Melihat pantulan diriku di kaca, entah mengapa aku gundah gulana saat ini. Ah, menyebalkan sekali mengingat kalau semalam kak Riki menertawakanku. Dasar dia tuh ya, entah apa yang terlinta dalam benaknya hingga tawaran sebagus itu malah ditertawakan.
Masih baik kan aku hanya minta antar jemput saja?
Hiks, meskipun berakhir dengan dia yang tadi pagi menjemputku namun ya sama aja. Aku masih kesal padanya. Ah memikirkannya saja membuat otakkua terasa amat sangat panas saat ini.
Heol, haruskah nanti aku pulang naik angkutan umum saja seperti biasanya?
"Ta Rista!" teriakan melengkik Desi membuatku menoleh ke belakang.
Saat ini kami berada di kamar mandi. Dia merengek kalau akan ketiduran jika terus mendengar materi sejarah Indonesia, memang sih aku juga beranggapan sama kalau mengenai fakta yang satu ini.
"Kenapa?" sahutku malas.
Jarak kami dekat, meskipun dia ada di balik pintu.
"Mual njir, gue keluar agak lama sih. So tungguin ya, jangan kemana-mana. Rista, tungguin ya? Atit perutku," rengeknya.
Dia yang mual, namun aku juga sepertinya ikutan mual lantaran dia yang merengek seperti itu. entah kapan, dan bagaimana namun memang sepertinya kami sudah cukup dekat hingga Desi bahkan memutuskan untuk duduk di bangku keramat yang ada di sampingku.
"Iya, santai aja, Des," balasku lantas mengeluarkan ponsel dari dalam saku.
Nampaknya benda satu ini terus saja bergetar sejak tadi. Mataku memejam sesaat, lantas aku mendengus panjang ketika melihat bahwa baterainya hanya tersisa tiga puluh persen saja. Biasanya aku membawa kabel data, namun saat ini tidak ku bawa. Hanya laptop saja di dalam tas, itupun untuk kerja kelompok nanti.
Sebelum membuat makanan dari bahan nabati, kamu harus mengurus pembukuannya dan konsep apa yang akan kami pakai.
Tunggu, jika kami langsung kerkom saat pulang sekolah maka itu artinya aku bisa menghindari kak Riki walau sesaat bukan?
"Kak Riki?" gumamku saat melihat chat masuk.
Lagi-lagi dia nyepam tak jelas. Entah sampai kapan aku harus siap menghadapi sikap buruknya ini.
Masalahnya, ponselku lemot semenjak dia nyepam chat. Ingin membentaknya, namun kata Desi itu salah satu bentuk perhatian yang entah bagaimana caranya mengekspresikan.
Sungguh sangat aneh.
Kak Riki on chat
'Ta nanti tunggu ya, aku antar kamu agak telat dikit nunggu jam istirahat kelas tambahan.'
'Ta?'
'Kamu nggak ngambek kan? Dih, cantik-cantik ngambekan, cukup Refi aja yang gila tingkah lakunya kamu jangan ya.'
'Btw nanti jangan lupa chat Refi ya? Dia katanya mau minta diajarin lagi. Eum kalau mau bayaran lain gapapa, XOXO.'
Aku tersenyum singkat. Menengok ke belakang guna memastikan kalau Desi tak akan keluar selama aku membalas pesan dari kak Riki.
"Rista kalau lo kabur awas ya!" teriak Desi memperingati.
Lagian siapa juga sih yang mau kabur. Duh dasar deh dia aneh sekali.
"Nggak akan, kalem aja santai. Yang lama disana sampai jam sejarah selesai aja sekalian," balasku ngawur.
Namun siapa sangka kalau dia justru terbahak-bahak. "Gue nonton life di vlive njir, setengah jam lagi kelarnya," timpal Desi membuatku refleks memutar bola mata malas.
"Iya-iya terserah aja, aku juga betah disini kok."
Usai berdebat dengan teman sebangkuku yang baru gegas aku membalas dari kak Riki.
"Hem? Memang bisa kasih bayaran yang lain apa contohnya?" balasku pada kak Riki.
Menunggu sejenak, ku kira dia akan membalas lama karena sekarang masih jam pelajaran namun ternyata langsung centang dua, berubah biru dan terdapat tulisan mengetik disana.
"Apa aja, Ta. Nggak perlu sungkan, bahkan hati pun ku berikan wkwk."
Ku usap tengkuk yang terasa aneh. Puitis sekali kata-katanya ya, tak ku sangka kalau dia yang kelihatannya urakan bisa juga mengutarakan kalimat menjijikan.
"Bercandanya nggak lucu, btw aku mungkin kerkom nanti jadi kakak aja yang kasih kabar ke Refi. See you besok, aku pulang sama temen-temen aja, makasih kang Ojek fufu."
Seteleh membalas pesan itu gawai milikku segera ku matikan. Kalau tidak nanti siang tak bisa mengabari jika dibutuhkan, memang ingin rasanya meminjam charger milik kak Riki atau setidaknya meminta bantuannya namun tak tahu mengapa aku merasa enggan saja.
Benar-benar setelah setengah jam Desi baru keluar dengan tampang sumringah.
"Gila nggak sih, suami gue makin hari gantengnya nggak ketulungan," ujar gadis itu sambil menarik tanganku untuk keluar dari kamar mandi.
Eum yang dia maksud sebagai suami itu ya jelas para ahjussi muda itu, 'kan?
Dudu kalau oppa-oppa kan hanya menawarkan cinta. Hehe, Desi yang mengatakannya bukan aku. Dia terus saja mengoceh mengatakan hal yang tak ku pahami.
Hebatnya, begitu kami tiba di kelas pak Anam guru sejarah sudah keluar. Untuk kali pertama guru muda itu menatapku dingin, dia seakan mengutarakan perasaan kecewanya meski hanya dengan tatapan itu. sedikit menyesal namun apa boleh buat jika aku juga menikmati waktu bolos berdua, lebih lagi ini hari … Rabu.
Mungkin karena Desi yang terus menempel padaku hingga bayang-bayang Saka tak muncul. Lega menyergap dada rasanya, ini alasan mengapa Desi tak ku depak meskipun dia banyak bicara.
Karena bagiku, ini obat sementara agar keadaan baik-baik saja. Dengan begini aku bisa mengatakan pada bibi kalau terapi tak lagi ku butuhkan. Bisa dengan bangga aku mengatakan kalau pada wanita yang telah membesarkanku kalau diriku sudah baik-baik saja.
"Woy setan ya kalian, pasti pada nonton live kan?"
Aku menggeleng. "Cuman Desi ja, aku nungguin dia di depan pintu."
Desi tertawa kencang. "Kalem, Sob. Gue yakin dengan sepenuh hati kalau pak Anam nggak akan benci sama Rista."
Mendengar Desi yang dengan mantap mengatakannya membuatku jadi menatapnya penuh tanda tanya.
"Kenapa kalian seyakin itu?" tanyaku.
"Lah? Lo nggak tahu?" timpal yang lainnya setengah menahan tawa.
Beberapa juga ada yang mendelik tak percaya.
"Gila, lo pendiem sih fine fine aja gue, tapi masak kayak gini aja nggak peka sih?" Yang lainnya ikut-ikutan bertanya juga.
Tenti saja aku menggeleng dengan yakin. Memang sih pak Anam baik padaku, dia guru pembantu namun bagiku penjelasannya lah yang paling masuk akal ketimbang yang lainnya. Guru-guru tua justru terkadang galak dan kolot.
Kalau pak Anam, dia murah hati dan murah nilai. Aku menyukainya, dia salah satu guru favoritku.
"Nih biar gue kasih tahu kalau pak Anam itu—"
"Rista?" Suara Fano membuat semua ucapan para cewek-cewek terhenti.
"Nanti kerkom, lo juga harus tahu, Des. Dan satu lagi, lain kali jangan ikutan live karena biar bagaimanapun juga pak Anam guru kita."
Ucapannya dengan nada rendah namun tajam nan menusuk itu jelas saja membuat kami semua berhenti bicara. Yah, memang lebih baik mengalah ketimbang melawannya yang berakhir kalah.
"Oke," balasku kemudian.
To be continued ….