Goresan 4 ; Perubahan Yang Berujung Gagal
"Seharusnya dia menerima diri kamu apa-adanya, bukan karena ada-apanya."
- Unknown
----
Suasana kelas XII IPS 1 kali ini terlihat hening, tidak ada suara nyanyian dengan nada sumbang yang tetap membuat teman-teman lainnya semangat, atau mereka yang memilih duduk dipojok ruangan. Semua kegiatan itu tidak terlihat setelah jam istirahat berdering, yang menandakan jam pelajaran sudah akan kembali dimulai
Setelah istirahat adalah jadwal mapel Matematika dengan guru yang terkenal akan sifat galak dan disiplinnya. Kalau kata orang, tidak semua guru matematika identik dengan galaknya, tapi sayangnya. Kesialan itu semua murid SMA Guardian dapatkan jika bertemu dengan pelajaran matematika.
Bu Rihana wanita berusia empat puluh lima tahun itu adalah guru yang sudah terkenal di SMA Guardian, tampangnya yang sangar membuat ia banyak ditakuti bahkan sikap galaknya pun kalah jika harus disandingkan dengan singa kebun binatang, laknat sekali memang kelas XII IPS-1.
"Jangan lupa halaman seratus sepuluh harus kalian kerjakan sekarang dalam waktu tiga puluh menit dan halaman seratus tiga puluh untuk kalian kerjakan dirumah. Minggu depan dikumpulkan." Bu Rihana mengabsen setiap wajah IPS-1 dari balik kacamata bulatnya.
"Bu, nggak terlalu banyak apa? Kita juga manusia Bu. Tiga puluh menit lima puluh soal, kalau PR mah masih bisalah Bu, kan mingdep." Denandra perempuan sekaligus ketua kelas itu, menatap Bu Rihana. Wajahnya tidak takut sama sekali, mungkin ia sedang mencari keadilan.
"Nggak. Kelas MIPA saja bisa, kenapa kalian tidak?"
"Nggak semua murid disini ambisius sama nilai Bu, kita aja lebih sering bobroknya dibanding bagusnya." Mereka semua mengangguk setuju.
"Denandra, jika kamu masih tidak mematuhi perintah saya, hormat bendera." Denandra menghela nafas. Percuma juga jika harus perang dengan guru yang tidak bisa menerima kesalahan.
"Bu, setidaknya Ibu kasih kita dua puluh soal." Perempuan itu masih tidak mau, kalah dengan pendapatnya.
"Tidak Denandra. Saya tidak menerima penolakan, sekarang kerjakan semua. Kalian sudah membuang waktu lima menit untuk hal yang tidak penting."
Dan lihat, lagi-lagi perempuan yang selalu membela kelas XII IPS-1 itu selalu kalah argumen. Semua murid hanya bisa menghela nafas dan mulai fokus dengan buku paket dan buku catatan masing-masing.
Arunika yang tidak ada semangat untuk membantu Danendra seperti biasanya, hanya bisa menghela nafas berulang kali. Menopang dagunya dengan lipatan tangan yang ia taruh diatas meja.
Tubuhnya tertutup oleh tubuh tinggi didepannya, sehingga ia aman dari kemarahan Bu Rihana yang tidak secantik Rihana itu.
Netra hitam milik Arunika, masih terus menatap punggung tegap yang sekarang pasti sudah asik tenggelam dalam deretan angka yang ingin ia pecahkan akar masalahnya, apakah ia juga bisa memecahkan akar masalah dalam hidup Arunika? Mencabut akar itu, supaya tidak terus hinggap dalam hidupnya?
Sandyakala membuat harinya kini jatuh, apakah ia harus seperti gadis bernama Anna Pertiwi itu, baru ia akan dilihat oleh Sandyakala? Apakah ia harus memiliki banyak kelebihan dulu, baru Sandyakala akan menyukainya? Jika memang iya, Arunika tidak bisa. Karena bagaimana pun, ia hanya gadis yang memiliki banyak kekurangan dibandingkan kelebihan.
Farah, gadis yang duduk disebelah Arunika atau teman bangkunya. Menatap gadis disebelahnya ini bingung.
"Arunika, kamu nggak ngerjain?" Tanyanya pelan, supaya Bu Rihana tidak mendengarkan pertanyaan.
"Gue males banget, hati gue hancur ngelihat doi sama yang lain." Farah tertawa pelan.
"Apa gue harus kaya dia ya, Far?" Arunika menatap Farah.
Sebelum akhirnya ia kembali berucap. "ah iya, gue emang harus seperti dia." Arunika kembali semangat dan mulai mengambil buku dan paket miliknya lalu mulai mengerjakannya, meski ia tidak faham sih.
"Arunika, Seharusnya dia menerima diri kamu apa-adanya, bukan karena ada-apanya."
Setelah mengatakan itu, Farah kembali melanjutkan pekerjaannya untuk mengerjakan tugas matematika yang luar biasa banyak itu.
Sejenak Arunika terdiam, sebelum akhirnya ia tersenyum.
"Apapun, bakal gue lakuin demi dia."
Tanpa mereka berdua sadari, percakapan keduanya didengar oleh Sandyakala. Kuping tajam itu, mendengar setiap kata yang Arunika katakan.
***
Matahari mulai naik tepat diatas kepala manusia, mereka yang memang harus tetap berdiri diatasnya karena pekerjaan. Mati-matian menahan rasa panas yang menjalar dikulit mereka.
Bel nyaring kembali terdengar ke seantero SMA Guardian, sekolah yang diisi oleh murid-murid 'berada' itu. Memiliki jam istirahat dua kali, dan jam tiga tepat mereka akan pulang.
Arunika masih asik menatap Sandyakala didepannya. Tubuh tegap itu, masih asik memainkan benda pipih ditangannya tanpa berniat beranjak. Membuat Arunika berinisiatif untuk duduk disebelah laki-laki itu.
"Sandyakala, lo nggak istirahat?" Arunika duduk disebelah Sandyakala. Matanya bersitubruk dengan mata abu-abu milik Sandyakala.
"Apa perduli lo?" Pertanyaan sarkas itu, malah membuat Arunika tersenyum. Gila memang Arunika.
"Perduli gue ya karena lo."
"Gak jelas."
Sandyakala berdiri dari duduknya, Arunika menarik sebelah alisnya bingung.
"Minggir."
"Nggak mau ah, aku mau berduaan sama kamu." Arunika tetap dalam posisinya. Dengan kosa kata yang ia ubah, misi pertama.
"Minggir." Sandyakala menatap Arunika dingin, mata abu-abu itu mulai menatap mata hitam milik Arunika, membuat yang ditatap jadi salah tingkah sendiri.
"Oke-okee.." Dengan gerakan malas, Arunika berdiri dari posisinya dan membiarkan Sandyakala keluar.
Sandyakala berlaku dari hadapan Arunika, sedangkan gadis itu hanya bisa memperhatikan punggung Sandyakala.
"Arunika! Lo dipanggil Bu Rihana keruanganya." Arunika yang masih sibuk melamun memikirkan Sandyakala, sambil memperhatikan tubuh tegap yang semakin hilang dari pandangan itu tersadar.
"Oke."
Langkahnya membawanya keluar dari kelas, dengan langkah zig-zag ia menyusuri koridor yang tidak terlalu ramai.
Netra hitam milik Arunika menatap papan kayu yang tergantung diatas kusen pintu, ia menghela nafas. Lagi dan lagi ia harus masuk keruang ini.
Ketukan pintu, membuat beberapa guru yang memilih diam didalam ruangan hanya memperhatikan Arunika sebentar, sebelum akhirnya kembali melanjutkan kegiatan mereka masing-masing.
"Bukan bintang yang bersinar, mana mungkin dilihat." Gumam Arunika pelan, ia tertawa renyah.
"Permisi Bu Rihana, kata Farah Anda memanggil saya?" Arunika mulai membuka percakapannya dengan pertanyaan, basa-basi sedikit.
"Iya."
Tangan Bu Rihana terulur, memberikan kertas hasil dari tugas yang hari ini kerjakan.
"Ibu bingung harus gimana lagi Arunika, sudah kesekian kalinya kamu dipanggil dan lagi-lagi mengulangi hal yang sama." Bu Rihana menghela nafas.
"Kamu harusnya seperti teman-teman mu yang lain, walau mereka tidak mahir disatu bidang. Setidaknya, ia masih punya prestasi dibidang lainnya."
"Kamu lihat Anna Pertiwi? Dia luar biasa bahkan akademi atau non-akademik dia bisa."
"Maaf Bu, tapi tugas Anda bukan untuk membandingkan murid satu dengan murid lainnya. Saya memang payah dalam akademi, tapi mungkin saja saya punya bakat dibidang lainnya. Mungkin saja."
"Permisi Bu.." Arunika berjalan cepat, keluar dari ruang guru, dengan tatapan guru-guru yang terus menatap dirinya dengan tatapan yang mengasihani dirinya . Arunika benci dibandingkan dan Arunika benci dikasihani.
••••