Ulah Langit bikin hati Bumi rasanya masih panas saat dia tiba di rumah. Hal yang paling nggak dia inginkan saat ini adalah bertemu dan bicara basa basi dengan seseorang. Dalam hati dia berharap, mudah mudahan Mama lagi sibuk merajut di kamar, Kak Romi dan Kak Reina lagi sibuk sama laptop masing masing dan adik semata wayangnya, Ajeng, sibuk medsosan di kamarnya, biar dia bisa langsung masuk kamar tanpa perlu menyapa mereka dan mandi lalu tidur.
Tapi Bumi langsung tau harapannya sudah kandas begitu dia menginjak keset abu abu cantik bertuliskan SELAMAT DATANG (yang dibeli Mama entah kapan itu di salah satu toko furniture di mall, lalu dia pasang di depan pintu rumahnya) dan mendengar suara ramai bercakap cakap dari ruang tamu. Dari suara mereka, Bumi bisa menebak, paling nggak ada tiga teman Mama yang sedang bertamu.
Tebakannya salah dikit. Yang benar, dua teman Mama bertamu, dan salah satu dari mereka mengajak putrinya. Mata semua wanita setengah baya itu berbinar begitu melihat Bumi masuk, dan Mama segera memperkenalkan Bumi ada mereka.
"Akhirnya yang kita tunggu tunggu pulang juga," Mama menarik Bumi penuh semangat, memaksanya duduk. "Sini Bumi, kenalin. Ini tante Ira, Tante Rima, dan ini putrinya Tante Rima, Namanya Anisa."
Bumi menyalami mereka semua dengan sopan, berharap setelah itu dia bisa menyelinap ke kamar. Tapi ternyata Mama menahannya sampai berjam jam kemudian. Dan dari percakapan mereka yang semua berpusat pada dirinya dan Anisa, Bumi jelas tau maksud mereka mengajak gadis itu kemari.
"Anisa ini juga kerja di bidang entertaintment lho. Dia fotomodel."
"Bintang iklan juga," tambah Tante yang lain.
"Kalo diliat liat, wajahnya mirip sama kamu, Bumi."
"Kalo mirip itu, tandanya jodoh bukan?"
Dan mereka terkekeh kekeh gembira, sementara Anisa menunduk malu.
"Tapi biarpun kerja di bidang entertainment, Anisa ini pintar jaga diri."
"Soleha dia, nggak pernah sekalipun lupa sholat."
"Bahkan rajin puasa senin kamis."
"Istri idaman lah pokoknya."
Lalu trik kuno dijalankan. Mama dan kedua Tante pura pura teringat ada sesuatu yang harus dibeli di minimarket sebelah, dan mereka bertiga pergi, meninggalkan Bumi berdua hanya dengan Anisa.
Karena diam saja akan terasa sangat canggung, maka Bumi pun mulai membuka obrolan. Well, gadis ini sebenarnya nggak buruk buruk amat. Wajahnya cantik, tutur katanya sopan, dan lumayan bisa diajak ngobrol. Kalo nggak lagi bad mood, mungkin Bumi bisa lebih menikmati percakapan dengannya. Tapi sore ini, Bumi betul betul sudah lelah. Untunglah Mama dan kedua tante tadi pulang nggak lama kemudian dan mereka beserta Anisa berpamitan.
Tapi bahkan setelah mereka pulang, Mama nggak mengijinkannya langsung ke kamar, tapi justru menginterogasinya.
"Gimana menurut kamu Anisa tadi, Bumi?"
"Ma, yang bener aja," Bumi mengerang. "Aku baru kenal sama dia. Masa iya harus langsung menilai?"
"Tapi dia cantik kan? Nggak kalah kan, sama Rania?"
Bumi terdiam, dan selama 30 menit berikutnya, Mama bicara Panjang lebar tentang Mama yang sedih melihat Bumi bersedih, Mama yang ingin Bumi move on dan melupakan Rania, Mama yang percaya, bahwa Rania pergi, karena dia bukan yang terbaik buat Bumi. Satu hal yang Mama nggak tau, setiap kata yang beliau ucapkan dengan tujuan menghibur dan menyemangati itu, justru terasa seperti goresan pisau yang tajam dan menikam nikam hatinya. Perihnya nyaris tak tertahankan, sehingga Bumi merasa begitu lega saat Mama akhirnya berhenti bicara dan mengijinkannya masuk ke kamarnya.
Malam itu, Bumi baru bisa terlelap menjelang subuh. Bayangan Rania entah kenapa terus menari nari di benaknya, tak mau pergi sekeras apapun dia berusaha mengusirnya. Kata move on memang gampang diucap, tapi Cuma orang orang yang pernah patah hati yang tau, betapa beratnya melakukan itu.