Pagi harinya, Salsha yang barusaja memasuki dapur melihat Aldi yang sedang meneguk segelas air putih. Untuk sesaat, mata mereka saling beradu sebelum akhirnya Salsha memalingkan wajahnya. Salsha menghela nafas beratnya, ia masih mengingat semua perkataan Aldi tadi malam dan itu membuatnya marah kepada lelaki itu. Salsha tak terima disalahkan saat Aldi belum tau apa masalahnya.
Salsha berdiri di samping Aldi dan mengambil gelas dari dalam lemari. Sementara Aldi menatap Salsha yang menampilkan wajah dinginnya.
"Kayaknya kita perlu belanja ke supermarket, deh. Kita harus beli persediaan kulkas. Kayak susu, roti, makanan ringan. Biar sewaktu-waktu kalo kita bangunnya telat dan nggak sempat makan di kantin perutnya ke isi. Miris banget lama-lama kayak gini mulu."
Salsha tak menjawab. Ia sudah bertekad untuk tidak berbicara kepada Aldi. Menganggap lelaki itu tak ada meskipun berada di dekatnya. Salsha menuangkan air putih ke dalam gelasnya dan meneguknya hingga kandas.
"Sama kita beli bahan masakan, yang ringan-ringan aja. Biar gue yang masak, lo kan nggak bisa apa-apa," lanjut Aldi tanpa memedulikan Salsha yang sepertinya malas berdebat dengannya.
Salsha melirik tajam Aldi, lelaki itu tak pernah memfilter ucapannya. Tak pernah memikirkan perasaan orang lain. Salsha mendengus kecil dan pergi meninggalkan Aldi.
Aldi melongo melihat kepergian Salsha. Biasanya gadis itu pasti sudah membalas kata-katanya tak kalah pedas, tapi kali ini, Salsha hanya diam dan pergi begitu saja. Aldi merasa ada yang aneh dengan gadis itu.
"Gue di cuekin?" tanya Aldi pada dirinya sendiri. "Dia kesambet apaan."
Aldi menghendikkan bahunya acuh dan mengikuti langkah Salsha. Di teras rumah, Salsha berhenti dan duduk di kursi. Ia menatap Aldi dengan tajam dan menghela nafasnya.
Salsha tak sudi jika harus pergi ke sekolah dengan Aldi. Salsha masih marah dan sebisa mungkin ia akan menjauhi lelaki itu.
"Ayok la, gas ke sekolah. Ntar telat!" ajak Aldi. Tetapi tak ada pergerakan dari Salsha.
Tak menggubris ucapan Aldi tersebut, Salsha malah menelfon Dinda. Ia akan menyuruh Dinda menjemputnya.
"Halo, Din, lo lagi dimana? Lo bisa kan jemput gue sekarang di rumah. Soalnya gak ada yang nganter gue." kata Salsha sembari melirik sinis Aldi.
"....."
"Masa nggak bisa, sih. Jadi gue ke sekolah naik apa?"
"..."
"Taxi nggak ada yang lewat sini kalo pagi. Mesan gojek nggak keburu lah."
"..."
"Yaudah deh, sampe jumpa di kelas."
Salsha mematikan sambungan telfon dan menghela nafas beratnya. Dinda tak bisa menjemputnya. Salsha melirik Aldi yang kini sedang tersenyum penuh kemenangan.
"Nggak bisa ke sekolah kan lo kalo nggak bareng gue!" Aldi merasa menang. "Masuk ke mobil sekarang atau gue tinggal!"
Aldi melangkahkan kakinya dan masuk ke dalam mobil, sementara Salsha masih diam di tempatnya. Aldi mengklakson mobilnya dan melihat Salsha dari dalam mobil.
"Lo mau ikut bareng atau gue tinggal?"
Salsha menghentakkan kakinya dan masuk ke dalam mobil itu. Kali ini Salsha mengalah, tapi bukan berarti ia memaafkan dan melupakan ucapan pedas lelaki itu tadi malam.
Selama di perjalanan, hanya keheningan yang menemani keduanya. Aldi fokus ke jalanan di depannya sambil sesekali melirik Salsha yang setia menatap ke luar jendela. Aldi merasa asing denga situasi ini. Ia lebih suka beradu argumen dan saling memaki daripada harus berdiam seperti ini dengan Salsha.
"Lo kenapa diam aja?" tanya Aldi akhirnya.
Salsha masih enggan membuka mulutnya, menatap Aldi pun tidak.
"Lo marah sama gue?" tanya Aldi lagi.
"Stop-stop! Berhenti disini!" kata Salsha tiba-tiba.
Refleks Aldi menghentikan laju mobilnya dan menatap Salsha dengan pandangan aneh. "Lo mau gue turunin disini? Masih jauh banget ke sekolah."
Bukannya menjawab, Salsha malah turun dari mobil dan menuju salah satu penjual makanan di tempat itu. Salsha berniat membeli Bubur ayam dan memberikannya kepada Farel. Itung-itung untuk menarik perhatian Farel.
Setelah selesai, Salsha kembali masuk kedalam mobil itu.
"Lanjut!"
*****
"Kok lo bisa bareng ke kelasnya sama Aldi. Apa jangan-jangan lo berdua berangkat bareng?"
Salsha yang barusaja duduk di bangkunya menghela nafas panjang mendengar pertanyaan dari Dinda itu. Salsha menatap Dinda malas dan menjawab,
"Kebetulan doang kali, yakali gue bareng sama dia. dekat aja kagak!"
Dinda manggut-manggut dan percaya dengan ucapan Salsha itu. Dinda meletakkan tangannya di dagu dan menatap Aldi lekat-lekat. Baru sehari bertemu saja sudah membuat Dinda jatuh hati dengan ketampanan Aldi. Mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandang pertama.
"Aldi ganteng banget, ya. Gantengnya itu maksimal, malah melebihi lagi. Kan gue jadi sayang."
Salsha yang mendengar ucapan Dinda itu ingin muntah. Wajah pas-pasan seperti Aldi tidak ada apa-apanya dibandingkan Farel.
"Gantengan Farel juga. Farel itu paket komplit, spesial lagi."
Dinda melirik sinis Salsha. Bosan mendengar ucapan Salsha yang itu-itu mulu. "Bisa nggak sih lo sehari aja nggak bahas Farel, bosan gue dengernya."
"Lo juga ngapain bahas-bahas si cowok baru itu?" balas Salsha tak mau kalah.
"Ya gue suka sama Aldi."
"Tampang pas-pasan gitu yang lo sukai? Kayak nggak ada cowok yang lebih ganteng aja."
"Ganteng itu relatif. Ganteng menurut lo belum tentu ganteng menurut orang lain."
"Terserah lo, deh." Salsha menyudahi perdebatannya dengan Dinda dan berdiri dari bangkunya. "Daripada debat nggak bermutu sama lo, mending gue nganterin bubur ayam ini sama Farel. Biar dia tertarik dan balas perasaan gue!"
Dinda hanya geleng-geleng melihat tingkah Salsha. Sudah di tolak berkali-kali pun lantas tak membuat Salsha menyerah. Ia terus saja mengejar Farel yang jelas-jelas menyukai Bella.
Tepat di samping bangku Aldi, Salsha berhenti. Ia menatap Aldi dengan senyuman sinis dan memegang bubur ayam yang ia bawa dengan keras.
"Buat Farel!" kata Salsha sekali lagi agar terdengar oleh Aldi. Selanjutnya Salsha mengibaskan rambutnya dan pergi dari tempat itu.
Sementara Aldi hanya tersenyum geli. Salsha membeli bubur itu dan memberikannya kepada Farel. Benar-benar cewek murahan!
*****
"Farel..."
Farel yang ingin masuk ke kelasnya menghentikan langkahnya saat mendengar seseorang memanggil namanya. Farel berbalik dan memutar bola matanya malas saat melihat Salsha sudah berada di depannya.
"Kenapa lagi?" sahut Farel malas.
"Kamu udah makan belum?" tanya Salsha dengan suara yang sengaja di buat manja. Bubur yang ia bawa, ia sembunyikan di belakang badannya.
"Bukan urusan lo." sinis Farel.
"Farel kok ngomongnya gitu, sih. Aku kan cuma nanya. Takutnya perut kamu sakit kalo belum makan."
Farel bergidik geli mendengar suara manja yang keluar dari mulut Salsha. Gadis itu benar-benar keras kepala. Sudah di tolak berkali kali tak membuat gadis itu menyerah.
"Lo ngapain sih nyamperin gue segala. Ada apa?" tanya Farel akhirnya.
"Ini-, aku bawain kamu bubur ayam," Salsha menyodorkan bubur ayam itu kehadapan Farel. "Buat kamu. Biar kamu nggak laper."
Farel diam tak bergeming. Ia tak mengambil bubur ayam dari tangan Salsha itu.
"Ambil dong." paksa Salsha.
Farel ingin menolak, tetapi saat tak sengaja melihat Bella berjalan dari lorong kelas membuat Farel mengurungkan niatnya dan cepat-cepat mengambil bubur itu dari tangan Salsha.
"Udah gue ambil, sekarang lo pergi!" sinis Farel.
"Seriusan diterima?" Salsha tersenyum girang. "Padahal aku pikir kamu nggak akan nerima itu. Aahhh senangnyaaa.."
"Iya, udah gue ambil. Jadi sekarang lo pergi." Farel mengusir Salsha. Ia memutar tubuh gadis Salsha dan mendorongnya.
Salsha tersenyum sedih. "Kok di usir, sih." namun sesaat kemudian senyum manis terpancar dari wajahnya. "Tapi nggak papa, yang penting makanannya di ambil. Jangan lupa di makan, sayang."
Salsha mengedipkan matanya genit dan melambaikan tangannya ke arah Farel dan pergi meninggalkan lelaki itu.
"Dasar cewek aneh" desis Farel.