"Pokoknya gue nggak mau lo larang-larang!" Andra tunjuk tegas hidung mancung kecil Jingga.
Jingga angkat kedua bahunya, "Larang apa?"
"Main sama temen malem, ketemu cewek, dan semua yang udah jadi kebiasaan gue, lo nggak boleh larang. Kalau lo larang dan nggak mau, gue nggak mau nikah sama lo!"
Eh, Jingga terkekeh geli, dia menjadi tukang pemaksa nikah kali ini meskipun diawal dia mengambil keputusan besar ini demi keluarga Andra, terlebih lagi mimpi dari ibu Andra, itu yang Jingga fikirkan.
Tapi, untuk sementara fakta berpindah dan mencekik Jingga di sini. Dia harus menyetujui permintaan Andra agar pernikahan itu berlangsung.
Harapan akan cintanya tersampaikan Jingga kesampingkan dahulu karena menangkap binatang liar memang tak semudah membalikkan telapak tangan, harus ada kesabaran dan waktu yang panjang di sana.
"Oke, kalau mau Kak Andra gitu. Tapi, jangan sampe ketahuan, kalau ketahuan, aku nggak mau nanggung lagi atau jadi perisai buat Kak Andra," balas Jingga.
Sial, Andra kira dengan ancamannya itu bisa membuat keputusan Jingga berubah, yang ada dia justru masuk dan bersiap untuk sebuah pernikahan dan status baru yang ditawarkan.
Salah bila dia berhadapan dengan Jingga dalam hal ini, gadis bertubuh kecil dengan keberanian seluas samudra dan sekokoh gunung berapi itu tidak mudah untuk ia hancurkan atau tepikan.
"Ini, Kak Andra harus tahu dampaknya kalau sampai apa yang Kak Andra lakuin muncul ke publik. Kak Andra harus pergi dan lepas semua proyek di Narendra, itu kesepakatan yang aku tawarkan sama kayak Kak Andra tadi, deal dan kita impas!"
Sial, sekali lagi sial.
Andra tidak tahu harus berbicara apa menjawab ucapan Jingga kali ini. Kalau sampai itu terjadi, artinya dia harus siap menerima resiko besar, termasuk hancurnya ekonomi keluarga yang susah payah ayahnya pertahankan.
Namun, sama halnya dengan Jingga, Andra mempunyai sisi keras kepala yang cukup tinggi juga.
Dia percaya akan kesempatan yang selalu Narendra berikan pada anak buah mereka, kesalahannya mungkin fatal untuk Jingga, tapi tidak untuk keluarga besar Jingga, dia masih bisa mendapat ampunan dan kesempatan di sana.
"Jingga, plis ... itu masalah yang nggak mudah, kamu yakin mau nyeburin diri terus nggak dihargain gitu?"
Jingga mengangguk, "Resiko jatuh cinta sama orang!"
"Tapi, nggak gitu juga Jingga. Ini kamu diluar bayangan orang, tahu nggak? Nggak ada kali orang mau dan bisa-bisa kamu dianggep bodoh sama orang luar!"
"Sigit, aku nggak peduli. Sekarang itu yang ada di kepala aku cuman dua hal, balikin hati ibunya dia dan buktiin cinta aku ke dia, itu aja!" Keputusan telak yang tidak bisa Sigit elak.
Ia berteman lama dengan Jingga dan kerap aktif bersama dalam kegiatan kampus, bahkan ketika banyak teman yang memandang remeh, Sigit masih berdiri di samping Jingga dan bekerja bersama.
Sigit pandangi wajah bulat bermata sabit itu, ada hati yang tidak telah mendengar keputusan berani Jingga. Kalau saja bisa, ia ingin Jingga membuka matanya lebar dan melihat sosok lain yang dirasa lebih tepat dibandingkan Andra.
Mungkin, seperti ... dirinya.
"Git, mau kentang goreng nggak?" tawar Jingga.
"Mau, kamu yang goreng ya!"
"Oke," sahut Jingga singkat, ia merasa penat sebenarnya, tapi masa bodohnya lebih tinggi hingga banyak pelampiasan yang bisa ia lakukan.
***
Kelana hampir melempar ponselnya saat tahu kabar rencana pernikahan Andra dan Jingga dari sang ibu.
Sebagai kakak lelaki yang selau ingin menjaga adiknya itu, Kelana tahu betul bagaimana Andra dan teman lainnya bermain di dunia malam.
Dan kalau bisa ditangani, ia ingin meminta Jingga mengambil keputusan lain, tidak hanya memikirkan perasaan dan posisi orang lain yang jelas merusak masa depannya sendiri.
Bukan hebat atau julukan besar yang akan ia terima setelah menolong keluarga Andra, tapi akan banyak orang yang menilai Jingga adalah sosok gadis muda yang terlalu berani dan mendekati bodoh karena tidak memikirkan masa depannya, melalui rumah tangga yang sudah jelas diawal akan jadi seperti apa akhirnya.
"Ayah sama Ibu kenapa setuju aja?"
"Kamu tahu gimana adikmu itu, dia nggak akan berhenti kalau belum membuktikan sendiri. Kita udah coba segala cara, tapi keputusan itu udah bulat dan kita sebagai keluarga ikutin dulu, Ayah yakin Andra nggak akan seberani itu ngerusak Jingga, dan adikmu nggak lemah juga. Ayah cuman pesen sama kamu, apapun itu nanti yang terjadi sama Jingga, jangan lepas tangan!" jelas Keanu.
Mereka peduli pada Jingga, tapi terkadang memang ada orang sekeras Jingga hingga tak ada yang bisa membuatnya berhenti, selain hal yang menampar dirinya secara langsung sendiri.
Mereka yakin dengan anaknya itu, begitu juga Andra. Gertakan Andra dan sisi lain Jingga yang mungkin bisa menjebak Andra dalam dunianya, dua hal yang cukup manis untuk disatukan.
"Kita siap-siap jadi mertua ya, Bu?"
"Ahahahah, gimana lagi? Aku dulu juga gitu, Jingga nggak mungkin ambil keputusan kalau belum turun periksa lebih dulu, dia pasti udah cek, anak siapa coba? Ahahahahah." Ibunya hanya bisa menunjuk dirinya sendiri yang di masa muda tak jauh beda dari Jingga.
Seribu orang meragu dan menolak, dia maju dan membuktikan. Satu hal yang sama di mana Jingga memegang keluarga Andra lebih dulu, memastikan keluarga Andra suka padanya.
***
"Lo ngapain di sini?" tanya Andra terkejut, ia tidak tahu kalau Jingga ada di dekat unitnya.
"Aku cuman mau ketemu sama orang tuanya Kak Andra, aku diundang di sini. Kenapa?"
Apa!
Andra pejamkan matanya, disaat lelah dan kesal karena tidak bisa menemukan Amel saat ini, bukan hiburan yang ia dapatkan, tapi kehadiran Jingga di unitnya.
Andra terpaksa membuka pintu itu untuk Jingga, membiarkan tubuh kecil itu menyapa kedua orang tuanya tanpa peduli dirinya suka atau tidak.
Jujur, dia tidak pernah benci dengan Jingga sejak dulu. Hanya saja, tidak benci, bukan berarti mempunyai rasa suka yang berlebih selayaknya pria pada wanita. Mungkin batasan adik dan kakak masih bisa Andra toleransi di sini, itu saja.
"Ndra," panggil sang ibu, Wirda.
"Hem?"
"Sana dong, temenin Jingga yang jauh-jauh ke sini demi ketemu Mama!"
"Aku capek habis kerja, Ma."
"Eh, nggak boleh gitu, nggak baik. Temuin Jingga!"
Andra mengesah pelan, mau tidak mau dia duduk di depan Jingga dan melihat wajah bulat bermata sabit itu.
Jingga dan Amel adalah dua gadis yang berbeda, bahkan jalur hidup mereka tidak bisa disamakan.
Amel sama dengannya, sedang Jingga bak langit jauh yang tidak bisa Andra setarakan.
"Gue nggak cinta sama lo!" ujar Andra saat mengantar Jingga turun.
"Ih, sapa juga yang mau dicintai sama kamu, pede amat!" balas Jingga, tertawa jahat setelahnya.
Bohong, tapi aktingnya boleh juga. Andra jual mahal, dia akan jual mahal juga.