"Soal vampir hitam itu, aku yang akan mengurusnya. Kamu tenang saja," ucap Oliver.
"Kakak yakin?" tanya Dareen.
"Tenang saja. Aku bisa mengatasinya dengan mudah. Oh ya, kamu boleh mengejar karirmu seperti manusia. Tapi ada kalanya kamu juga mengingat bahwa dirimu itu vampir," ucapan Oliver membuat Dareen tertegun.
Selama ini, lelaki itu merasa bahwa dirinya manusia. Meski sehari sekali ia selalu meminum darah untuk memenuhi kebutuhan tenaganya, tapi Dareen lebih banyak melakukan kebiasaan hidup manusia. Bahkan saat karirnya di dunia entertainment menanjak, ia begitu menyayangi hal itu.
Mulai besok pagi ia akan membintangi drama baru bersama beberapa artis dan aktor baru juga. Tidak hanya itu, ia akan bertemu dengan beberapa kru yang akan membantunya. Bertemu banyak orang membuatnya semakin bersemangat dan terbiasa hidup di antara manusia.
"Aku akan pikirkan nasehat kakak," ucap Dareen mengakhiri obrolan malam itu.
Keesokan harinya di rumah kontrakan Freya. Pagi itu Freya sudah rapi dan siap untuk berangkat. Berbeda dengan Cindy yang masih belum selesai juga persiapannya.
"Cepat! Sebentar lagi taksi online yang aku pesan akan datang," ucap Freya menunggu di teras rumah.
"Iya. Sebentar!! Semalaman aku susah tidur memikirkan vampir. Aku terlalu over thinking. Penasaran bagaimana makhluk itu. Apakah menyeramkan atau tampan seperti di film-film," ucap Cindy sambil berjalan ke depan.
"Jangan pikirkan soal itu lag--," ucapan Freya terpotong karena gadis itu memegangi kedua kepalanya dan terlihat kesakitan.
"Kamu kenapa Fre? Jangan-jangan sakit kamu kambuh?" tanya Cindy panik.
Freya tidak menanggapi perkataan Cindy. Ia mulai terhuyung-huyung. Dengan segera Cindy membantu gadis itu duduk di sofa ruang tamu. Cindy tergopoh-gopoh mengambil minuman di belakang. Lalu, ia segera membuka tas kecil Freya untuk mengambil obat yang sering Freya minum.
"Minumlah!" perintah Cindy panik.
Cindy membantu Freya meminum obatnya. Baru sebentar saja tubuh Freya dilanda kesakitan, keringat dingin sudah mengucur deras. Wajah Freya terlihat begitu pucat. Freya tidak bisa melihat dengan jelas karena semuanya terlihat bergoyang.
Freya terus meremas kepalanya bahkan menjambak rambutnya sendiri. Ia sangat kesakitan sampai merintih tak karuan. Lima belas menit berlalu, obat itu sepertinya mulai bereaksi. Namun, pengaruh obat itu hanya mengurang sedikit saja rasa sakit. Ia kembali bisa melihat dengan jelas.
"Fre? Bagaimana?" ucap Cindy.
"Nggak apa-apa," kata itu yang selalu keluar dari mulut Freya setiap kali ia merasakan sakit.
Sejak kecil, Freya sudah sering merasakan sakit kepala yang begitu hebat. Obat yang sering ia minum, kian hari terus bertambah dosisnya. Lama kelamaan, organ tubuhnya yang lain tidak dapat menahan kesakitan itu. Namun, Freya selalu menyembunyikan semuanya dari sahabatnya.
Hidup sebatang kara tidak membuat semuanya menjadi mudah. Ia harus berjuang bertahan hidup sendirian. Freya juga tidak ingin merepotkan sahabatnya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Sekujur tubuhnya mulai terasa nyeri.
"Fre, apa kita batalkan saja? Terlalu banyak ujian. Mungkin pekerjaan di Distrik Numa ini bukan rezeki kita," ucap Cindy terlihat cemas.
Freya tersenyum tipis, ia tidak ingin membuat sahabatnya terlampau khawatir dengan keadaannya. Cindy begitu bingung melihat ekspresi Freya yang menahan sakit itu.
"Aku nggak apa-apa kok. Aku sudah minum obat dan semuanya sudah baik-baik saja. Saat taksi online yang aku pesan datang, kita berangkat," ucap Freya sambil menampilkan senyum kepalsuan.
"Kamu yakin?" tanya Cindy masih tidak percaya.
"Yakin lah! Kalau nggak kerja aku mau makan apa? Belum lagi aku butuh obat!" ucapan Freya membuat Cindy yakin.
"Benar katamu. Semangat ya. Kamu wanita yang kuat. Aku akan selalu jadi sahabatmu," kata Cindy sambil tersenyum.
Beberapa saat kemudian taksi online yang mereka pesan sampai. Cindy memasukkan koper mereka di jok belakang dibantu sang sopir. Sementara Freya masih duduk di tempatnya. Ia berdiri dengan pelan agar rasa sakit kepalanya tak lagi menggila.
"Fre, aku bantu ya?" tanya Cindy.
"Nggak usah. Aku segera ke sana," ucap Freya sambil menahan rasa sakit di setiap langkahnya.
Dengan cekatan Cindy membukakan pintu mobil untuk Freya. Gadis itu cukup lega melihat Freya bisa berjalan dengan lancar. Cindy pun masuk ke dalam mobil. Tinggal beberapa langkah lagi Freya memasuki mobil itu. Namun, tiba-tiba ia terbatuk-batuk.
Freya segera mengambil sapu tangan di saku celananya. Ia menutupi mulutnya dengan sapu tangan itu saat suatu cairan akan keluar dari mulutnya. Matanya membulat sempurna dan jantungnya berdetak lebih kencang. Wajah Freya tampak begitu panik saat ia melihat darah keluar dari mulutnya.
'Apa yang sebenarnya terjadi? Darah?? Apakah akhir hidupku sudah dekat?' tanya Freya dalam hati.
"Freya?? Ada apa? Kita jadi berangkat kan?" tanya Cindy.
"Jadi kok. Ayo kita berangkat!" jawab Freya sambil mengusap mulutnya dengan sisi sapu tangan yang bersih.
Freya duduk di samping Cindy. Ia segera memasukkan sapu tangan itu ke saku celananya sebelum Cindy melihatnya. Mereka pun berangkat ke Distrik Numa yang akan menempuh perjalanan selama satu jam. Sepanjang perjalanan Freya memejamkan matanya. Besar harapannya bisa lebih baik saat berada di sana.
Semuanya terlihat gelap saat Freya memejamkan mata. Ia menghela napasnya panjang untuk merasakan udara yang bisa ia hirup. Perasaannya gelisah mengingat sakitnya bertambah parah. Sejak dulu Freya memang tumbuh menjadi sosok yang kuat. Namun, sekuat apapun gadis itu, ia tetap takut dengan kematian.
'Apakah saat mati nanti semuanya gelap seperti ini? Aku belum siap mati! Meski hidup terasa menyakitkan seperti ini, tapi aku belum siap mati. Masih banyak hal yang harus aku capai. Bahkan sampai saat ini, aku tidak pernah tahu siapa ayah ibuku,' batin Freya meronta-ronta.
"Fre, kita sudah sampai," ucap Cindy sambil menggerak-gerakkan tubuh Freya.
Perlahan Freya membuka mata. Mereka sudah sampai di Distrik Numa yang terkenal sejuk itu. Benar saja, saat mereka keluar kawasan itu terlihat begitu hijau. Masih banyak pepohonan yang menambah suasana semakin asri. Tidak seperti Distrik Yoin yang mereka tinggali. Di sana lebih banyak gedung-gedung pencakar langit dibangun.
Mereka akan tinggal sementara di sebuah penginapan. Saat memasuki penginapan itu, Cindy dan Freya begitu terkagum-kagum. Semua interiornya menggunakan kayu. Masyarakat distrik itu memang sengaja mempertahankan kehidupan yang menyatu dengan alam. Freya dan Cindy akan tidur satu kamar.
"Wah, bahkan perabot kamarnya juga menggunakan kayu. Kita seperti hidup di beberapa puluh tahun yang lalu. Pantas saja sutradara memilih tempat ini. Tokoh utama wanita akan diceritakan sebagai gadis desa yang miskin," ucap Cindy sok tahu.
"Wah wah, kamu sudah baca naskah dramanya?" tanya Freya sambil duduk di atas tempat tidur.
"Belum sih. Aku hanya baca-baca berita soal drama ini. Dan kamu tahu nggak? Di drama ini, kita akan bertemu dengan beberapa artis terkenal. Salah satunya Grizelle. Dia akan beradu akting dengan Dareen. Pasangan yang ditunggu-tunggu oleh pecinta drama dari berbagai penjuru," cerita Cindy menggebu-gebu.
"Wah bagus deh kalau kamu sudah hafal sampai situ. Aku cukup senang. Padahal aku sudah punya naskahnya. Tapi belum aku baca," ucap Freya.
"Benarkah?? Aku pinjam! Aku pinjam!" seru Cindy.
"Ambil di koperku, ada di sana. Cari saja. Aku ingin merebahkan badanku sejenak."
"Terima kasih. Btw, kamu kelihatan sangat pucat. Apakah akan baik-baik saja?" tanya Cindy.
"Aku baik-baik saja," sahut Freya sambil merasakan semua nyeri di badannya.
Cindy langsung mencari naskah drama itu. Ia pun menemukannya dan langsung membacanya dengan antusias. Sudah menjadi kebiasaan Freya yang sangat malas membaca naskah skenario. Namun, hasil riasannya selalu memuaskan. Beberapa orang ada yang menjulukinya sebagai tangan sang dewi.
Waktu makan siang tiba. Mereka pun makan siang bersama sebelum menyiapkan syuting di waktu senja nanti. Adegan pertama akan dimulai dengan latar senja di sebuah pegunungan. Setelah beristirahat, Freya merasa lebih baik meski tak sepenuhnya sembuh. Cindy dan Freya pun keluar dari kamarnya.
Bruk!!
Tiba-tiba Freya menabrak seorang laki-laki. Kepalanya yang masih pusing semakin terasa tak karuan. Freya memijat pelipisnya sambil menatap lelaki itu. Sesaat mereka saling berpandangan. Wajah laki-laki itu begitu familiar meski di saat kepalanya pusing, Freya malah lupa siapa lelaki itu.
"Kyaa!! Dareen!! Boleh minta tanda tangannya!!" Jeritan Cindy mengagetkan dua orang yang masih saling pandang itu.
Bersambung...