Chereads / Bumi dan Langit Melawan Takdir / Chapter 4 - BAB 4 - Syuting Hari Pertama

Chapter 4 - BAB 4 - Syuting Hari Pertama

"Mau tau pendapat gue?"

Tiba tiba saja Langit sudah jongkok di depan Bumi, bikin Bumi yang lagi termenung kaget setengah mati, sampai menggeragap.

"Pendapat? Pendapat apa?" Bumi menyahut bingung.

"Menurut gue, elo perlu coklat. Yang banyak! Untung gue punya!"

Dan gadis itu lalu mengeluarkan dua batang coklat dari tasnya.

"Eh, ternyata ada dua! Nih! boleh deh, buat elo semua!"

Dengan gerakan yang selincah kelinci, gadis itu menaruh dua batang besar coklat di tangan Bumi, lalu melangkah pergi.

"Dan, buat apa gue perlu coklat ini?" Bumi yang nggak bisa menebak maksud Langit akhirnya bertanya.

"Yang bener aja, masa lo nggak tau?" Langit menoleh. "Coklat itu, obat sedih paling manjur di dunia tau! Dia mengandung.. hmm.. senyawa apa gitu.. kalo nggak salah.. Namanya.. nggg.." Dia ketik ketik hpnya, browsing. "Aaah . ya! Phenylethylalanine!!! Yang bisa bikin bahagia gitu!! jadi.. trust me, habis ngabisin itu, kesedihan lo bakal sirna, berganti kehepian!!"

Entah kenapa, Bumi malah jadi jengkel karena Langit berhasil menebak perasaannya, perasaan yang berusaha dia sembunyikan dan tutupi dari semua orang.

"Lo nggak usah sotoy deh!" tanpa sadar Bumi menyahut ketus.

"Sotoy?"

"Iyalah! Siapa bilang gue sedih?"

"Mata lo, raut wajah lo, gaya duduk lo, itu semua yang bilang."

Bumi jadi tersenyum sinis. Ternyata dia salah. Lawan mainnya ini bukan Cuma sotoy tapi juga lancang dan kurang sopan. Bisa bisanya dia bicara seperti itu, terhadap orang yang baru dikenalnya? Mereka bukan sahabat. Bahkan bukan teman. Hanya partner kerja. Tapi gadis itu sepertinya tidak tahu batas. Apa karena umurnya masih terlalu muda? Mendadak Bumi menyesal mau mau saja dipasangkan dengan lawan main yang masih ABG. Jadi kaya gini kan? Dia harus ngadepin kelakuan remaja yang kekanakan dan nggak peka.

"Kamu nggak kenal saya," Bumi memutuskan untuk mengganti gaya bahasanya dengan Kamu-Saya, supaya lebih berjarak. Supaya gadis ini sadar dia sudah kelewat batas. "Jadi jangan sembarangan menilai."

Tapi bukannya sadar, mata Langit malah membulat, protes, jelas nggak sadar kalo dia salah. Malah seperti jengkel karena disalahin.

"Elo yang jangan denial bisa nggak?"

"Saya nggak denial!" Bumi kepancing, Nada suaranya mulai meninggi.

"Kamu nggak mau ngakuin kalo kamu sedih, itu namanya denial. Tapi oke. Fine, kalo kamu nggak mau nerima kebaikan orang, ya saya bisa apa?" Gadis itu ikut ikutan bicara pake kamu-saya. Tapi alih alih ngaku salah dan minta maaf, dia malah melanjutkan dengan nada mengomel. "Padahal maksud saya baik. Cuma mau hibur. tapi emang susah ya urusan sama cowo kolot, baperan, oom oom jaman purba. Yang bener aja? Kaya gini aja jadi salah paham??"

"Kolot? Baperan? Oom oom jaman purba? Kamu nggak bisa sopan dikit ya sama yang lebih tua?"

"Saya sopan sama orang yang sopan sama saya. Jadi kalo kamu mau saya dengan sopan kamu, mungkin kamu yang harus perbaiki cara bicara kamu."

Dan sekarang jadi gue yang salah? Bumi nyaris murka.

Tapi gadis itu menatapnya dengan mata yang jauh lebih galak.

"Gini ya. Saya orangnya fair. Terbuka. Jadi kalo kamu nggak suka sama omongan saya dan nggak mau coklatnya, ya udah!! Sini!! Biar saya makan sendiri."

Langit mengambil coklat dari tangan Bumi dan teriak BHAY!!! pas di depan muka Bumi, lalu pergi dari hadapannya.

Bumi merem untuk meredakan emosinya. Gimanapun gadis ini akan jadi lawan mainnya. Entah selama berapa lama ke depan. Jangan sampai dia meledak dan merusak hubungan mereka sekarang, sebelum syuting bahkan sempat dimulai. Jadi satu satunya solusi adalah sabar.

Bumi baru membuka matanya lagi setelah hitungan ke sepuluh, berharap Langit sudah jauh.

Tapi ternyata gadis itu malah kembali lagi, berhenti di hadapannya, dan menatapnya dengan sok pintar.

"Udah Bhay kok balik lagi?" Bumi merasa betulan nggak bisa mencerna jalan pikiran bocah ini.

"Gue cuma merasa perlu kasih nasehat aja sih."

Dia pikir dia psikiater? Dan kenapa ngomongnya balik ke lo-gue?

"Denger. Mendem kesedihan itu, bisa jadi penyakit. Jadi lebih baik keluarin aja..."

"Saya nggak butuh nasehat dari siapapun..." Bumi mendesis.

Tapi Langit seperti nggak punya kuping. Dia terus bicara, seperti mobil tanpa rem yang meluncur di jalanan curam. Nggak bisa dihentikan.

"...ungkapin. Misal perlu nangis, juga gapapa. Gak ada yang larang cowok nangis kok. Buktinya, Tuhan kasih air mata bukan Cuma buat cewek, tapi buat cowok juga. yang ARtinya, cowok juga dia ijinkan buat menangis.. "

"Pergi dari sini Langit!!"

".. Semua emosi negative. Kesedihan. Kemarahan. Kalo disimpen. Dari psikis bisa jadi fisik. Bahkan Bisa jadi kanker lho.. ada penelitiannya..

"PERGI!! GUE BILANG PERGI!! DAN JANGAN BICARA LAGI SAMA GUE!!"

Marah bikin Bumi lupa bicara dengan saya-kamu. Persetan. Gadis ini bikin kepalanya mau Meletus.

"Fine. Oke! Gue pergi. Tapi tau nggak, teriak seperti barusan, sebenarnya itu bagus buat keluarin emosi lo.." Langit masih berfilosofi.

Astaga. Gimana caranya nyadarin psikiater jadi jadian ini, kalo nggak ada yang tertarik sama nasehatnya?

"LO INI NGGAK BISA DIEM YA?""

"Terus.. terus.. keluarin semua.. semakin keras, semakin histeris, semakin semua yang berat di hati lo bakal keluar, dan habis itu lo bakal merasa enakan.. lebih lega.. seringan kapas..."

Bumi sungguh merasa percuma meladeni gadis itu.

"LO NGGAK MAU PERGI?! OKE GUE YANG PERGI!!!"

Dan dengan marah Bumi melangkah pergi dari sana.

Begitu Bumi pergi, Langit malah menoleh ke kru yang sedang sibuk menyiapkan make up di sampingnya, dan bicara tanpa rasa bersalah. "Padahal dia belum tua tua banget. Tapi kok kolotnya kayak Grandpa gue ya?"

Geram bumi menumpuk sampai ke ubun ubun dan saat itu Bumi betul betul menyesal menerima job ini. Luka hatinya bahkan belum sembuh, dan kini, setiap hari dia harus berhadapan dengan ABG sotoy dan menyebalkan yang akan menjadi lawan mainnya ini? Apa dia akan sanggup bertahan