"Apa tidak ada penyusup lagi selain dia, Jean?" tanya Alyosha pada seorang bawahannya.
"Saya yakin tidak ada lagi. Kami sudah mencari ke seluruh bagian mansion dan tidak ditemukan satupun orang lain lagi," jawab orang berambut biru navy yang bernama Jean tersebut.
"Ini janggal," ucapnya. Ia berpaling dan menatap keluar mansion melalui jendela besar di hadapannya itu. "Tak ada yang hilang. Hanya serangan balas dendam? aku rasa 'plural' tidak se-sembrono itu."
"Saya akan menyelidiki lebih lanjut. 'Plural' bukan satu-satunya sindikat yang melintas dan aktif di pasar gelap Swiss beberapa hari terakhir setelah anda memasarkan senjata terbaru anda. Banyk kemungkinan yang bisa terjadi."
"Tanda itu," gumam Alyosha.
"Kenapa Tuan?" tanya Jean.
"Tidak, bukan apa-apa. Cari orang yang bernama Jigger Shaun. Selengkapnya serahkan datanya padaku sore ini. Aku punya banyak waktu hari ini."
"Baik Tuan, saya permisi dulu." Jean langsung pamit permisi dan pergi dari sana. Sesuai dengan perintah Alyosha yang mengharuskan dirinya mendapatkan data mengenai orang yang bernama Jigger Shaun tersebut.
Alyosha membuka pintu menuju balkonnya. Berdiri dan mencengkram erat pembatas balkon tersebut. Ini adalah penghinaan, namun ia tahu ini adalah sebuah pancingan. Dia bukan ikan berotak picik yang akan mendeklarasikan pertikaian hanya karena serangan nekat seperti tadi.
"Ekhem."
Seorang pria bersetelan rapi berdehem dan berdiri tegap di belakang Alyosha. Ia memang pada dasarnya selalu berwibawa dan punya postur tubuh tegap, jadi di saat berdiri santai pun akan terlihat seperti seorang raja yang mengajak ratu berdansa.
Meskipun ia tahu ada sosok adiknya berdiri di sana, ia tetap acuh tak acuh. Kebiasaannya itu terkadang membuat adiknya ingin menendangnya dari balkon kalau mereka tidak bersaudara. Lucu sekali.
"Kau membuat ulah lagi," ucap Elisio.
"Aku, kau bilang?" balas Alyosha tak terima. "Aku hanya menembak dua belas anak buahnya yang mengacungkan revolver di depan buah dadaku. Apa-apaan mereka itu."
Elisio mengernyit, ia tahu kalau dunia bisnis gelap seringkali dipenuhi dengan orang-orang bajingan dan brengsek yang otaknya tak lebih dari seks dan uang kotor. Tapi kalau mengacungkan pistol di depan payudara seorang wanita terdengar lucu di telinga Elisio. Gelak tawa hampir meluncur bebas dari mulut Elisio.
Rupanya negara sebersih Swiss sudah dijamah oleh banyak sindikat menengah kebawah sekarang. Terbukti dari banyaknya akar dari 'Plural' yang menjalar ke sana. Sindikat kejahatan setara milik Alyosha dan sindikat 'Plural' tidak senang menyerang bar-bar seperti tadi kalau bukan karena perseteruan besar.
Lagipula kehilangan sepuluh atau dua puluh anak buah hanya bagian kecil dari keseharian mereka.
"Err... permisi. Maaf menyela percakapan kalian," ucap Ryou. "Saya pamit permisi, tidak enak kalau saya terus mengganggu di sini."
Alis rapi Elisio naik sebelah, dia melirik ke arah Ryou. Kalau seandainya yang diliriknya adalah seorang gadis, pasti gadis itu sudah melepas pakaiannya sekarang.
Ia hanya bisa tersenyum canggung tatkala dua kakak beradik itu meliriknya dengan lirikan mata mereka yang lancip tersebut. Seperti mata serigala yang mengarah ke seekor kelinci lemah yang meminta belas kasih.
"Kenapa tidak di sini saja?" tanya Elisio. Ia sengaja mengatakannya secara gamblang. Menunggu reaksi dari saudaranya yang mudah emosi tersebut.
"Apa maksudmu? si pengganggu itu hanya akan membuat kekacauan di sini. Lihat wajah bodohnya itu, dia seperti orang dungu," ucap Alyosha.
Rupanya wanita kebangsaan Italia itu sudah mulai meluntur tata Krama nya. Terlihat dari kosa katanya yang tak disaring sama sekali.
Karena label seorang mafia melekat pada dirinya, membuat wanita itu semakin gamblang dalam berbicara. Untung pria yang ada di hadapan mereka berdua itu adalah orang yang terlalu pemaaf.
"Tapi kau mendesah karena dirinya," sahut Elisio enteng. Dia lalu bersandar pada pembatas balkon. "Siapa tahu kau bisa menghabiskan lebih banyak aktivitas olahraga sehat bersamanya nanti."
Seperti kakak beradik yang berumur enam tahun, kini mereka adu gulat lagi di atas balkon lantai tiga tersebut. Ryou seperti seorang pengamat ajang olahraga gulat seketika berusaha melerai mereka berdua. Wibawa seorang bos mafia dan bos perusahaan raksasa seketika luntur bila melihat kelakuan memalukan mereka tersebut.
Tadinya Regard hendak memberitahu mereka bertiga kalau makan malam telah siap dan terhidang di ruang makan. Namun niatnya ia urungkan ketika melihat dia orang bersurai oranye itu masih bergulat di lantai balkon. Kalau ada sebuah peluit maka ia akan meniupnya dan menyemangati mereka berdua agar semakin serius meninju satu sama lain.
Sudahi kebodohan ini. Masih menjadi misteri kenapa perusahaan serumit dan sebesar milik mereka berdua bisa berjalan mulus dan terus berkembang jika mereka berdua saja punya sifat seperti anak sekolah dasar.
"Tuan Ryou, anda tidak perlu menyusahkan diri anda sendiri. Ini sudah jadi kebiasaan mereka berdua. Malah akan lebih aneh bila mereka rukun lebih dari seharian penuh," ucap Regard menginterupsi Ryou yang sedang melerai Alyosha dan Elisio.
"Ekhem, Tuan Alyosha, Tuan Elisio," ucap Regard.
Hening, dua orang itu terhenti dengan tangan yang masing-masing masih berada di udara. Kedua tinju itu sudah siap mengarah ke wajah masing-masing dari lawan gulat mereka tersebut.
"Apa?" tanya Elisio dan Alyosha kompak. Selain sangat tidak akur, rupanya mereka sangat kompak dan sehati.
"Makan malam sudah siap," ucap Regard singkat. Dengan membungkuk sopan ia mengatakannya lalu berdiri tegap lagi.
Mereka berdua lalu bangkit dan menepuk pakaian mereka membersihkannya dari debu. Tapi meskipun begitu, sebenarnya lantai putih mengkilap itu tidak meninggalkan noda ataupun debu halus setitikpun di pakaian mereka tersebut. Hanya saja untuk menghilangkan perasaan canggung, maka mereka bertingkah seperti demikian.
"Baiklah, kau boleh pergi. Nanti kami akan ke sana sebentar lagi," ucap Alyosha menyuruh Regard menjauh dengan halus.
"Kau tidak malu ya? usia mu sudah tiga puluh tahun tapi masih berkelakuan seperti anak kecil berusia tiga tahun," sindir Elisio. Padahal ia juga sama seperti Alyosha, hanya saja ia tidak sadar diri. "Ayo Ryou, kau pasti sudah lapar. Menunggu saudariku itu akan membuat ususmu berteriak kencang karena kelaparan."
Alyosha menganga tak percaya, sebenarnya yang punya rumah di sini siapa? dirinya? Elisio? atau Ryou? bisa-bisanya ia diperlakukan seperti itu.
Apa di depan Elisio pernyataan bahwa perempuan selalu benar itu tidak berlaku?
Lupakan soal itu. Kini mereka bertiga sudah berada di atas meja makan besar nan mewah dengan berbagai hidangan menggugah selera terpampang di sana.
Bunyi denting alat makan yang beradu sangat teratur, tak ada suara percakapan di sana. Mungkin saja itu adalah table manner mereka bertiga. Kebetulan Ryou sendiri juga tidak membiasakan dirinya untuk makan sambil berbicara. Dan ia juga menyontoh dari Alyosha dan Elisio yang tetap diam saat mengunggah hidangan mereka tersebut.
Namun ada sesuatu yang lucu terjadi.