Sebuah tangan menjulur ke depan untuk meraba dan merasakan hangatnya kulit. Ia meraba dari leher lalu pindah ke tengkuk dan semakin naik ke atas rahang. Ujung jarinya membelai lembut pipi gadis yang kini berada di bawah kakinya, di bawah pengaruhnya.
Pria itu menyeringai dan meremas sejumput rambut pirang gadis itu lalu menariknya ke belakang. Terdengar suara lenguh dari bibir pink si gadis itu. Lidah pria itu lantas keluar menjilati ujung bibirnya sendiri. Ada hasrat yang berbeda saat melihat mata polos seperti itu memohon untuk dilepaskan.
Sebelah tangannya yang lain lantas meraba pengait celana semi kulit buatan rumah mode paling ternama di dunia. Bunyi ziper lalu terdengar pelan tanda celana mulai dibuka. Ia hanya perlu menurunkan sedikit agar sang gadis tahu apa yang harus ia lakukan.
Jari yang semula menurunkan ziper kini beralih menyeka dari bibir, hidung sampai pipinya dengan sebelah tangan masih meremas lembut rambutnya. Gadis itu tak bicara. Matanya yang semula menatap mata pria itu lantas jatuh ke bagian celana yang sudah terbuka tapi belum sepenuhnya.
Tangan gadis itu lantas meraba pengait dan jemarinya perlahan menurunkan sedikit band pakaian dalam bermerek itu agak sedikit ke bawah. Ia sesungguhnya tak tahu apa yang tengah dilakukannya, hanya rasa penasaran yang menyelinap masuk dalam benak.
Si pria menyeringai lebih lebar terutama saat ia bisa memamerkan miliknya tepat di depan wajah si gadis.
"Buka mulutmu, Babygirl. Kita lihat seberapa hebat dirimu!" ucapnya lalu meremas rahang gadis itu sampai kedua bibirnya berjarak. Dengan cepat pria itu memasukkan miliknya di antara kedua bibir cantik itu sampai ia terkulum jauh.
Lenguhan demi lenguhan rasanya bisa terdengar sampai keluar dari kamar itu. Kamarnya adalah presidential suite maka tak mungkin suara seperti itu bisa terdengar sampai keluar. Namun perbuatan dua anak manusia di dalamnya tak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata.
Hentakan pria itu makin keras ke wajah si gadis. Ia sebenarnya sudah tercekik dengan rasa mual dan ingin muntah tapi tak bisa berbuat apa pun. Hasrat pria yang tengah membuatnya melakukan hal yang tak pernah ia bayangkan tak bisa dilawan si gadis. Ia kalah tenaga dan kekuatan. Matanya sudah mengeluarkan air mata dan rasanya seperti ingin pingsan. Tapi pria itu tak berhenti, ia terus bergerak cepat sampai rasanya tak bisa bernapas.
Tak cukup dipaksa menelan, gadis itu lalu dihempaskan si pria ke atas ranjang. Seluruh sisa pakaiannya dilucuti dan tanpa pemanasan apa pun pada si gadis, ia langsung mendesak masuk.
"Aaahhhkkk!" si gadis berteriak cukup keras tapi ia tetap menggelungkan tubuhnya. Si pria berhenti dan melihat wajah si gadis yang kesakitan.
"Kamu kenapa? Jangan bilang kamu masih perawan!" tanya pria itu masih terengah. Gadis itu tak menjawab dan ikut terengah. Perlahan ia ikut larut dan malah mencium pria yang tengah menyetubuhinya. Si pria pun tak peduli lagi. Dan benar saja, gadis itu memang masih perawan dan saat pertamanya diambil oleh si pria asing yang tak ia kenal.
Malam yang cukup panas membuat keduanya bergumul dalam hasrat dan nafsu yang tak reda meski rasa sakit cukup terasa. Si pria tak peduli dan si gadis tak bisa berbuat apa pun selain menikmati. Hubungan intim tanpa menyebut nama itu terjadi lebih dari tiga jam di atas ranjang king size yang nyaman.
Mata biru topaz lantas terbuka perlahan. Tubuhnya sakit bukan main dan kepalanya begitu pusing. Cukup lama ia mencoba untuk meraih kesadaran. Rasanya begitu sulit membuka mata dan menyadari bahwa sekarang ia berada di kamar hotel.
Pandangan yang kebingungan itu lantas perlahan menoleh ke sisi kiri. Bola mata itu spontan membesar dan tubuhnya terpaksa bangun beringsut jauh dari pelukan seorang pria. Gadis itu langsung menutup mulut dengan sebelah tangannya begitu terkejut melihat jika seorang pria yang tidak ia kenal ternyata sudah menyetubuhinya semalam.
Dengan ketakutan dan begitu kebingungan, gadis itu menarik selimut dalam dan melapisi tubuhnya sendiri. Ia terjatuh karena tak tahan dengan bagian bawah tubuhnya yang begitu perih. Tapi ia berusaha tak membuat suara, gadis itu masih bisa melihat wajah pria yang sudah memperkosanya tertidur dengan nyenyak di sana.
Ia lalu celingukan mencari pakaian dan sembari memegang selimut yang melingkar di tubuhnya, gadis itu memunguti satu persatu pakaiannya. Ia tak lagi menggubris lagi rasa sakit di kulit dan tubuhnya, sebaliknya ia memilih untuk memakai pakaian dengan cepat di koridor kamar ke arah pintu. Sambil terengah, ia ikut mengambil tas yang tergeletak di dekat pintu lalu pergi dari kamar tersebut.
Sambil menangis dan terengah, gadis itu terlihat begitu kacau saat masuk ke dalam lift. Beberapa pengunjung yang ikut naik sempat melirik dengan pandangan aneh. Tapi ia hanya bisa menyudutkan diri dan tak berani mengangkat kepalanya. Tangannya gemetar dan ia hanya ingin pulang, ia tak seharusnya ada di sini.
Menahan sakit tapi harus setengah berlari adalah hal yang sulit. Namun gadis itu melakukannya karena ketakutan. Ia keluar dari hotel bintang lima Poseidon dengan kebingungan. Ia tak tahu jalan di kota ini, Boston bukanlah kota kecil.
"Aku harus ke mana?" gumamnya pada diri sendiri. Ia lalu berbalik melihat bangunan hotel yang seharusnya menjadi tempatnya meraih impian. Banner besar audisi penyanyi berbakat masa depan masih terpampang dengan megahnya di samping bangunan hotel bergaya Eropa tersebut.
Gadis itu datang dari Pensylvania untuk mengikuti audisi lanjutan untuk penyanyi sebuah acara ajang pencarian bakat. Namun bukan audisi yang ia dapatkan melainkan ia malah diperkosa oleh seorang pria asing. Gadis itu lantas berjalan menyeberang dan duduk di sebuah halte pemberhentian bus tak jauh dari hotel itu berada.
Sambil menenangkan diri, ia terus memeluk tasnya yang sedikit kumal karena terus dipakai dari semenjak ia bersekolah. Ponselnya kemudian berdering dan itu sempat mengejutkannya. Ia merogoh salah satu saku di dalam tas dan memandang sejenak sebelum ia mengangkat panggilannya.
"Dad?"
"Sweetheart, kamu ke mana saja? aku menghubungimu dari semalam tapi kamu tidak mengangkatnya? Apa kamu baik-baik saja, Sayang?" suara sang Ayah terdengar cukup cemas membuat si gadis jadi bingung apa yang harus ia katakan. Ia berpikir cukup lama sampai Ayahnya menegur lagi.
"Honey ... apa kamu mendengarku, Sweetheart?"
"Y-Ya ... aku mendengarmu, Dad. Maaf semalam aku tidur lebih awal, aku terlalu lelah," jawab gadis itu mencoba berbohong.
"Oh, aku kira ada apa. Bagaimana audisimu? Apa kamu berhasil?" gadis itu makin meringis dan menundukkan wajahnya.
"Honey?"
"Tidak, Dad. Aku tidak lolos audisi," jawabnya pelan.
"Tak apa, Sayang. Kita bisa coba lagi nanti. Apa kamu mau dijemput di Boston?"
"Tidak, Dad. Aku akan pulang dengan bis saja. Aku akan pulang hari ini."
"Baiklah, kalau begitu biar Axel yang akan menjemputmu nanti. Sampai jumpa, Sayang. Daddy sangat mencintaimu!"
"Aku juga, Dad!" sambungan ponsel itu pun perlahan dilepaskan oleh gadis itu dengan mata berkaca-kaca.
"HONEY!" tiba-tiba suara dari salah satu sisi jalan membuat gadis bernama Honey itu berdiri dan melihat. Sahabatnya Angelica lalu berlari dari ujung jalan dan langsung memeluknya erat.
"Oh Tuhan, aku mencarimu semalaman. Kamu ke mana saja?" ucapnya cemas. Sedangkan Honey hanya makin mengeratkan pelukannya dengan wajah ketakutan.