Chereads / Lelaki Bayaran dari Saudara Ku / Chapter 18 - Suara dari Pistol 2

Chapter 18 - Suara dari Pistol 2

Mata Ryou masih tak berkedip sedikitpun. Ia mengucek matanya berkali-kali, mungkin saja yang ada di hadapannya sekarang cuma halusinasi semata. Begitulah menurut Ryou.

"Klasik," ucap Alyosha ketika adiknya memilih sebuah senapan tipe jarak jauh yang punya jarak tembak dan keakuratan tinggi.

Tapi sebenarnya tanpa scope pun, Elisio sanggup menembus kepala musuhnya dengan peluru dadi senapan yang ia pegang. Dulu di dunia senjata ilegal, pernah ada rumor tentang seorang 'misteri' yang dapat membunuh tanpa menyentuh musuhnya. Dalam artian, dia tak perlu jarak yang dekat dan senjata yang hebat untuk beraksi di tengah kesunyian.

Dan orang itu sekarang lebih memilih untuk berbisnis dan membangun relasi bersama sesama pebisnis perusahaan raksasa dan pemerintahan yang kuat.

Kalian mengerti maksudnya bukan?

"Kau sendiri? tak pernah punya pendirian," cibir Elisio. Ia berlalu dari sana terlebih dahulu.

"Tch, bisa-bisanya menyebut aku begitu," balas Alyosha sinis. "Kekuatan itu penting, pendirian itu hanya pada prinsip bukan senjata."

Alyosha yang hendak pergi dari ruangan itu sempat menoleh, eskpresinya awalnya santai saja. Namun tiba-tiba ia tersentak dan menoleh lagi, dilihatnya wajah Ryou yang nyengir lebar menatap Alyosha.

"Kau?" ujar Alyosha dengan ekspresi tak dapat dijelaskan . "Bagaimana bisa kau ada di sini?"

"A-aku... aku mengikuti kalian sedari tadi," jawab Ryou apa adanya.

Alyosha masih menatap tak percaya. Kalau dibahasakan mungkin ekspresinya mengatakan 'Apa-apaan ini?'.

"Ah sudahlah, tetap diam di sini dan jangan membuat kekacauan," ujar Alyosha berpesan pada Ryou.

Ryou diam saja di sana mengedipkan kedua matanya dengan menggemaskan, kenapa perannya jadi terbalik seperti ini? seharusnya Alyosha yang merupakan seorang wanita yang seharusnya berada di ruangan ini lalu Ryou yang membawa senjata ke luar menghadapi musuh.

Sekarang ia bingung harus melakukan apa. Dia tidak tahu cara memakai senjata api, ia juga tidak mungkin berkelahi dengan tangan kosong bila menghadapi musuh dengan tubuh besar dan kuat.

Ia menyusuri ruangan itu, melihat-lihat isi ruangannya yang dipenuhi dengan berbagai senjata keren yang pastinya menarik perhatian setiap mafia atau penjahat yang melalui tempat itu.

"Kenapa semuanya pistol begini? aku juga tidak pandai memakain senapan Laras panjang ataupun sniper," ucap Ryou bermonolog. Ia sedikit sedih karena tak dapat berbuat apa-apa di saat genting seperti sekarang.

DOR DORR DORR

Ryou tersentak kaget, suara tembakan yang begitu nyaring dan menggelegar seperti petir sampai ke indra pendengarannya. Pasti keadaan di luar sana begitu kacau, begitulah pikirnya.

Ryou juga merasa tidak enak bila hanya berdiam diri tanpa membantu apa-apa pada Alyosha dan Elisio. Meskipun tanpa dibantunya pun, Alyosha dan Elisio beserta bawahan mereka pasti bisa menghadapi musuh di luar sana.

"Hmm... coba saja ada sebuah---woaaahh!!"

Mata Ryou mendadak berbinar-binar, ia meraih suatu benda yang sangat tak asing baginya.

"Ini cocok untukku, sudah lama aku tidak memakai benda ini," ucap Ryou lalu mengambil benda yang terpanjang rapi di dalam lemari kaca putih yang diterangi pencahayaan lampu senada. Benda itu terlihat mencolok di antara senjata-senjata lain yang juga terpampang jelas di situ.

Ia bergegas meninggalkan ruangan itu dan tak lupa menutupnya, ia yakin ruangan itu akan terkunci otomatis tanpa ia kunci.

.

.

.

.

.

Kretek kretek

Suara tulang leher Alyosha yang timbul karena ia memiringkan lehernya menandakan tubuhnya sudah benar-benar prima untuk menghajar musuh. Padahal baru beberapa hari yang lalu ia menghajar beberapa orang karena hendak menipunya saat bertransaksi. Dan sekarang muncul lagi orang-orang yang nekat menyerang mansionnya secara langsung.

Raging Bull 454 sudah berada dalam genggaman Alyosha, ia tak perlu senjata api yang panjang dan besar ia lebih suka pistol dengan penggunaan sederhana namun punya daya tembak besar.

Wanita itu suka menembak dan juga menggunakan tinjunya secara langsung. Tak seperti adiknya yang bermain secara lebih halus dalam pertarungan.

Bunyi tembakan yang nyaring disusul dengan hempasan tubuh yang kuat menandakan ia sudah ikut bermain bersama bawahannya. Alyosha meludahi musuhnya yang sudah ia hempasan tersebut, baginya lelaki itu sangat lemah karena tak dapat membuat dirinya kesulitan menghadapi orang tersebut.

Tangan kirinya ia gunakan untuk menembak musuh, tangan kanannya untuk menyerang dari jarak dekat. Ketika musuhnya hendak menyergap dari belakang, Alyosha mengalungkan lengannya ke leher orang yang ada di belakangnya itu dan menghempaskan lawannya itu ke depan. Terdengar suara tulang yang patah, itu pasti suara dari leher musuhnya yang sudah patah akibat menghantam tanah dalam posisi seperti itu.

Kekuatan otot tubuh Alyosha tak dapat diremehkan lagi meskipun ia adalah seorang wanita.

"Yeah, seperti biasa. Terlalu agresif dan beringas." Elisio dari jendela lantai tiga mansion sedang membidik orang-orang di bawah sana. Ia segera membuang skop yang sudah terpasang di senapan jarak jauhnya tersebut.

Satu kali.

Dua kali.

Tiga kali.

Berapapun pelatuk itu ditarik, sebanyak itu pula lah musuh yang jatuh dan mati akibat tembakan Elisio. Tak perlu banyak aksi, hanya diam dengan fokus pada sasaran yang sudah terbidik oleh mata tajamnya.

Alyosha menaikkan sebelah alisnya, melihat musuh yang tiba-tiba jatuh pasti itu adalah ulah saudaranya tersebut.

"Terlalu senyap, tidak menyenangkan sama sekali," ucap Alyosha bermonolog, kemudian tersenyum simpul.

Di saat yang lainnya tengah sibuk, mereka tak menyadari bahwa ada penyusup yang masuk ke mansion besar itu. Orang itu mengendap masuk ke dalam sana dengan sebuah pistol di tangannya. Entah apa yang ada di tangannya, tapi benda itu tak berukuran besar dan mudah untuk diselipkan.

Bisa jadi itu kamera pengintai, atau juga alat pemicu ledakan.

Orang itu dengan santainya masuk di sana, dengan sedikit pengawasan untuk memastikan tak ada orang lain yang akan mengganggu aksinya tersebut.

Ia yakin kalau masih ada seseorang di rumah ini, mengingat ada tembakan jarak jauh dari atas yang mengenai rekannya. Ia berniat untuk sekalian balas dendam di sana.

'Di situ rupanya kau sial*n. Sniper pengecut seperti kau ini tak bisa apa-apa tanpa senjata menyusahkan itu,' ujar orang itu dalam hatinya. 'Baiklah, terimalah ajal mu.'

Pistol itu sudah mengarah ke kepala Elisio. Elisio yang masih fokus membidik musuh tak menyadari ada orang yang berniat melubangi kepalanya dengan timah panas tersebut.

SRETT

SRAKK

"Darah?" tanya Elisio heran. Bau anyir tiba-tiba menyeruak di sana.

Elisio dengan cepat berbalik dan menyaksikan sebuah pemandangan tak terduga di belakangnya tersebut.

"Astaga, untungnya dia belum sempat menembakmu," ucap seseorang dengan katana di tangannya.

"Ryou?" tanya Elisio. "Aku... aku berhutang nyawa padamu."

"Aku hanya kebetulan lewat dan melihat ada orang lain di sini. Aku kira dia ingin mencuri, rupanya dia ingin menembakmu. Jadi aku potong saja lehernya," jawab Ryou santai. Tak ada ekspresi berlebihan, seperti seorang anak kecil yang bercerita tentang kegiatannya di sekolah. Padahal ia baru saja memenggal kepala seorang manusia, lebih-lebih ia berpikir kalau orang itu ingin mencuri.

"Itu lebih dari sekedar mencuri Ryou. Ada sesuatu yang ingin dia lakukan di sini," ucap Elisio.