"Gue nggak ngerampas milik lo, Sal," tantang Bella. "Karna nyatanya Farel nggak pernah jadi milik lo!"
Kini manik mata milik Salsha dan Bella beradu. Keduanya saling melempar tatapan permusuhan. Tidak ada lagi Bella yang sabar dan diam saat di bully. Sekarang Bella akan membalasnya.
"Berhenti buat rumor kalo gue ngambil hak milik lo. Farel nggak suka sama lo, Farel sukanya sama gue!"
Salsha maju satu langkah. Nafasnya naik turun. Emosinya memuncak mendengar ucapan Bella. "Jaga omongan lo!"
"Bahkan saat gue nolak Farel dan ngasih kesempatan lo buat ngejar dia, lo nggak bisa!" Bella tertawa mengejek. "Karena Farel cintanya sama gue, bukan sama lo!"
Salsha murka, ia melayangkan satu tamparan tepat di pipi kanan Bella. Amarah yang ia tahan dari dulu akhirnya meluap.
Bella mengusap wajahnya yang terasa sakit. Tamparan Salsha cukup keras. Tapi Bella tak ingin menunjukkan kelehamannya di depan Salsha.
"Lo ngomong seoalah-olah lo nggak pernah ngerampas kebahagiaan gue. Lo selalu rampas kebahagiaan gue, cewek ular."
"Lo mau bahas masa lalu?" Bella tertawa jahat. "Lo mau ingatin ke gue kalo lo itu sadgirl yang cintanya selalu di tolak sama cowok?" tantang Bella.
Hal yang seharusnya tidak perlu di ingat dan di perdebatkan lagi akhirnya harus di bahas. Salsha yang selalu mencoba untuk mengungkapnya ke permukaan.
"Kalo lo masih terus-terusan stuck disitu, kapan hidup lo mau maju?" Bella berkata dengan tegas. "Harusnya dari situ lo mikir, kalo apa yang lo harapkan nggak selamanya bisa jadi milik lo."
Dinda keluar dari toilet dan ingin menampar Bella, tapi dengan cepat Bella dapat menangkisnya. Bella menatap Dinda tajam. Dinda tidak tahu bagaimana masalah yang sebenarnya.
"Lo nggak usah ikut campur, lo nggak tahu apa-apa," sinis Bella.
"Lo bermasalah sama Salsha, artinya lo bermasalah sama gue!"
Bella menarik sudut bibirnya ke atas. "Pantas Indonesia nggak maju-maju. Pikiran masyarakatnya kayak lo berdua, dangkal!" Bella menatap Dinda dan Salsha bergantian. "Gue udah capek ya, Sal. Gue capek selalu lo bully, lo sindir terus-terusan. Gue diam aja, bukan karena gue takut sama lo, tapi gue mikir kalo gue nggak ngerespon sindirin lo, lama-lama lo bakal capek. Tapi nyatanya makin gue diemin, makin lo ngelunjak!"
Salsha terdiam tapi nafasnya memburu. Bella semakin bertingkah kurang ajar.
"Gue masih ngehargain lo sebagai sahabat gue..."
"Gue nggak sudi punya sahabat penghianat kayak lo!" potong Salsha dengan cepat sebelum Bella melanjutkan ucapannya.
"Gini deh, gue persingkat aja." Bella menyerah. Ia ingin mengakhiri obrolan panas ini. "Farel itu nggak pernah cinta sama lo, Sal. Farel cintanya sama gue, kebetulan gue juga punya perasaan yang sama ke Farel. Salah gue dimana disitu? Kecuali kalo Farel juga cinta sama lo dan gue ngerebut, gue caper sama Farel baru gue salah. Biar lo ngerti, kata kasarnya gini, Biarpun gue nggak ada di tengah-tengah lo dan Farel, Farel nggak akan pernah cinta sama lo. Cinta lo bertepuk sebelah tangan, ada atau nggak ada gue!"
Setelah mengatakan kalimat sakit itu, Bella pergi meninggalkan Salsha dan Dinda.
Airmata Salsha menetes. Semua kata-kata yang Bella ucapkan adalah kebenaran, tapi Salsha tak suka kebenaran itu. Kebenaran jika orang yang ia cinta tidak pernah mencintainya dan keberanian bahwa Bella selalu mendapatkan apa yang ia mau.
"Bangsat!" maki Salsha sembari mengusap airmatanya.
Dinda yang tak mengerti pembicaraan mereka pun bertanya dengan polosnya. "Lo pernah sahabatan sama Bella?"
Salsha menatap Dinda tajam. "Diam!"
*****
Bella menghapus airmatanya yang tak sengaja mengalir. Ia tahu kata-katanya barusan telah menyakiti hati Salsha. Bella pun terpaksa mengatakan itu. Ia capek selalu di salahkan dan di sudutkan. Seolah-olah apa yang ia lakukan selalu salah dimata Salsha.
Bella menghela nafasnya, dan mengukir senyum palsu di bibirnya. Ia tak mau, Aldi ataupun temannya yang lain tahu jika ia menangis atau tentang permasalahannya tadi dengan Salsha. Bella tak mau hubungan keduanya semakin keruh.
Bella memasuki kelas dan tersenyum ke arah Aldi. Kemudian ia duduk di bangkunya. Aldi yang sedari tadi menunggu Bella pun segera menghampiri gadis itu.
"Lo darimana aja sampe telat hampir setengah jam gini. Untung gurunya nggak masuk."
"Lo kangen sama gue? Padahal baru bentar aja gue tinggal udah kangen aja." Bella menggoda Aldi.
"Ngaco lo." Aldi terkekeh. "Tapi serius, lo darimana aja?"
Bella berpikir sejenak, Aldi begitu perhatian kepadanya. Apa kehadiran Aldi di sampingnya juga membuat Salsha cemburu. Apa Salsha juga tidak suka jika ia dekat dengan Aldi. Bella segera menepis pikiran buruk itu. Tak mungkin Salsha cemburu jika Aldi yang dekat dengannya.
"Makan di kantin sama Farel," jawab Bella. "Harusnya gue yang nanyak sama lo, lo kemana aja. Gue tungguin di kantin lo nggak dateng."
"Rooftop. Gue nggak mau ganggu momen lo sama Farel. Momen yang lo nantikan, 'kan?" ledek Aldi kepada Bella.
Pipi Bella merona dan ia pun memukul pelan lengan Aldi. "Nggak ihh, apaan sih Aldi nggak jelas banget."
Melihat pipi Bella yang merona membuat Aldi semakin menggodanya. "Iya 'kan? Ciee yang bentar lagi bakal jadian sama Farel. Gue tunggu pajak jadian lo. Awas aja kalo lo nggak neraktir gue."
"Ihh apaan sih." Bella menutup mukanya dengan tangannya. Merasa malu mendengar godaan Aldi.
"Lo harus ingat, gue yang udah bikin lo maju buat nerima Farel. Awas aja kalo lo lupa sama gue."
"Tadi lo sama siapa di rooftop?" tanya Bella mengalihkan pembicaraan.
Aldi menaikkan sebelah alisnya. "Lo ngalihin pembicaraan?"
"Ihh jawab," desak Bella.
"Sama Dhika," jawab Aldi. "Trus di ajakin main basket sama dia."
"Dhika?" beo Bella.
Aldi menggangguk. "Anggota basket juga, 'kan?"
Bella juga mengangguk. "Temannya Farel juga." Bella ingat satu hal tentang cowok yang bernama Dhika itu. "Mau gue kasih tau rahasia?"
"Rahasia apa?" tanya Aldi penasaran.
Bella melirik ke sekitar dan belum menemukan Salsha di kelasnya. Bella mendekati Aldi dan berbisik di telinga lelaki itu. "Dhika kayaknya suka sama Salsha."
Aldi terkejut mendengar ucapan Bella. Aldi pikir tidak akan ada lelaki yang menyukai Salsha karena sifat gadis itu. Tapi Dhika? mungkin Dhika perlu di bawa berobat untuk memeriksakan hati dan matanya.
"Lo serius?"
Bella lagi-lagi mengangguk. "Belum pasti, sih. Tapi gue sering nggak sengaja mergokin Dhika ngelirik Salsha terus. Pas gue tanya, Dhika malah malu-malu kucing."
Satu fakta yang mengejutkan Aldi. Dhika bisa menjadi orang yang pas untuk Salsha melupakan Farel dan membiarkan lelaki itu bahagia dengan Bella. Mungkin Aldi bisa membantu Dhika untuk dekat dengan Salsha.
Aldi melihat Salsha memasuki ruangan dengan wajah sembab. Aldi ingin bertanya tentang apa yang menimpa gadis itu tapi Aldi tau situasi, tak mungkin Aldi bertanya di ruangan yang banyak orang seperti ini. Aldi tak mau teman-temannya heran kepadanya, karena selama ini Aldi hanya dekat dan peduli dengan Bella.
"Sal," panggil Aldi.
Salsha menatap Aldi dengan tatapan bertanya. "Apa?"
"Ntar siang kita kerja kelompok di cafe Drazz. Lo bisa 'kan?"
"Kenapa mendadak gini, sih." Salsha menolak. Ia tidak mau bertemu dan satu meja dengan Bella, si gadis ular.
"Terserah lo mau datang atau nggak. Bella sama Dinda juga udah setuju. Kalo lo nggak datang, nama lo nggak akan di tulis di cover," ucap Aldi mengancam.
Salsha menatap Dinda yang hanya menyengirkan bibirnya pertanda gadis itu sudah tahu perihal kerja kelompok nanti.
Oh ya Tuhan, Tolong bantu Salsha!