari batu tempat Kami duduk ke batu lain menepi dari sungai. Sejak mendengar kata- kata yang dibicarakan olehnya, Aku mulai memperhatikan bocah itu. Jujur saja Dia tak nampak seperti bocah seumuranya. Sama seperti Arga, postur tubuh Raka juga terbentuk dengan perut kotak dan otot lengan yang berisi. Dengan kulit putih dan bibir merahnya menjadi nilai imut karena memiliki wajah oval dan sebagai tambahan tingginya pun lebih mirip seperti anak SMA. Menyadari lamunanku karena dipergoki olehnya, Aku segera menyusulnya tak ingin membuatnya curiga jika Aku sedang memperhatikannya dari jarak itu.
Beberapa hari berlalu, waktu yang Aku habiskan disini cukup menyenangkan. Tanpa Ku sadari Aku pun juga sudah jatuh cinta kepada Raka. Setelah kejadian di air terjun, Aku memutuskan untuk mengenal Raka lebih jauh dengan menggali informasi dari Arga. Setelah semua informasi kurasa cukup, Aku sangat terkejut mendengar semua itu. Namun itu hanya akan menjadi rahasia Kami saja. Hari dimana Aku kembali kerumahpun tiba. Ayahku datang menjemput bersama Bunda kemari. Aku sangatlah senang karena kedua orang tuaku menerima kenyataan sejatinya diriku ini. Mendengar penuturan itu, orang tua Arga cukup kaget dengan kondisiku, namum Mereka juga pada akhirnya menerimaku meski Aku berbeda. Aku tak kaget dengan keluarga ini, karena Aku sangan mengenal watak keluarga ini sedari kecil.
Kepergianku dari rumah Arga pun hanya diketahui oleh ayah dan ibunya saja. Aku hanya meninggalkan pesan dan ucapan terima kasih. Aku juga masih punya urusan yang Aku tunda mengenai pekerjaanku menjadi guru magang di yayasan swasta kota ini. Sudah waktunya Aku melanjutkan rutinitasku. Dan untuk Raka, Aku hanya berharap kesempatanku bertemu kembali dengannya suatu hari nanti.
Hari berganti tahun. Sebulan yang lalu Aku sangat terkejut mendengar kabar dari Arga bahwa Raka mendapatkan beasiswa pendidikan lanjut SMA disini. Itu kabar bahagia bagiku karena hal yang Aku harapkan terkabul. Dan hari dimana Aku melihatkan kembali telah tiba saat ini.
Sesampainya Kami di sekolah yayasan tempatku bekerja, Aku mengajak Mereka berdua berkeliling agar nantinya ketika hari pembelajaran tiba, Mereka tak dibuat bingung oleh tata letak gedung karena pihak yayasan mengadakan acara MOS dengan cara berbeda dari sekolah- sekolah pada umumnya. Tanpa diduga sebuah kejadian tak mengenakjan menimpa Raka. Aku terkejut melihat Dia terduduk lemas bersimbah darah keluar dari hidungnya. Melihat Arga yang sigap membersihkan darah membuatku terbakar api cemburu. Setelah kupastikan Arga selesai membersihkan semua darah itu, entah kenapa Aku merebut Raka dan menggondongnya begitu saja menuju UKS tanpa memandangi Arga.
Sesampainya di UKS menyadari tindakanku yang ceroboh, Aku memutusnya membantu Mereka mengurus administrasi dan meminta kunci asrama yang sudah disiapkan oleh pihak tata usaha sebagai caraku menghindar agar tindakanku barusan tak terlalu disadari oleh Raka. Setelah semuanya selesai, Aku segera kembali ke UKS dan betapa terkejutnya melih tangan Arga yang memegang erat jemari Raka. Akhirnya langkah kakiku berputar seraya menyusuri lorong sampai Aku bertemu salah seorang satpam pengurus asrama. Karena terbakar cemburu tanpa alasan akhirnya Aku meminta tolong kepada santpam itu untum menjemput dan mengantar Mereka berdua yang kini Aku tinggalkan sendiri. Aku hanya pergi menyendiri diliputi rasa cemburu dan banyak sekali pertanyaan yang butuh jawaban.
" Kenapa Arga begitu dekat sekali dengan Raka. Apakah Mereka berdua juga sepertiku. Apakah mereka berhubungan. Ah tidak mungkn. Aku tau kedekatan Mereka seperti apa. Mungkin hanya kecemburuanku saja yang membuatku berpikir seperti itu."
Seraya pergi Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa Aku hanya dilanda cemburu. Diluar entah benar atau salah, Aku meyakinkan diriku seperti itu.