Aldi mengisap rokoknya lamat-lamat. Aldi bukan lelaki yang perorok berat, ia merokok jika sedang ada masalah saja. Seperti saat ini, hubungannya dengan Tania sedang di ujung tanduk. Gadis itu selalu memintanya untuk menghubunginya setiap saat, padahal Aldi punya kesibukan lain sekarang. Tania menjadi pacar yang pencemburu, posesif, selalu marah-marah. Membuat Aldi kadang berpikir untuk mengakhiri hubungan mereka. Bukan karena Aldi sudah tidak punya perasaan lagi kepada Tania, hanya saja Aldi tidak mau hubungannya masuk ke dalam hubungan yang toxic.
Aldi menghela nafasnya. Jika saja perjodohan ini tidak pernah ada, Aldi tak harus jauh dari Tania dan hubungannya akan tetap baik-baik saja. Namun sekarang semuanya sudah terlanjur, Aldi tak bisa menyesalinya lagi.
"Tania-Tania, coba aja lo sabar. Padahal cuma tiga bulan. Gue juga nggak akan jatuh cinta sama cewek bodoh kayak dia," ucap Aldi pelan.
"Disini nggak boleh ngerokok. Dendanya berat, bisa di keluarin dari sekolah."
Aldi mengangkat wajahnya dan melihat seorang cowok tengah berdiri di depannya. Aldi mengernyitkan keningnya, ia kenal muka lelaki itu tapi tidak dengan namanya.
"Lo siapa?" tanya Aldi.
"Gue Dhika." Lelaki itu mengulurkan tangannya. "Lo murid baru yang beberapa hari ini nempel sama Bella, 'kan?"
Aldi terkekeh kecil mendengar ucapan lelaki yang bernama Dhika itu. Selain Bella, baru Dhika orang yang mau menyapanya. Aldi memang bukan tipe orang yang sok kenal atau ramah kepada orang lain. Ia tidak suka mencari kawan. Ia lebih suka berteman dengan satu orang yang berkualitas daripada banyak tapi hanya sebagai beban. Di sekolah lamanya pun Aldi hanya memiliki satu sahabat, Iqbaal namanya.
"Gue Aldi." Aldi membalas uluran tangan Dhika itu.
Dhika duduk di samping Aldi dan menatapnya. "Buang rokok lo, atau gue aduin ke guru Bk."
Lantas Aldi pun membuang rokoknya. Aldi memang tahu jika merorok adalah pelanggaran berat di sekolah. Tetapi kemana lagi ia lari jika ia punya masalah.
"Lo lagi ada masalah?" tanya Dhika.
Aldi mengangguk pelan. "Cuma masalah spele."
"Daripada lo disini ngerokok, terus ketahuan sama guru. Mending lo main basket sama gue," ajak Dhika.
Aldi berpikir sejenak. Apa yang Dhika katakan memang benar. Selain rokok, basket adalah salah satu pelariannya. Dan tanpa berpikir panjang lagi Aldi mengangguk. Lagipula ia sudah lama tidak bermain basket. Ia ingin menguji kemampuannya basketnya.
"Yuk."
******
Farel menatap Bella yang tengah menyantap makanan di depannya. Farel tak pernah berfikir akan bisa duduk berdua seperti ini dengan Bella. Sebuah hal yang baik untuk hubungannya dengan Bella. Jika seperti ini, ia yakin secepatnya Bella akan jadi miliknya.
Bella yang merasa diawasi pun menghentikan makannya dan menatap Farel aneh. "Kenapa, Rel? Ada yang aneh sama aku?"
Farel tersadar, ia segera menggelengkan kepalanya. "Nggak, kok. Aku cuma ngerasa senang aja bisa makan bareng gini sama kamu."
"Apaan sih, Rel. Padahal cuma biasa aja," kata Bella lembut.
"Ini nggak biasa, Bel. Bisa ngobrol dan makan gini sama kamu itu sebuah anugrah buat aku. Aku senang banget kamu udah mulai mau nerima aku, nggak kayak kemaren-kemaren ngehindar terus."
Bella menundukkan kepalanya, semburat merah menghiasi pipinya. Bella juga merasa senang bisa seperti ini dengan Farel. Meski rasa ragu masih menghiasi hatinya, tentang bagaimana perasaan Salsha tapi tak bisa di pungkiri, Bella sangat merasa senang sekali.
"Kamu nggak akan ngehindari aku, kan?" tanya Farel lagi.
Bella menggeleng. "Nggak, kok."
Farel lega, satu langkah lagi untuknya bisa memilih Bella. "Nanti siang pulang bareng, mau?"
"Kayaknya nggak bisa deh, Rel." Bella menolak. "Nanti siang aku mau kerja kelompok sama Aldi, Salsha, dan Dinda."
"Kerja kelompok dimana?"
"Di cafe Drazz."
"Aku anter kamu ke cafe, pulangnya aku jemput, ya. Aku nggak mau kamu kenapa-napa."
Perhatian Farel seperti inilah yang membuat Bella cepat luluh. Ia tidak pernah di perlakukan seperti ini oleh orang lain sebelumnya. Ia merasa di istimewakan.
"Iyaa."
Semua pergerakan dari Bella dan Farel tidak lepas dari Salsha. Ia memperhatikan gerak-gerik Bella yang sok manis di depan Farel dan mengepalkan tangannya. Ia muak, semua orang suka dengan Bella, semua orang mengejar-ngejar Bella. Padahal Bella tak lebih dari gadis munafik yang selalu merampas kebahagiaan orang lain.
"Si Bella caper banget, ya."
Dinda juga ikut mengawasi Bella dari tadi. Awalnya ia ingin mendekati Aldi mumpung Bella tidak ada di samping lelaki itu. Tetapi Salsha mencegahnya. Karena tak tega kepada Salsha akhirnya Dinda mengalah dan menemani Salsha untuk memata-matai Bella.
"Kalo gue jadi lo udah gue maki tu cewek," kompor Dinda.
"Mulut gue udah nggak tahan mau ngomong kasar sama tuh cewek ular. Tangan gue juga udah gatal banget." Salsha mengepalkan tangannya. Kalau menuruti amarahnya, Salsha bisa saja mendatangi Bella dan menjambak rambut gadis itu. Tapi Salsha memikirkan dampaknya, Farel bisa saja memarahinya dan semakin membencinya.
"Gue bakal bantuin lo buat ngelabrak dia," seru Dinda bersemangat.
Jika perkataan sindiran tidak bisa membuat Bella sadar, mungkin tamparan yang akan menyadarkan gadis itu. Kali ini Salsha tidak main-main..
*****
"Bella!"
Bella menghentikan langkahnya dan berbalik, menatap heran Dinda yang memanggilnya.
"Kenapa, Din?"
Dinda menarik tangan Bella. "Temanin gue ke toilet dong, gue kebelet, nih."
Bella merasa aneh, tidak biasanya Dinda seperti ini. "Salsha mana?"
"Salsha udah balik ke kelas." Dinda semakin menarik tangan Bella. "Pliss, gue kebelet, nih."
Bella mengangguk dan mengikuti langkah Dinda. Dinda tersenyum dalam hati. Sebelumnya Dinda sudah bersekongkol dengan Salsha untuk mengerjai Bella. Dan ini adalah waktu yang pas.
"Lo tunggu disini, gue masuk dulu."
Bella mengangguk. Dinda pun masuk ke dalam toilet dan menghubungi Salsha.
Tak berapa lama, Salsha datang dengan wajah penuh amarahnya. Salsha memandang jijik Bella yang sok polos tapi munafik.
"Bangsat lo!"
Bella terkejut melihat kehadiran Salsha di depannya. Bella tahu apa salahnya, tapi kali ini Bella tidak akan mau mengalah lagi.
"Lo emang nggak pernah berubah, ya. Masih suka ngambil milik orang lain." Salsha berkata dengan penuh amarah. "Hidup lo nggak bahagia kalo nggak ngerampas milik orang lain?"
Bella sudah tidak tahan lagi. Cukup selama ini ia diam dan seolah-olah memang ia yang salah. Kali ini, Bella harus tegas. Ia tidak mau kehilangan orang yang ia cintai lagi hanya karna rasa kasihan dan rasa bersalahnya kepada Salsha. Bella juga merasa tidak merebut Farel dari Salsha. Bella menyukai Farel dan kebetulan juga Farel menyukainya. Ini tidak akan hubungannya dengan merampas. Farel bukan milik Salsha.
"Gue nggak ngerampas milik lo, Sal," tantang Bella. "Karena nyatanya Farel nggak pernah jadi milik lo!"