Ryou bersyukur diajak makan bersama di sana, walau sebenarnya ia merasa tidak enak merepotkan lebih banyak lagi. Tapi karena ini berdasarkan ajakan Elisio, maka tak sopan kiranya bila ia memaksakan diri untuk menolak ajakan makan malam bersama mereka berdua.
Ryou curi-curi pandang dengan sebuah hidangan yang baru saja diletakkan di atas meja tersebut. Rupanya sang koki menambahkan cemilan untuk penutup. Sebuah kebiasaan yang unik, meski tidak lupa juga ada pencuci mulut seperti puding di sana.
Ryou curi-curi pandang bukan karena ia masih lapar dan ingin mengambil hidangan baru itu, ia saja masih belum menghabiskan makanan di piringnya. Hanya saja ada yang membuat ia tertarik untuk memahami arti hidangan yang disajikan tersebut.
Sosis dengan mayones?
Ryou melirik beberapa saat ke arah wanita yang duduk tak jauh darinya tersebut. Wanita itu menatap tajam dan intens ke arah cemilan yang tentunya masih hangat mengeluarkan aroma lembut khas daging yang baru saja dipanggang.
Sosis yang panjang, besar, dan mengkilap. Dengan belitan mayones yang tebal di ujung sosisnya, tak lupa ada sedikit polesan mayones di bagian samping sosis itu. Membuat ambiguitas bagi siapa saja yang melihatnya.
KLANG
Bunyi piring yang bertemu garpu mendentang nyaring di sana. Menggema di ruangan besar bercat putih tersebut.
Mata Ryou membulat sempurna, wajah oriental itu menegang dan terperanjat melihat sosis yang awalnya tadi masih utuh kini terbelah dua. Potongan yang dihasilkan sangatlah rapi, seperti dipotong perlahan. Padahal potongannya begitu kasar dan amat menjiwai seperti ksatria yang sedang membelah tubuh lawannya dengan kekuatan penuh.
"Kenapa tidak diambil?" tanya Elisio. "Bukankah kau sudah memotongnya? kenapa hanya dibiarkan saja?"
"Aku hanya ingin memotongnya, kalau bisa ambilkan aku pisau makan. Aku ingin memotongnya lebih banyak lagi," jawab Alyosha santai. Hanya ekspresinya, sejujurnya jauh di dalam hatinya terdapat teriakan kencang penuh emosi.
Ryou kesulitan menelan makanannya, bukan karena tidak enak, tapi karena atmosfer ruangan yang tiba-tiba berubah drastis.
Dari mereka bertiga, sebenarnya yang paling dulu menyelesaikan makan adalah Alyosha. Namun ia punya kebiasaan untuk mengemil sebelum benar-benar selesai makan. Maka dari itu ada hidangan tambahan seperti sosis panggang.
Namun kebetulan sekali bentuknya seperti itu.
Dan sekarang koki pribadi Alyosha menambahkan hidangan cemilan lagi. Dan hidangan itu ditujukan untuk Ryou. Tentu saja, meskipun ucapannya seringkali menusuk, tapi Alyosha juga paham bagaimana caranya memperlakukan seorang tamu. Porsi makannya, juga sama dengan porsi tamunya. Bahkan dilebihkan untuk tamunya. Memberikan cemilan lebih untuk Ryou adalah hal biasa di situ.
Tapi ada yang menggelitik dari tampilan hidangan tersebut.
Regard sempat menanyakan cemilan apa yang Ryou inginkan, dan ia menjawab kalau apa saja boleh tapi kalau bisa yang manis-manis.
Dan sekarang keinginannya itu dijawab dengan puding strawberry yang dibaluri krim susu putih yang meleleh di atasnya. Sangat menggugah selera.
Uniknya, dua puding itu digabung menjadi satu dan membentuk sesuatu yang sangat ambigu bagi Ryou. Apalagi ditambah dengan potongan ceri di atas dua buah puding tersebut. Membentuk suatu benda kenyal yang tak asing di ingatan Ryou.
Ia melirik ke arah Alyosha, wanita yang meletakkan alat makannya di sana itu tak menyadari bahwa Ryou menaruh atensinya di dua gundukan kenyal milik Alyosha.
Puding itu mengingatkan Ryou dengan payudara Alyosha.
Impresif.
Tangan lentik yang pandai melukis itu hampir saja menjamah langsung puding ambigu itu kalau tidak Elisio yang berdehem pelan. Elisio mengulum senyumnya, berusaha menahan tawa agar wibawanya tidak luntur.
Percuma Elisio, kau sudah menghancurkan wibawamu di depan Ryou karena ulahmu sendiri tadi.
"Kenapa kau berdehem?" tanya Alyosha pada Ryou.
"Tidak, bukan apa-apa. Tenggorokanku hanya terasa gatal," ucap Elisio. Ia lalu meneguk segelas air. "Terima kasih atas makan malamnya."
Elisio beranjak perlahan dari sana, meninggalkan Ryou berduaan dengan Alyosha. Gerakan tertahan dari mulut Ryou mengisyaratkan permintaan tolong pada Elisio, berharap pria berambut panjang itu akan menanyakan tentang dirinya. Namun nihil, Elisio memang sengaja meninggalkannya berdua dengan saudarinya itu di sana.
"Kenapa? apa pudingnya tidak enak? sampai kau belum menggerakkannya sedikitpun dari piringmu," ujar Alyosha tanpa menatap Ryou. Ia membersihkan bibir ranumnya dengan tisu yang sudah tersedia di sana.
"B-bukan begitu," jawab Ryou tergagap, netra indah miliknya tak berani menatap Alyosha langsung. "Aku... aku..."
Jawaban yang menggantung itu membuat Alyosha menyipitkan matanya pada lelaki tersebut. Seperti sedang diinterogasi, ia tergagap, lidahnya kelu, matanya tak dapat diam menatap satu objek saja. Padahal Alyosha sebenarnya bersikap santai saja. Tapi aura mengintimidasinya itu terlalu menguar saat itu.
"Ah, kau punya alasan sendiri. Tak apa, kalau mau pesan makanan lain katakan saja. Jangan sampai kau mati kelaparan dan menyusahkan aku dengan rumor bahwa diriku adalah seorang wanita yang telah membunuh orang sipil dengan cara membiarkannya kelaparan di rumahku," ucap Alyosha santai. Ia masih duduk di sana. Meneguk anggur yang dituangkan oleh salah satu pelayan di sampingnya.
"T-tidak, makanan ini memang sesuai dengan keinginanku. Aku hanya...hanya kagum pada penampilannya. Hehe, iya begitu. Pasti rasanya sangat enak, apalagi di tambah dengan krim susu di atasnya. Err... apa kau mau mencobanya?" tawar Ryou. Lucu sekali, ia menawarkan hidangan yang ditujukan Alyosha untuk dirinya. Meskipun ide puding itu memang murni ide kokinya sendiri.
Dengan sedikit bumbu kejahilan dari Elisio.
Dan satu lagi fakta baru terungkap. Kalau sebenarnya Elisio itu lebih usil daripada Alyosha.
"Pfft, hihihihi."
Tawa Elisio tertahan, dia mengintip dari kejauhan tentang interaksi dua orang yang masih berkutat di meja makan yang mewah itu.
"Bagaimana Tuan? apa sesuai dengan keinginan anda?" tanya seseorang berpakaian serba putih di belakang Elisio. Elisio terperanjat dan hampir terkena serangan jantung saking kagetnya.
"Kau mengejutkan ku Patrick. Ya, hidangannya sesuai dengan pesanan ku. Baguslah, kau punya seni memasak yang mengagumkan. Sekarang kau boleh pergi," balas Elisio lalu berpaling kembali mengintip kegiatan Alyosha dan Ryou.
"Maaf telah mengejutkan anda Tuan. Baiklah, saya permisi dulu," ucap Patrick, si koki itu.
Dua orang yang masih berada di meja makan itu tak lagi mengucapkan sepatah katapun. Mereka berdua tak lagi berbicara karena melanjutkan sesi makan cemilan. Sesekali, Alyosha mencoba curi-curi pandang pasa makanan yang disantap Ryou. Bukan, ia tidak tergiur dengan puding strawberry itu. Hanya saja bentuknya yang ambigu membuat pikiran Alyosha melayang entah kemana. Dan pastinya itu membuat amarahnya naik kembali.
Kalau tidak berada di piring Ryou, pasti puding itu bernasib sama dengan sosis tadi.
'Apa-apaan hidangan ini? kalau bukan karena aku sedang sangat ingin makan sosis maka sudah aku lempar ke wajah Patrick. Tunggu... Patrick punya kebiasaan untuk selalu menanyakan hidangan makan malam. Tapi kali ini tidak.'
Mata Alyosha membulat, menyadari suatu hal yang membuat ia mengepalkan tangannya. Ia sudah siap meninju seseorang setelah ini.
Melihat itu, Ryou juga buru-buru menghabiskan makanannya. Bukan karena ingin tahu tentang urusan Alyosha, tapi ia tidak enak berlama-lama di meja makan sedangkan si empunya sudah beralih dari sana.
"Biar saya saja Tuan," ucap para pelayan di sana.
Ryou yang tadi hendak membereskan piring di sana dicegah oleh para pelayan. Ryou tertegun, dia biasanya selalu membereskan alat makannya ketika di rumah. Beginilah hidup sebagai orang kaya raya? itulah yang dipikirkan Ryou sekarang.
"T-terima kasih," balas Ryou.