Goresan 24 ; Sebentar Saja
----
Arunika duduk dipinggir jalan, menatap mobil-mobil yang berlalu-lalang didepannya dengan tatapan sendu miliknya.
Rasanya lelah selalu seperti ini, bahkan uang tabungannya sudah habis, uang yang telah ia kumpulkan dari hasil membuat lukisan. Sebenarnya Arunika tidak sehebat itu dalam membuat sebuah lukisan. Namun, banyak yang suka dengan apa yang gadis itu lukis, meski tidak banyak.
"Tuhan, harus gimana lagi?" Gumam gadis itu kebingungan.
Laki-laki dengan celana pendek dan baju putih polos, duduk tanpa kata disamping Arunika, membuat gadis itu menatap kearah laki-laki yang tiba-tiba saja duduk disampingnya.
"Kala?" Sandyakala menatap Arunika dengan tatapan dinginnya.
"Nggak usah panggil gue Kala." Arunika tertawa pelan dan mengangguk-angguk kepalanya.
"Nggak denger." Kata Arunika, dengan akhir tawa yang mampu membuat Sandyakala memutar bola matanya malas.
Keheningan menyelimuti mereka berdua, hanya ada keheningan dipinggir jalan dengan banyaknya kendaraan yang berlalu-lalang.
Arunika berdiri dari duduknya, membuat Sandyakala menarik sebelah alisnya bingung.
"Gue mau keluar, mau ikut?" Arunika menatap Sandyakala dengan alis yang tak henti naik turun, berniat mengusili laki-laki itu.
"Bentar."
Arunika menghela nafas dan menatap punggung Sandyakala yang mulai hilang dari pandangannya, Sandyakala itu sosok yang sulit sekali untuk diketahui sifatnya.
"Aneh, tapi gue suka." Gumam Arunika, sebelum akhirnya ia kembali duduk dipinggir trotoar jalan menunggu Sandyakala.
Sandyakala dengan motor Vespanya berhenti didepan Arunika, tanpa kata gadis itu menggapai helm yang Sandyakala berikan dan mulai menaiki motor Vespa Sandyakala tanpa aba-aba.
Tidak apa, meski rasanya seperti ditarik ulur oleh Sandyakala, setidaknya ia memiliki memori bersama Sandyakala jika ia memang harus pergi.
°°°
Motor Vespa Sandyakala berhenti dipelataran parkiran khusus motor disebuah cafe bertuliskan Lara.
Laki-laki itu mengikuti Arunika yang mulai masuk kedalam cafe, gadis itu dengan senyum yang tercipta begitu manis menatap sosok laki-laki yang lebih tua dua tahun dari mereka.
"Bang Pandu." Panggil Arunika, membuat laki-laki yang menggunakan apron bertuliskan identitas cafe yang sedang mereka injaki, menatap kearah Arunika dan Sandyakala.
"Loh Arunika? Ada apa kesini?" Tanya laki-laki itu bingung, kala melihat gadis cantik itu berada disini.
"Ini Bang, aku mau tanya apa disini ada lowongan kerja buat aku?" Arunika menatap Pandu yang menatap kearahnya dengan tatapan bingung.
Arunika sosok yang terlahir dari keluarga Nabastala, keluarga kaya yang sudah terkenal di Jakarta, kerja di cafe bahkan ia saja belum lulus.
"Kamu nggak salah? Atau Abang yang salah denger nih?" Tanya laki-laki itu bingung, dengan tawa diakhir perkataanya.
"Nggak Bang." Arunika menggeleng meyakinkan.
Sandyakala yang diam berdiri dibelakangnya, hanya bisa menghela nafas.
"Gue bantu."
Suara tiba-tiba Sandyakala dan perkataan singkat laki-laki itu membuat Arunika dan Pandu menatap kearah yang sama dengan wajah bingung mereka.
"Bantu?" Tanya Arunika bingung.
"Jangan kerja." Jawab laki-laki itu lagi, membuat Arunika paham kini kemana alur pembicaraan mereka.
"Gue harus kerja Kala, ini semua demi gue." Putus Arunika, dan kembali menatap Pandu yang juga menatap kearah mereka berdua dengan tatapan pura-pura tidak tahu apa-apa.
"Gue b-a-n-t-u." Sandyakala tak mau kalah dan kembali mengulang perkataanya dengan tekanan disetiap huruf akhir yang ia keluarkan.
"Nggak, gue nggak mau. Please Kal, jangan bikin gue banyak berhutang sama lo." Sandyakala menarik sebelah alisnya bingung.
"Berhutang banyak? Bahkan gue belum bantu apa-apa."
Arunika kembali menatap Pandu, dan lihat bahkan sekarang ia menjadi pusat perhatiaan beberapa pengunjung cafe juga pekerja cafe.
"Jadi gimana Bang? Jangan dengerin omongan Kala, dia suka ngelantur." Pandu terkekeh pelan dan mengangguk-angguk kepalanya.
"Ada, tapi jadi penyanyi dicafe ini. Bisa?" Tanya Pandu, menatap Arunika harap-harap cemas, karena memang laki-laki itu tau jika Arunika sangat pintar bermain alat musik dan bernyanyi.
Arunika mengangguk setuju, membuat Pandu tersenyum senang dengan pilihan Arunika.
"Aku mau Bang, mau banget." Pandu tersenyum dan mengangguk.
"Hari ini mulai nyanyi, bayaran pertama hari ini. Deal?" Pandu mengulurkan tangannya.
Arunika tersenyum dan mengangguk. "Deal."
Sedangkan Sandyakala yang berdiri dibelakang gadis itu, hanya bisa menghela nafas.
°°°
Laki-laki dengan jaket bomber navy miliknya berjalan menuruni tangga dengan pandangan yang fokus pada benda pipih ditangannya.
"Alterio, mau kemana?"
Suara dari sang Mama tiri, yang baru saja keluar dari dapur membuat Alterio berhenti dan menatap wanita yang sudah tidak lagi mudah itu.
"Mau kerumah Arunika, Ma." Wanita itu tersenyum dan mengangguk.
"Mama harap kamu jagain dia, dia butuh banget sosok yang bisa jadi tempat bersandar. Meski, Mama tau kalau gadis itu nggak pernah mau bilang sama perasaanya." Alterio menghela nafas dan mengangguk membenarkan perkataan sang Mama.
"Iya, Ma."
Alterio mendekat kearah sang Mama dan mulai menyalimi tangan wanita yang sudah tak lagi muda itu, lalu mulai berjalan menuju keluar Mansion.
Motor sport merah milik Alterio berjalan meninggalkan pelataran Mansion megah itu, dengan kecepatan diatas rata-rata, karena Alterio ingin melihat sosok Arunika secepatnya.
Butuh waktu hingga tiga puluh menit, karena malam ini jalanan kota Jakarta lengah oleh banyaknya pengendara.
Alterio berjalan menekan bel Mansion Arunika, wanita diperkirakan berusia tiga puluh tahunan mendekat kearah Alterio dan tersenyum.
Ah iya, Alterio ingat jika dia adalah Mama dari Arunika.
"Alterio?" Laki-laki itu mengangguk sopan dan mulai menyalimi tangan wanita yang menjadi Mama Alterio.
"Maaf Tante, Arunika-nya ada?" Wanita itu terdiam dengan pertanyaan Alterio, karena memang ia tidak tahu kemana perginya Arunika setelah pertengkaran antara sang suami dan anak keduanya itu.
"Tante?" Panggil Alterio lagi, membuat wanita itu kembali kealam sadarnya dan menatap Alterio dengan helaan nafas.
"Maaf Alterio, Tante nggak tau kemana Arunika." Laki-laki itu menatap wanita didepannya tidak percaya, jika anaknya saja kemana ia tidak tahu.
Alterio paham sekarang, jika nyatanya pasti mereka telah bertengkar lagi, laki-laki tak habis pikir dengan kedua orangtua Arunika mengapa mereka selalu hobby membuat luka batin dan fisik gadis itu semakin terbuka lebar.
"Kalau gitu Alterio pergi dulu, Tante." Setelah menyalimi tangan Mama Arunika, ia menjalankan motor sport miliknya dan mulai berhenti dipinggir jalan, mengeluarkan handphone miliknya.
kembaran Laknat : Bg nmr Arunika.
Orang nggak tau diri : send kontak
Disebrang sana Alerio hanya bisa berdecak sebal dengan kelakuan Alterio karena laki-laki itu tidak mengucapkan terima kasihnya, tapi Alerio tidak perduli dan mulai membuang handphone miliknya keatas kasur.
Alterio menatap ponselnya dan tanpa basa-basi ia mendeal nomor yang sudah Alerio berikan padanya.
Butuh waktu, hingga deringan ketiga dan akhirnya panggilan milik Alterio diangkat oleh sosok disebrang sana.
"Halo." Suara yang Alterio kenali itu membuat ia menarik sebelah alisnya bingung.
"Sandyakala? Ngapain lo pegang handphone Arunika?" Tanya Alterio dingin.
"Terserah gue." Jawab Sandyakala tak mau kalah.
"Mana Arunika."
"Bukan urusan lo dia ada dimana." Alterio mendengus sebal dengan perkataan Sandyakala.
Namun, tiba-tiba suara ribut dari sebrang sana membuat Alterio tersenyum karena Arunika mengambil handphone miliknya dan marah-marah pada Arunika.
"Halo, ini siapa ya?" Tanya Gadis itu membuat Alterio tersenyum ditempatnya, ia senang jika Arunika baik-baik saja.
"Alterio. Lo dimana?" Tanya laki-laki itu to the point.
"Cafe Lara, didaerah Jakarta Pusat."
"Otw."
Klik.
Panggilan terputus membuat Arunika menatap ponselnya dan mengedikan bahu tak faham, sedangkan Sandyakala hanya bisa mengeram sebal karena Alterio harus ikut-ikutan kemari.
••••