Chereads / Akad Yang Tak Berjodoh / Chapter 8 - Jarak Tak Kasat

Chapter 8 - Jarak Tak Kasat

.

"Er, gue udah selese. Gue balik duluan, ya. Bentar lagi jam breaknya abis nih," ucap Tika yang seolah mengerti apa yang terjadi pada Zibran dan Erlina. Ia mengira Zibran dan Erlina memiliki suatu hubungan yang spesial dan Erlina tidak berniat ingin mempublikasikannya di kantor, bila melihat bagaimana tindakan Zibran setiap harinya tentu saja siapa yang tidak akan salah paham. Pria itu memperlakukan Erlina dengan lebih khusus meski perlakuan yang sama kerap ia lakukan juga pada karyawan lain.

"Eh, kok gitu? Tapi aku, 'kan belum selesai."

"Gue juga balik duluan, Er. Kerjaan desain gue belum selese." Selina ikutan undur diri.

"Eg, gue ikut juga dong. Jangan ditinggal jadi nyamuk gini."

Tika segera membekap mulut Ida yang suka nyerocos ceplas ceplos itu. Bersegera menutup iinformasi penting yang tidak boleh diketahui oleh pelaku utamanya langsung.

"Loh, kok jadi pada pergi, sih? Terus akunya sama siapa?" tanya Erlina kebingungan melihat semua temannya pada pergi meninggalkannya sendirian.

"Udah, ya. Kamu habisin aja tu makanannya. Jangan sampe keselek lagi." Tika berpesan sembari menyeret Ida pergi bersamanya dan Selina.

Erlina jadi kebingungaan sendiri bila ditinggal begini. Laparnya bahkan belum tandas, makan siangnya baru ia habisan beberapa suap.

"Ya makan aja kali. Kayak ditinggal pergi ke tempat jauh lain aja kebingungan gitu."

"Lagian kamu juga ngapain di sini? Tadi, 'kan katanya lagi buru-buru."

Zibran memangku dagunya dengan sebelah tangan yang disangga pada meja. Sembari mengelus dagunya, pemuda itu berkata, "Iya sih, tadi buru-buru karna dipanggil Azzam."

"Terus ngapain masih di sini?"

"Nah itu. Gue juga gak tau ngapain gue di sini. Kira-kira Loe tau gak gue ngapain di sini?" Pemuda itu berucap sembari mengendikkan bahunya tidak tahu.

Erlina menatapnya masih tak habis pikir. Telah biasa ia mengalami sikap aneh pemuda ini yang sering menggangunya. Sedari pertama kali bertemu, dirinya memang tidak pernah akur dengan pria ini. Pemuda ini seperti memiliki seribu kotak trik jitu yang selalu berhasil membuatnya jengkel setengah mati di gudang kepalanya dan bila ada orang yang menjualnya, tolong biarkan Erlina membeli beberapa stok saja untuk membalas pemuda tidak waras ini.

Terkadang Erlina jadi berpikir; apa ini karmanya karena sering membuat orang lain jengkel dengan tingkahnya dulu sedari kecil. Hal yang dianggapnya sangat menyenangkan ternyata begitu menjengkelkan ketika diperlakukan sama oleh orang lain. beruntung, Zibran bukan salah satu dari pria yang sering dijahilinya, jika tidak begitu pasti dirinya akan mengira bahwa pemuda itu tengah melancarkan aksi pembalasan dendam.

"Terserah deh!"

Erlina mengangkat bokongnya lalu pergi dengan membawa serta baki makan siangnya untuk di taruh di sink biasa tempatnya menempatkan piring cuci. Ia telah kehilangan nafsu makannya, tidak lebih tepatnya ia semakin bertambah lapar bila di dekat pria itu. Rasa kesal dan jengkelnya akan pemuda itu membuat Erlina ingin memakan lebih banyak camilan sebagai bentuk pelampiasan rasa kesalnya.

Sementara Zibran tersenyum puas melihat pundak Erlina yang berlalu pergi meninggalkannya tersebab oleh ulahnya yang membuat gadis itu jengkel setengah mati. Ingatannya pada 18 tahun silam kembali melintas dalam kepalanya seperti bioskop dengan latar hitam putih. Ia mengingat jelas bagaimana rupa seorang anak gadis cantik tomboi yang selalu membuatnya pulang ke rumah dalam keadaan kacau. Saat itu bahkan usianya masih tujuh tahun dan anak kecil yang membuatnya menangis itu bahkan lebih muda dua tahun darinya.

Entah sebab dulu ia begitu ingin balas dendam, wajah anak gadis yang dulu membullinya itu masih lekat dalam ingatan dan sama persis dengan wajah milik Erlina, terlebih ia berasal dari kampung halaman yang sama dan ia yakin hal itu.

Zibran berlari mengejar Erlina begitu ia mendapati gadis itu terburu-buru melangkah keluar. Ia mensejajarkan langkahnya dengan langkah kaki gadis itu yang dipaksakan lebar. Zibran justru melihat geli ke arah Erlina, ia merasa bahwa Erlina lucu dengan usahanya yang berusaha lari dari dirinya.

"Erlina tungguin? Gak bisa ya jalannya pelan-pelan saja?" tanya Zibran dengan manik matanya terpokus pada wajah kesal gadis itu yang kini berjalan sembari menghentakkan kakinya. Entah itu untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak ingin diganggu.

"Jam istirahat udah habis. Mending kamu juga jalannya yang cepet, kerjaan masih banyak yang numpuk," balasnya dalam sekali tarikan napas dan tanpa jeda. Manik cerianya masih terpokus ke depan, enggan melirik pria yang disampingnya.

"Ah gitu, ya? Bener apa yang Lo bilang, harus jalan cepat supaya kerjanya juga bisa cepat. Sekarang lari Erlina, lari. Lima menit lagi jam istirahat habis," kelakar Zibran meledek Erlina. Ia tahu bila gadis ini ingin segera kabur dari dirinya, mungkin karena lelah meladeni sebab tidak bisa menang lagi seperti dulu. Jika dulu, dirinya bahkan tidak bisa menjawab semua pernyataan gadis itu yang dituduhkan padanya.

"Bapak saja yang lari. Jam istirahat sudah habis."

Erlina masih tidak mengurangi kecepatannya, pintu masuk ruangan mereka sisa sebelas langkah lagi.

Zibran kembali merasa takjub, perempuan ini entah apa bisa disebut profesional dalam hal menyebutkan panggilan untuk bosnya pada saat jam kerja ataukah ketidak sopanan ketika sedang tidak dalam ruangan kerja. Ya memang benar, bila di dalam kantor, statusnya adalah kepala divisi sedangkan di luar dari ruangan atau jam kerja maka statusnya berubah menjadi sebatas orang asing yang saling mengganggu.

"Hmm okey."

Setelah mengucapkan kaliamat itu, Zibran lebih melebarkan lagi langkahnya dan membuat Erlina tertinggal di belakang.

Erlina melongo melihat Zibran yang meninggalkannya. Ia jadi merasa sedikit kesal dan memelankan langkahnya. 'Bodo amat!' batinnya mengumpat kesal.

Telepon dalam genggamannya berderit, menandakan panggilan masuk. Ia berhenti dan melihat nama yang tertera di sana, nama pria yang baru saja meninggalkannya tertera di sana. Erlina mengerutkan kening, dalam hati ia bertanya apa yang dilakukannya pria itu menelponnya. Ia hendak mengabaikan dan melanjutkan langkah. Namun tatkala ia menegakkan pandangan, keningnya hampir saja menabrak dada bidang seseorang jika ia tidak mengerem mendadak tangan kekar seseorang tidak menahan keningnya. Mereka bahkan hanya berjarak satu langkah.

"Makanya kalo jalan itu liat depan!"

Erlina yang menyadari apa yang tengah terjadi segera melangkah mundur dan menjaga jaraknya. Ia menatap marah pada Zibran. Padahal sebab ulah pria itulah dirinya hampir menabrak, lalu sekarang pria itu menyalahkan dirinya dengan alibi semacam itu.

"Bapk ini apaan sih. Ngapain juga tiba-tiba ada di depen saya, padahal tadi, 'kan udah masuk ruangan. Lagian, 'kan ulah bapak juga yang menelpon gak jelas!" cerocos Erlina memarahi pemuda yang menatapnya seolah ia telah terbiasa.

"Kamu memarahiku?" tanyanya tak percaya dengan tampang yang justru sebaliknya, menunjukkan bahwa seolah gadis itulah yang melakukan hal konyol.

"Mana mungkin saya berani memahari Bapak atasan. Sekalipun salah, yang namanya pemimpin selalu benar, kaan?" ledek Erlina lalu berjalan melewati Zibran lagi. Pria satu itu selalu membuatnya kesal dengan tingkah tak terduganya. Tetapi terlepas dari itu, ia kadang menjadi mengharapkan kehadiran pemuda itu tanpa sadar. Bahkan tak sekali dua kali ia tanpa sadar mencari keberadaan tubuh itu.

Zibran memperhatikan punggung kecil Erlina yang melewati pintu ruangan mereka dan langsung mengarah ke mejanya sendiri. Mata Zibran menyipit tatkala bibirnya menyunggingkan senyum lalu berjalan menuju ke arah lift. Ia hendak menuju ruangan Azzam, direktur mudanya itu barangkali telah kembali dari rapatnya.