*** Arga (POV)***
Dia bagai mentari pagi. Bagiku hanya Dia yang mampu membuat keberadaanku disini lebih berarti. Dia yang selalu terlihat kokoh namun sangat rapuh jika tersentuh yang membuatku ingin suka rela menjadi sosok pahlawan untuknya. Aku tak habis pikir, orang tua mana yang rela membuang sebongkah berlian yang begitu indahnya. Namun itulah kehidupan yang harus Dia jalani. Bagiku apa yang dimilikinya adalah harta yang sangat berarti dan Aku mencintainya dengan segenap hatiku hingga saat ini.
Berbeda tak seperti biasanya. Keberangkatan Kami hari ini entah mengapa membuatku begitu khawatir. Aku takut terjadi sesuatu terhadapnya dan ternyata hal yang Aku khawatirkan terjadi. Melihat Dia duduk terdiam dengan darah yang menetes, badan serasa terguncang saat Aku sentuh, wajah pucat yang nampah tak tahan oleh sakit. Hal itu membuatku ingin menangis. Aku sangat sakit melihatnya jika seperti ini. Dia tak pernah sekalipun mengeluh atau berteriak tolong padaku. Aku selalu tau apa yang Dia pikirkan, karena hanya tak ingin merepotkan orang lain. Mesti tak terucap kata dari mulutnya, dalam setiap langkah yang dijalaninya selalu mengartikan sesuatu.
Kugenggam erat jemari berlumuran darah itu dan kuminta tatapan matanya untuk hanya melihatku seraya Aku membersihkan noda merah yang tak henti memetes. Sejak kejadian itu, setiap kali Dia melihat darah, tubuhnya pasti akan merespon seperti ini meski pikirannya sadar. Memang, mungkin hal itu menjadi trauma mengerikan bagi anak kecil yang melihatnya secara langsung.
" Kamu pasti diganggu dedemit lagi", ucapku dalam hati.
Ini lah sisi kelemahan Raka yang lain. Hal ini terjadi bukan kali pertama. Selama Aku tumbuh bersama dengannya dulu kerap kali terjadi namun hal ini diperparah dengan trauma berat yang diingat oleh raga miliknya. Pernah almarhumah neneknya berkata padaku jika Raka diganggu lelembut yang jahat, pasti tubuhnya akan mengeluarkan darah karena pagar yang ditanam terkikis oleh kekuatan yang tak dapat dilihat. Raka dengan kemampuan khususnya membuat Dia dijauhi oleh banyak orang yang tak terlalu mengenalnya. Bagiku dan Semua orang kampung disana sangat memahami kondisi Raka karena itu adalah sebuah warisan. Menurutku pribadi itu adalah warisan yang sangat merepotkan, jika Aku yang menerimanya mungkin lebih baik Aku lepaskan saja. Tapi hal itu berbeda dengan Raka. Dia lebih memilih menerima kemampuan ini karena hal ini lah yang menjadi semangatnya untuk tetap bertahan hidup.
Setelah kuselesaikan membersihkan cipratan noda merah itu, Aku terkejut bukan main melihat Raka yang tiba- riba digendong oleh Bang Arsya. Melihat Dia yang berlari seperti itu menjadi pemandangan yang mampu menyulut api cemburu yang sangat besar. Mukaku terasa panas dengan kepalan tangan yang sangat kencal menjadi awal emosiku tersulut.
" Apa- apa sih maksud Dia seperti itu. Sial. Aku didahului."
Masih dengan langkah emosi dan sedih melihat hal itu mengiringi langkahku menyusul Mereka yang Aku pikir akan dibawanya ke tempat kesehatan. Sesampainya disana Aku hanya diam. Bahkan Aku tak menjawab apa yang pria itu katakan padaku karena masih terbawa emosi. Aku hanya menyerahkan hal yang Dia minta dan menjawab apa yang Dia tanya dengan lekuk badan saja.
" Dasar serakah. Apa Kau tak sadar Dia hanya milikku. Jangan harap Kau bisa mendekatinya."
Kini hatiku menjadi gusar tak karuan. Hanya raut kesedihan yang nampak jelas diwajahku. Aku merasa menjadi pria yang terlalu pengecut dan terlalu rendahan. Aku tak mampu jujur pada perasaanku sendiri terhadap orang yang selama ini menjadi cintaku dalam kabut. Aku pun merasa dipermalukan karena sikap pahlawanku dicuri oleh orang itu. Aku tak berharap benar- benar harus bersaing dengan sepupuku. Jepas sekali Aku kalah telak. Aku masih belum menjadi apa- apa dibanding dengannya. Memang keluarga besar Kami adalah keluarga berada, tapi itu bukanlah hasil keringatku. Mungkin dari segi ketampanan Aku tak kalah saing dengannya, namun dari segi hal lain Aku menilai diriku nol besar.
Aku tersadar dari lamunan rasa bersalah yang menyelimutiku, terasa genggaman halus dari tangan hangat yang masih bergetar menggapai lenganku. Apa yang kupandangi saat ini adalah tatap sayu seperti penuh kaca yang akan segera pecah jika tak ditahan dari mata sosok yang selalu menjadi mentari bagiku. Kugenggap erat jemari yang menggapai lenganku dengan wajah penuh senyuman palsu.
Dia menyadari respon yang keberikan padanya adalah topeng kepalsuan. Aku sendiri paham betul, Aku tak pandai berbohong jika dihadapannya. Dan sebenarnya mana bisa pula Aku berbohong padanya. Jika adahal yang tak mampu Aku utarakan Aku lebih memilih diam dadi pada hanya sebuat topeng buruk yang akan terpakai diwajahku yang tampan ini. Aku juga tak sanggup jika mendengar kata- kata yang akan terucap olehnya jika Aku ketahuan sedang berbohong padanya. Seperti saat ini, hasil dari kalimatnya malah membuatku makin merasa konyol karena Aku masih tak mau jujur. Aku tak menyalahkannya, karena benar adanya itu adalah kesalahanku. Raka hanya mendorongku untuk lebih berani. Tapi Aku sendiri masih takut jika hal itu berhubingan antara perasaaku yang terlarang terhadapnya.
" Maafkan Aku. Aku tak bisa jujur sekarang. Aku takut jika Kau menghilang dari sisiku. Mungkin lebih baik Aku menjagamu tetap seperti ini karena Kau tak akan pergi meski Aku menjadi teman yang memendam cinta terhadapmu yang menjadi rahasia."
Cukup lama kami ditinggal berdua diruangan ini. Raka sudah sedikit lebih tenang karena sudah memejamkan mata sedari satu jam yang lalu. Tubuhnya tak terlihat bergetar. Dengan perlahan Aku melihat sekeliling ruangan ini. Kembali Aku dibuat takjub karena ruang UKS nya saja begitu besar dan memiliki fasilitas seperti klinik medis kebanyakan. Dan disebuah papan juga terdapan sebuah jadwal dokter jaga ruangan dan jadwal piket kelas yang berjaga disini. Aku bersyukur bisa masuk kemari ditambah lagi Aku tak jauh dari Raka. Sebuah harapan beserta mimpi besar ku pun mulai tertanam tepat saat ini.
Tak selang beberapa lama semenjak kuberdiri, datang seorang satpam menemui Kami. Aku diberitahu olehnya jika Dia akan mengantar Kami berdua menuju bangunan asrama. Merasa terheran Akupun juga bertanya ke satpam tersebut kemanakan si tukang rusuh tadi pergi. Mendengar jawaban dari satpam itupun Aku merasa lega sekali karena Dia tak akan mengikuti langkah Kami berdua dan mengganggu waktuku bersama. Ya memang sedikin egois, lagi pula Aku juga tak berharap Dia terus mengikuti Kami. Terlepas dari itu semua, kubangunkan Raka yang sedang tertidur secara halus danembawanya berlalu menuju gedung asrama. Aku tak sabar akan ada petualangan apalagi nantinya dan Aku berharap kali ini Aku memiliki kesempatan untuk menyatakan perasaanku.