Pagi mulai menyingsing diiringi ayam berkokok saling menyapa dan terlihat jelas waktu menunjukkan jam lima tepat dari arah jam dinding. Setelah Aku tersadar sepenuhnya, Aku pun beranjak dari dipan tempatku tidur menuju sumur belakang untuk menjernihkan pikiranku. Hari ini telah datang. Hari dimana Aku melangkahkan kakiku untuk belajar didunia luar. Anggap saja begitu. Meski Aku masih bersekolah dikota yang sama, namun membutuhkan waktu 3 jam lebih jika Aku menempuh perjalanan dari rumah ini. Hal itu tidak mungkinkan Aku lakukan setiap hari. Aku harus memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh sekolahku nanti sebaik mungkin. Aku tak ingin terlalu terganggu dengan waktu yang terbuang percuma jika Aku bisa membuatnya menjadi waktu produktif.
Kembali setelah Aku merapikan semua barang yang harus Aku bawa nanti, ku gantikan langkahku menuju dapur menyiapkan sarapan. Dari bahan yang Aku beli kemarin sore, Aku juga sudah berencana membuat bekal untuk diriku sendiri dan Arga nantinya. Mungkin hanya makanan sederhana yang mampu bertahan sampai siang nanti tidak basi agar bisa mengisi perut sampai tak terasa lapar sampai sore. Karena Kami belum tahu nanti disana seperti apa, hanya hal ini yang terbesit dalam pikiranku. Setelah kupastikan semuanya tak ada yang terlupa, sejenak ku sandarkan tubuhku dikursi kayu tempat biasa nenek dulu. Sedikit kenangan waktu itu membuatku terlena tanpa menghiraukan apapun sampai akhirnya Aku dikagetkan suara keras gedoran pintu dan kulihat jam pun sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.
" Ka, lama banget bukain pintunya? Nggk denger apa Aku sampe teriak- teriak panik. Tak pikir Kamu kenapa- kenapa."
Melihat wajah paniknya ketika Aku membuka pintu yang hanya Aku balas hanya dengan senyuman, langkah kesalnyapun menggiring Dia memasuki rumah.
" Maaf Ar, tadi Aku baru kelar bikin sarapan. Kamu udah sarapan?"
" Belum. Mbok ya ambilin minum dulu, nggak tau apa ini kerongkongan dah kering gara- gara teriak panik. Pengertian dikit ngapa."
" Halah, nggak usah ngeriwik aja. Dah ayok sekalian sarapan kalo mau ambil minum dibelakang. Terus berangkat, keburu siang."
" Ck.. Iya."
Diapun melangkah dengan decakan kesal meninggalkanku di belakang karena Aku tak pernah menanggapi setiap rengekannya yang seperti itu. Aku tau Dia sebenarnya melakukan hal itu karena hanya untuk mendapatkan perhatianku saja. Aku melakukannya hanya berpikir agar Dia sedikit lebih dewasa saja, apalagi Dia itu seorang pria. Malu kalo laki- laki kok banyak ngrengek. Dengan bahu terangkat dan kepala menggeleng menggiringku menyusulnya ke dapur.
" Ka, nanti pas sampe kota Kita nyari makan dulu yok dibungkus buat dibawa ke asrama."
" Hah, ngapain?", jawabku ketus.
" Kok ngapain, terus Kita mau makan apa nanti siang? Kan kita belum familiar sama tempatnya."
" Makanya kalo masuk rumah itu biasain peka sama sekitar. Liat sana dimeja ruang depan tempat Kamu duduk. Box makan sampe numpuk tiga segede itu kok ya nggak dilihat."
Akhirnya Dia pun berpindah melihat tempat yang Aku sebut sambil membawa piring berisi makanan yang belum sempat dihabiskan dan kembali hanya dengan kata hehehe saja seraya melihatku dengan tatapan malu.
" Makanya jangan cuma riwik. Malu- maluin."
Setelah Kami selesai membereskan semuanya, Akupun mengunci rumah ini dari luar dan menitipkan kunci cadangannya ke tetangga samping rumah persis. Hal itu sudah jadi kebiasaan. Kami pun berangkat menggunakan jasa ojek kampung menuju gerbang desa dan Kami lanjutkan dengan menaiki bus yang biasa lewat dijalan raya ini untuk menuju terminal. Cukup memakan waktu, desa Kami berada dipelosong pinggiran Kota. Jadi tidak perlu heran jika membutuhkan waktu lumayan lama untuk sampai diterminal, belum lagi kalau bus nya butuh mangkal pasti waktu yang dibutuhkan lebih panjang lagi.
Sesampainya diterminal, Kami berduapun turun tepat di pintu masuk. Karena Arga membuat janji temu dengan sepupunya disini. Tak selang beberapa lama, sebuah mobil honda jazz berwarna putih berhenti tepat ditepian jalan seberang dimana Kami berdiri. Nampak sosok pria keluar dari mobil tersebut atau lebih tepatnya pria tampan. Secara visual dengan tubuh tinggi, kulit putih dengan style rambut panjang terkuncir ponitailbditambah setelan kemeja putih panjang dengan chinopants pendek warna khaki serta separu sneakers. Sangat modis sekali. Untuk wajah hampir mirip sekali dengan Arga, namun bentuk hidup arga lebih bagus jika dibandingkan dengannya.
Dia adalah Arsya. Sepupu Arga yang menjadi guru disana. Dia berumur 26 tahun. Setelah melewati masa magangnya disana, sepupunya memilih untuk menjadi staff mengajar disana karena terbujuk rayu oleh fasilitas yang ditawarkan oleh dewan yayasan. Hanya salam penyambutan singkat saja untuk Kami darinya. Karena siang semakin terik, Kami putuskan obrolan Kami berlanjut saja sekalian berangkat menuju sekolah.
" Kalian pasti capek banget perjalanan jauh dari kampung itu", tanya Bang Arsya.
" Ah enggak. Orang bentar doang kok", sahut Arga dengan nada santainya.
" Ga, liat itu sampingmu melotot."
Kembali pandangan Arga menatapku takut. Dia tau dan sengaja kalau sepanjang perjalan sengaja beristirahat dipundakku, bahkan leherku sampai kram menahan kepalanya itu. Aku pun tak banyak berkomentar dan hanya diam saja karena Aku kelelahan. Tak berapa lama, Kamipun sampai di depan sebuah gerbang besar yang didalamnya terlihat beberapa gedung bertingkat deng tulisan sambutan besar.
" SELAMAT DATANG DI SMAK YAYASAN MENTARI"
Aku dan Arga sangat takjub melihat penampakan bagian luar sekolah ini. Kami sebelumnya hanya melihat di internet dan majalah saja. Setelah menyaksikan aslinya, Kami tak berhenti takjub.
" Ok. Kita sampai. Yuk turun, Kita selesein administrasi dulu dan ambil kunci asrama Kalian diruang tata usaha", Ajak Bang Arsya.
Aku dan Arga pun mengikuti permintaannya dan berjalan mengekor. Seiring Kami diantar menuju melihat dalam sekolah dan beberapa ruangan yang Kami lewati menuju kantor tata usaha untuk menyelesaikan administrasi, Aku hanya diam tak menanggapi apa yang dibicarakan Bang Arsya. Pikiranku hanya hanyut sendiri.
Jujur Aku takjub dengan sekolah ini, namun ada hal yang membuatku merasa janggal disini. Aura yang Aku rasakan disini begitu gelap. Meski masih siang, lorong yang Kami lewati terasa mencekam sekali. Bahkan hal itu Aku rasakan tepat setelah melewati gerbang. Nampak juga beberapa sosok dengan aura hitam pekat menghuni sekolah ini di beberapa titik yang sempat Aku lewati. Aku bersyukur, dulu Aku pernah diajari sebuah amalan jawa untuk menghilangkan hawa keberadaan agar para lelembut itu tak dapat menyadari kehadiranku oleh almarhumah nenek. Namun seketika Aku dibuat terkejut. Terdengar jelas dikepalaku suara seorang wanita berkata selamat datang kepadaku. Aku paham itu adalah suara batin. Bahkan itu sampai membuatku mematung, merasakan kepalaku ingin pecah karena dinding amalanku telah dirusak paksa. Bahkan tanpa Aku sadari darang menetes keluar dari hidung sehingga menyadari itu Aku hanya terduduk lemas memegangi kepalaku sendiri dan melihat darah ditanganku.
Arga yang melihatku seperti itu seketika panik. Dia yang sudah berjalan agak jauh akhirnya berlari menyusulku yang tertinggal. Melihat darang yang Aku pandangi, Arga terburu- buru mengambil tissue dari dalam tas dan membersihkan semua nota darah itu. Aku hanya terdiam dan pula Aku sadar akan perlakuan Arga. Arga sangat mengenalku yang sangat takut sekali dengan darah sedari kecil. Sedikit cerita saja, dulu Kami berdua sempat diculik oleh sekelompok orang yang menginginkan organ dalam Kami. Aku menjadi trauma melihat darah semenjak menyaksikan beberapa anak yang diculik bersama Kami dibantai untuk diambil organ dalamnya dan dijual. Untung saja Kami dapat selamat.
Bang Arsya yang menyadari hal itupun membawa Aku segera ke ruang UKS tepat samping kantor tata usaha. Direbut dan digendongnya Aku dari Arga yang selesai membersihkan darahku. Sejenak Aku menatap mata Arga terdapat amarah berkobar didalamnya. Perlakuan terhadapku oleh sepupunya itu sangat tidak bisa diterima oleh Arga, namun dibalik emosinya itu Arga juga kesal terhadap dirinya sendiri yang tak memikirkan hal seperti itu lebih dulu. Dia kesal karena Dia merasa terlalu bodoh untuk berpikir hal itu juga bisa Dia lakukan.
Sesampainya diruang UKS, Bang Arsya menyuruhku beristirahat disini sejenak ditemani Arga. File yang sudah Kami siapkan diminta olehnya dan untuk masalah administrasi akan dibantu olehnya. Setelah kepergiannya meninggalkan Kami berdua, Arga hanya duduk diam disamping ranjangku. Tanganku yang masih sedikit bergetar karena rasa takutku tadi berhasil meraik tangan Arga yang melamun diam dan seketikan menengok ke arahku.
" Aku minta maaf Ka."
" Kenapa Kamu minta maaf Ar, Aku merasa Kamu tak ada salah."
" Sebenarnya...."
" Sebenarnya apa Ar?"
Dia kembali diam dengan tatapan ragu menyeruak dari matanya. Aku yang tak dapat dibohongi jelas tahu apa yang ingin Dia katakan.
" Jika Kamu tak ingin berbicara sekarang tak apa. Aku akan menunggu. Aku sangat mengenalmu, Aku tak ingin melihatmu selalu merasa terbebani. Jika Kau sudah siap untuk bicara, Aku akan mendengarkan. Semua keputusan akan kembali kepadamu Ar."
Mendengar hal itu, Arga tersenyum kembali dengan mata berkaca- kaca dan memegang erat tangnganku yang meraih lengan kirinya. Setelah masalah administrasi selesai, Kamipun diantar oleh salah seorang satpam menuju asrama. Tak berbeda jauh bahkan sama halnya apa yang Aku rasakan disini persis seperti sekolah. Begitu mencekam, meski bangunan terlihat sangat mewah dengan halamat tertata sangatlah rapi.