Di ujung Rasa
Ketika kerinduan ini tidak dapat lagi terbendung, ketika air mata selaku menjadi teman hari maka melupakan adalah jalan yang terbaik dari segala jalan.
Tidak ada jalan yang akan menjadikan sebuah hubungan akan berjalan baik-baik saja jika salah stau pihak telah merasa di ragukan, bahkan tidak di jadikan prioritas lagi.
"Aku capek … capek banget Fik," keluh Dita.
"Aku cuma berharap pengertian kamu aja, gak lebih Dit!" ucap Fiki.
"Selama ini, selama satu tahun ini aku sudah sangat sabar bukan. Aku bahkan selalu mengalah dan mengerti dengan keadaan kamu," sahut Dita.
"Semua itu hanya perlu waktu Dit, dan aku hanya minta sedikit waktu saja sama kamu!" pinta Fiki.
"Berapa lama lagi waktu itu, 1 tahun, 2 tahun, atau bahkan lebih?" tanya Dita.
"Kok kamu sekarang jadi keras kepala begini sih. Aku cuma mau hubungan kita baik-baik saja,"
"Menurut kamu itu, menurit aku kamu itu snagat mengekan aku," protes Dita.
Jelas saja Dita sangat tertekan, gadis itu yang biasanya bebas kemana pun ia ingin sekarang merasa seperti tertekan.
Jika ingin pergi kemanapun ia harus menunggu Fiki sela terlebih dulu. Semenjak bertunangan dengan Fiki kemana pun Dita ingin pergi harus di antar oleh Fiki.
"Maksut kamu apa ngomong seperti itu?" tanya Fiki.
"Ya aku jelas merasa tertekan, kamu itu terlalu posesif sama aku. Aku kaya gak bebas gitu," ucap Dita.
Ia keluarkan seluruh unek-uneknya. Karena jujur saja ia sudah tidak sanggup lagi untuk menahannya.
"Bebas!" bentak Fiki. "Bagaimana kamu berfikiran ingin bebas, ingat Dit kamu itu punya aku!" tegas Fiki.
Selalu saja di saat mereka bertengkar Fiki selalu bilang kalau dirinya adalah milik Fiki. Padahal jelas mereka naru bertunangan dan bisa kapan saja hubungan mereka itu kandas.
"Terserah kamu lah, pusing aku mikirin ini semua," tukas Dita.
Gadis itu pun kemudian masuk ke dalam rumahnya. Meninggalkan Fiki yang masih berdiri di luar pagar.
"Maafin aku Dit kalau selama ini kamu merasa tertekan. Tapi jujur saja aku hanya tidak ingin kalau sampai kamu pergi dari aku Dit, aku sayang sama kamu Dit!" ucap Fiki.
Lelaki itu pun kemudian berlalu meninggalkan rumah Dita. Ia harus kembali ke Kampusnya karena masih ada kelas.
"Gue sibuk gini juga buat masa depan kita Dit, gue kepengen jadi pebisnisnyang sukses kaya papa," cetus Fiki.
Ayahnya memanglah seorang pebisnis yang lumayan sukses, kesuksesannya bahkan di raihnya ketika masih mengijak usia yang masih sangat muda.
Wibuana, memang sudah memiliki jiwa bisnis sejak masih duduk di bangku SMA. Ia selalu belajar dari papanya, kakek Fiki untuk menjadi seorang pebisnis yang sukses.
Bahkan masa remajanya hanya ia habiskan untuk belajar dan belajar. Tidak ada waktu untuk main-main atau pun tongkrong separti remaja yang lainnya.
Dan rupanya sifatnya itu turun pada Fiki, lelaki itu pun tidak terlalu suka tongkrong bersama teman-temannya.
Bagi Fiki itu hanya membuang-buang saja waktunya hanya untuk hal yang tidak berfaedah.
"Gue heran deh, kenapa gitu Fiki itu gak ngerti-ngerti sama kemauan gue. Ya kalau dia gak mau pergi setidaknya kan jangan mengekan gue seperti ini, gue bukan dia yang tidak membutuhkan hiburan," ujar Dita.
Ia tengah membaringkan tubunhnya di atas kasur empuk miliknya.
"Andai saja gue sama Radit, pasti sekarang gue merasa bahagia banget. Radit aja dulu sama Chika begitu perhatian, apalagi sama orang yang akan memghabiskan hidupnya bersama dia. Tapi semua itu sudah tidak mungkin. Mana mungkin kalau Radit mau sama gue yang sudah memilih untuk bersama Fiki," kelih Dita.
Semenjak acara perpisahan yang mereka adakan di puncak itu, Dita memutuskan untuk tidak berhubungan dengan Radit lagi.
Hal itu ia lakukan untuk menjaga perasaan Fiki. Namun sekarang, rasanya Dita sangat menyesal sekali.
Gak seharusnya dia memutus silaturahminya dengan Fiki, mereka masih bisa manjadi sahabat bukan medkipun di antara mereka saling menyimpan rasa.
"Gue bodoh banhet sih, apa gue minta nomor Radit sama Chika aja ya. Tapi nanti Chika curiga lagi sama gue," ucapnya.
Merasa bingung harus bagaimana, Dita pun membuka-buka buku diarynya. Ia melihat-lihat kembali foto kebersamaan mereka dulu.
Mungkin dengan melihat foto itu akan mengobati sedikit rasa rindu Dita pada sahabatnya.
"Foto ini, dulu kita gak sengaja foto berdua waktu di Jogja Dit. Apa lo juga masih menyimpan foto ini," tukas Dita.
"Non Dita, makan dulu di tunggu sama Nyonya," ucap Bi Ijah.
"Iya Bi, sebentar lagi Dita turun," sahutnya.
Malas sekali rasanya Dita makan bersama sang Mama. Bukan karena Dita malas menemani Mamanya makan. Namun ia malas karena sang mama selalu saja membahas kapan pernikahan mereka akan di laksanakan.
Bagaiamana pernikahan mereka itu akan terlaksana, sedangkan Dita saja belum mantap untuk hidup bersama dengan Fiki.
Gadis itu pun kemudian turun ke lantai bawah, menemani sang mama makan.
"Kenapa mukanya di tekuk gitu?" tanya sang Mama.
"Gak papa kok Ma, lagi BT aja," sahut Dita.
"Berantem lagi sama Fiki?" tanya sang Mama mulai kepo.
"Udah ah Ma, gak usah di balas. Bikin gak mood aja," ujar Dita.
"Ehh, kamu jangan begitu Dit, walau bagaimana pun kalau ada masalah kalian harus menyelesaikannya dengan kepala dingin," anjur sang Mama.
"Mama gak ngerti ya sama perasaan Dita!. Dita itu tertekan banget Ma sama Fiki, dia itu terlalu posesif jadi orang," keluh Dita.
"Kamu harus bisa memahami sikap posesif dia sayang, ya mungkin dia melakukan itu karena dia sanyang sama kamu," ujar sang Mama.
"Sayang! Mama bilang sayang. Sayang itu gak mengekang Ma. Sayang itu gakengekan Ma, saling menngerti," ujar Dita.
"Setiap orang itu berbeda-beda cara menunjukan rasa sayangnya. Dan mungkin itu adalah cara Fiki nunjukin rasa sayangnya sama kamu," ucap sang Mama.
"Udah ah Ma, bahas dia terus Dita jadi gak nafsu makan. Gak ada yang ngertiin Dit, gak Mama gak Fiki sama aja," keluh Dita.
Gadis itu pun kemudian berlalu meninggalkan sang Mama yang masih menyelesaikan makannya.
Benar apa yang di katakan oleh mamanya kalau cara seseorang menunjukan rasa sanyangnya itu beda-beda. Namun yang tidak bisa Dita terima adalah cara Fiki yang selalu mengekannya. Selalu ingin tau apa urusannya.
Bahkan yang menyangkut privasinya sekali pun di pertanyakan.
"Gue harus gimana sih, gak ngerti-ngerti Mama sama maksut gue!" tukas Dita.
Bayangkan saja, tidak ada yang mendukung Dita sama sekali. Bahkan orang tuanya saja selalu membela Fiki.
"Apa gue putus aja ya sama Fiki, tapi-"