Hari pertama tanpa Laksa, Cleo menyiapkan pakaiannya sendiri. Tapi, rupanya Nara sengaja mengerjai Laksa dengan meminta Cleo untuk mengenakan pakaian yang terbuka. Dikenakannya tanktop putih yang menyelimuti kedua dada yang menyembul dan panjang sebatas perut atas, menampilkan kesan seksi dengan perut ramping dan wrap skirt yang terbelah menampilkan kaki jenjangnya sampai sebatas paha.
Ia menggerai rambut panjangnya, dan sepatu berbahan suede dengan pinggiran bulu sintetis. Benar-benar mmebuatnya terlihat seksi.
Bahkan saat Cleo keluar dari mobil Yudith, puluhan pasang mata sudah memandanginya dari atas sampai bawah. Para mahasiswa bersiul menggoda Cleo yang tak didampingi Laksa, sedang para mahasiswi ada bisikan iri, kagum, dan terpesona pada kecantikan seorang Cleopatra.
Tatu menggaet lengan mulus Cleo, "pagi, Nona cantik …," godanya.
"Pagi juga, Tatu ku.…" Cleo tak kalah hebohnya ikut merangkul sahabatnya.
"Tumben kamu memakai baju begini?Tak dimarahi nanti sama gugug mu?" tanya Tatu, perempuan itu memiliki banyak tindik, tiga tindik di daun telinganya, satu tindik di hidung bahkan di lidahnya. Perempuan penyuka warna hitam dan coklat, dengan penampilan tomboy-nya tetap membuat ia masih terlihat cantik.
"Gugug?" Cleo mengulang perkataan Tatu, ia menaruh tasnya di atas meja.
"Iya, gugug, anjing, alias Laksa hahaha ...." Tatu tertawa.
Kalau Laksa ada di depan mereka, tak akan berani Tatu mengatai sosoknya.
"Lagi di Amsterdam coba, aku ditinggalkan huhuhu...." Cleo mengadu.
"Unchhh, cacingan. Cup, cup, cup anak mama Tatu tak boleh syedih,"
Bagi Cleo, tatu bukan sekedar sahabat, ia juga kakak untuknya. Sosok Tatu yang dewasa yang bisa membimbing dan menegurnya kalau melakukan kesalahan.
"Selfi yuk, sudah lama tak selfie berdua. Biasanya gugug kamu mengikuti kita terus." Tatu mengeluarkan ponsel canggihnya, menarik bahu Cleo agar mendekat.
"Yang kamu bilang gugug itu pacar aku tahu," sungut Cleo.
"Hahaha, kamu mah setiap hari juga dengan dia melulu. Sampai main berdua denganku saja susah banget, nget, nget!"
Dosen muda memasuki kelas mereka, bertanda jam perkuliahan akan dimulai. Dua jam membuat mereka menguatk atik teori sosial, yang terkadang didebatkan.
"Hai Cleo, ciyeee berdua sama Tata akhirnya!" Erlangga duduk di hadapan Cleo, yang tengah memakan baksonya di kantin.
"Kamu tak bisa apa memanggilku Tatu, jengkel sekali aku dengarnya!" omel Tatu melirik sebal.
"Lebih enak memanggil Tata juga," kilah Erlangga.
"Btw, jangan lupa sore rapat BEM. Kalian wajib hadir, bulan depan sudah harus siap," tambah Erlangga.
"Ya Tuhan, tak bisa apa libur sebentar?" keluh Cleo, menidurkan kepalanya di atas meja sambil memandangi mangkuk bakso miliknya.
"Resiko lah, Bu, pesan mie ayam sama es teh manis ya!" Erlangga berteriak memesan makanannya.
Mereka masih menikmati makanannya, sebelum geng yang bernama Laksamana Lover's datang bersinggah, tentunya mengusik pacar Laksa yang sedang tak bersama pendampingnya.
"Kemana tuh si Laksa, kok tidak menemani kamu, Lay?" Tanya perempuan yang mengenakan tanktop merah dengan rambut yang di cat.
"Sudah dibuang kali si Jablay mah," timpal teman di sebelahnya.
"Eh, gila! Tuh mulut pernah dioles pakai habanero apa?!" Tatu membela Cleo yang tampak tenang.
"Bisa tidak sih kamu, tak mengganggu kami, si Jablay yang dibilang oleh kamu ini banyak kontribusinya untuk kampus dari pada kalian berdua." Erlangga juga ikut membela.
Perkataan pedas dari Mahasiswa presedien universitas membuat mereka ciut tak jadi mengganggu mahasiswi semester enam itu, mereka berlalu meninggalkan ketiga orang yang sedang menikmati hidangan. Namun, salah satu dari mereka sengaja menyenggol mangkuk yang berisi kuah saus mengenai rok Cleo.
Cleo tak diam saja, ia segera berdiri, menyeret tangan perempuan yang mengganggunya.
Plak!!! Cleo melayangkan tamparan pada pipi gadis didepannya sampai wajahnya terlempar ke samping.
"Aku kalau diganggu sampai seperti ini, membuatku semangat untuk membalasnya Bitch!" Cleo segera berjalan keluar kantin.
"Dasar Jalan!!!" teriak perempuan yang tadi terkena tamparan.
Tatu segera berlari mengejar Cleo sambil bersiul senang. Mereka berjalan menuju kamar mandi. Cleo mencoba membersihkan noda di roknya.
Emosinya tertumpuk di dada, inilah yang membuat Laksa selalu bersama Cleo. Tak dipungkiri rasa iri membuat banyak mahasiswi nekat menyakitinya jika mereka tak mendapatkan Laksa.
Sangat wajar di area sekitar kampus yang memiliki tiga golongan, golongan pertama memiliki kuasa dan harta, golongan kedua penerima beasiswa yang sering ditindas, dan golongan ketiga golongan yang memiliki koneksi sampai mereka bisa menempuh studi disini.
Sedang Cleo, berprestasi namun memiliki koneksi, yaitu Laksa. Laksa memiliki kuasa atas keinginannya, tak sekedar kuasa tetapi rasionalitas yang membuat ia bisa menjatuhkan palunya.
Kelas kedua dimulai, mata kuliah yang membuat kelas menjadi rebut seketika, karena dosennya membuat kelompok diskusi, yang minggu lalu di jadikan PR untuk mahasiswanya.
"Banyak perbedaan besar dari penduduk Negara kita yang membuat kita tertinggal jauh di kemajuan global. Salah satunya stigma masyakarat yang selalu mendorong kearah dominan, yang sebetulnya hal remeh tak penting. Sudah kalian prediksi bukan? Bisa kalian sebutkan satu persatu?"
Salah satu mahasiswi mengangkat tangannya, "stigma perempuan contohnya, dari RA Kartini yang mendobrak keterbatasan hak perempuan untuk belajar."
"Ya, salah satunya banyak orang tua yang membuat stigma perempuan hanya sebatas kasur dan dapur, banyak orangtua yang menganggap memiliki anak perempuan adalah beban, banyak orangtua yang menyuruh anaknya segera menikah hanya karena takut umur terlampui, omongan tetangga dan bahkan melepas beban. Why we don't have any decision to our self?" Timpal yang lainnya.
"Salah satunya terjadi saat peristiwa pasca tsunami di Sulawesi, pengungsi yang belum bisa kembali ke rumah, dimanfaatkan situasinya untuk melakukan kejahatan, sebut saja korban berinisial A berumur enam belas tahun menjadi korban kebejatan dari pamannya sendiri. Lucunya saat korban hamil, dan mengakui kejahatan pamannya, ia malah dirundung dan disalahkan oleh orangtuanya. Bahkan mereka memaksa si korban untuk menikah dengan pamannya. Inilah stigma close minded dari banyak orang Indonesia, mereka merasa anak adalah beban. Pemikiran kolot yang bahkan tak diakui oleh agama sekali pun," tambahnya.
Tatu ikut mengambil bagian, ia mengangkat tangannya dan berbicara, "ya itu baru salah satunya, kami para perempuan serba salah, saat terjadi pelecahan, kami yang menjadi korban sekaligus saksi. Banyak yang menyarankan untuk membuka suara namun, hasilnya nihil. Saat kita berbicara tentang apa yang kita alami kepada orang terdekat kita, salah satunya ibu atau kakak perempuan, mereka menjawab, ah itu bercandaan saja atau kamu sih keganjenan. Lucu sekali bukan? Stigma-stigma hal remeh yang membuat kita para perempuan tak bisa melangkah. Masyarakat yang gampang sekali men-judge hal-hal remeh yang mebuat kita stuck. Seperti halnya pertanyaan, nikah kapan? Punya anak berapa? Kerja dimana? Hal itu seringkali dilontarkan tanpa rasa bersalah dengan selentingan-selentingan kecil yang menggiring opini orang terdekat mendorong kita secara sadar memaksa kita menerima."
"Kalian semua benar, kasus-kasus yang banyak di angkat itu, membutuhkan peran sosial untuk menyadarkan bagaimana stigma yang ditujukan pada kita untuk tergiring menjadi stigma positif yang tetap memaku nilai adat dan budaya timur. Tak semua hal bisa diubah secara drastis, seperti perjuangan Kartini yang akhirnya bisa kita rasakan saat ini. Menempuh pendidikan setinggi mungkin dan masih banyak kelompok besar masyarakat yang tak mendukung, dengan keterbatasan pengetahuan yang tak didapatkan," pungkas dosen muda itu mengakhiri perkuliahan.
Saat kita menjadi orangtua yang mendidik anaknya, jangan membuat stigma yang sama seperti yang kita alami saat ini. Bukan mereka yang minta untuk dilahirkan tapi kita yang memutuskan membangun keluarga.