Semenjak pengunduran dirinya, Natasha pergi tanpa jejak. Kosannya mendadak dikosongi, Natasha jarang berangkat sekolah karena telah menuntaskan ujian nasionalnya. Dia hanya perlu menunggu untuk kelulusan dan mengambil surat-surat nya, tetapi itu juga belum diambil oleh Natasha.
Raga mencari kemana-mana, ke tempat yang menurutnya sering dikunjungi Natasha. Kosan, rumah, apartemen, sekolah, dan tempat yang dulu pernah dijadikan tempat kerja Natasha.
"Dia tidak ada," gumamnya.
"Ah, saya wali dari Natasha bu. Saya kemari hendak mengambil surat-surat milik Natasha,"
Raga memutuskan untuk mengambil surat-surat itu.
"Ah, begitu pak. Saya selalu guru dari Natasha ingin mengatakan bahwa selama bersekolah disini, Natasha benar-benar anak yang mudah bersosialisasi dan ceria, seraya prestasi yang dia torehkan untuk bersekolah disini sangat banyak. Tetapi beberapa bulan terakhir dia banyak menunggak soal uang sekolah, jadi surat ini belum bisa kami berikan,"
Raga menatap sosok guru Natasha di hadapannya.
"Dan satu masalah lagi, saya mendengar kabar pembullyan oleh anak-anak sekolah kami, dan saya meminta Natasha untuk datang dan mencoba membuat yang membully tadi meminta maaf, tetapi nomor Natasha yang sering digunakan untuk kami menghubunginya mendadak tidak bisa. Jadi, saya sebagai perwakilan dari anak murid saya, meminta maaf atas kejadian tersebut,"
Raga bergumam, "Pembullyan?"
"Saya akan mengurus administrasi nya, dan siapkan surat-surat itu," ucapnya. Raga pergi ke bagian administrasi, yang ada di ruangan berbeda.
Raga tidak tau kenapa dia melakukan ini, tetapi saat mengetahui Natasha dan masalahnya membuat hati nuraninya terbuka. Dia tidak harusnya kasihan dengan Natasha, sebenarnya. Raga juga tidak tau kenapa dia mencari gadis itu, hanya secara naluri dia kehilangan Natasha dan itu berjalan dengan sendirinya. Mencari Natasha, itu bahkan sudah berjalan berhari-hari.
Saat sedang mengurus administrasi dan mengambil surat ijazah milik Natasha, Jeno datang. Meski Raga tidak tau bahwa Jeno adalah teman Natasha, dia hanya sepintas melihat dan memanggil.
"Permisi,"
Jeno menoleh, dia berperilaku sangat sopan, Jeno adalah gambaran lelaki impian dengan postur tubuh yang tampan dan tinggi badan yang mendukung.
"Apa kamu mengenal Natasha?"
Jeno berpikir, apa Natasha temannya? Ya benar, pria ini yang diberitahukan oleh Natasha agar tidak memberitahukan perihal dimana dirinya berada.
"Natasha kelas MIPA 1 ya pak? Saya kurang tau karena saya hanya menemani orng tua disini untuk mengambil rapot kakak saya," sahutnya.
Jeno masih pantas untuk mempunyai kakak kelas 12, masih pantas karena wajahnya memang baby face.
"Oh, yasudah terimakasih,"
Jeno berlalu, dia mengecek ponselnya terdapat beberapa panggilan dari Natasha.
***
Natasha memang sudah berhubungan dengan Jeno akhir-akhir ini, dia butuh Jeno untuk informasi tentang pekerjaan dan Jeno dengan meluangkan waktunya yang memang tidak terjadwal untuk mencarikan Natasha pekerjaan. Ingat saja bahwa kekayaan keluarga Jeno tidak akan habis bahkan tujuh turunan sekalipun, orang tuanya sudah menjamin anak-anak dan cucu-cucunya nanti tidak akan kesusahan sepi dirinya.
"Gimana kalau kita buka usaha?" tanya Jeno saat panggilan tersambung.
'Jen, aku gak ada bakat buka usaha' sahut Natasha di sebrang.
Jeno mengangguk setuju, dia juga tidak bisa membuka usaha. Lagipula usaha apa yang bisa dia jalankan.
'Jen, lo kan ganteng,'
Jeno memiliki firasat yang tidak enak saat ini.
'Buka cafe aja, gue bisa bikin coffe terus masakan gue gak parah parah banget masih bisa belajar. Nah, lo yang bagian promosi tuh, pake muka lo. Lo kan ganteng, manfaatin dikit,"
Jeno tersenyum, "Makasih loh, gue tau gue ganteng," sahut Jeno, Natasha mendengkur di akhir. Bukan itu yang dia maksud, tetapi benar saja bahwa Jeno adalah pria yang tampan. Sudah diberitahu bahwasanya Jeno adalah tipikal boyfriend material, dia sangat tampan.
"Oke, jadi gue bagian promosi?"
Natasha berdeham, 'Mau mulai kapan, bulan depan?'
"Hari ini juga bisa, ada duitnya. Gue ada tempat kalau gak salah, tar gue tanya orang tua gue tempat yang kosong dimana,"
'Wah, memang Jeno adalah orang kaya'
Jeno tertawa, "Sharelock aja sekarang, gue lagi di sekolah urus surat-surat. Nanti gue otewe ke sana,"
Jeno tidak tau tatapan Raga bisa saja melubangi tubuhnya sekarang.
Raha memperhatikan Jeno sedari tadi dan bodohnya Jeno menelpon saat sudah lolo dari hadapannya dan memanggilnya Natasha lumayan kencang untuk terdengar olehnya. Jeno bodoh.
***
Natasha mengirimkan alamatnya pada Jeno, dia membersihkan tubuhnya dan merapihkan keadaan rumahnya. Natasha dengan banyak koran berserakan, meski dia tidak pernah membaca koran tetapi banyak yang bilang lowongan pekerjaan terkadang ada di koran sepatu itu. Tetapi tidak ada yang Natasha pilih sesuai dengan inginnya.
"Jeno datang kirakira satu jam lagi," gumamnya.
Natasha pergi ke lemari es, disini ada lemari es, Natasha memutuskan untuk memakai itu dan membayar tagihan listrik saat sudha memiliki pemasukan. Dia melihat ada bahan makanan apa, sudah satu minggu Natasha di rumah. Pastinya dia menyetok beberapa bahan makanan.
"Kapan aku beli daging?" gumamnya, Natasha tidak ingat membeli makanan mahal itu kapan. Makanan favorit nya.
"Ditumis aja mungkin, bikin sedikit makanan, ambil cemilan, dan minuman. Ada beberapa minuman kaleng," Natasha menghabiskan sisa uangnya untuk membeli bahan makanan, agar dia tidak meninggal karena kelaparan.
Natasha, ponselnya berbunyi saat dia sedang masak. Dia berhenti sejenak mengecilkan kompor, kemudian dia mengambil ponselnya. Panggilan masuk dari Jeno.
'Dimana Nat?' tanyanya saat panggilan tersambung.
"Atas, bentar. Ini rumahnya di atap, liat kan?"
Natasha mematikan kompornya kemudian berlari ke depan, dia melambaikan tangannya saat melihat mobil yang Jeno tumpangi untuk menuju ke rumahnya.
"ATAS!" Natasha berteriak ke bawah, dia lupa ini perkampungan. Dia menutup mulutnya memancing tawa Jeno, dia sangat manis.
Natasha melambaikan tangannya ke arah Jeno, tetapi wajahnya langsung berubah saat menatap mobil dibelakang kendaraan milik Jeno.
"Raga," gumamnya.
"HALLO!"
Natasha mengubah wajahnya lagi menjadi ceria meski canggung.
"Kenapa?"
Natasha menggeleng, "Hallo!" Jeno memberikan pelukan pada Natasha.
"Gimana-gimana, lo baikan? Bagus gak tempatnya?"
Natasha berpikir, kemudian tersenyum.
"Baikan, beberapa hari ini gue agak ngerasa lebih sehat, dan gila lo cariin rumah buat gue? Gue kira itu kosan parah, bu kosnya juga baik banget. Kane pokonya dah,"
Jeno mengangguk gemas, dia mengacak rambut Natasha. Natasha mencoba untuk sesantai mungkin, dia dan Raga tidak memiliki hubungan apapun.
"Gas masuk, gue udah masak. Tapi keknya, gue tinggal, bentar kompor nya udah gue matiin belum?" Natasha dan Jeno langsung saling melihat satu sama lain sebelum bermain masuk mengecek kompor yang belum pasti sudah dimatikan, padahal Natasha sudha mematikannya tadi.
"Gila, kalau belum dimatiin bisa mampus lu, Nat!"
Keduanya tertawa bersama, Natasha mulai melupakan keberadaan Raga dibawah. Dia hanya perlu menjauh dari Raga bagaimana pun caranya, tidak hanya Raga yang akan merasakan sakitnya jika memang pria itu paham bahwa Natasha menyukainya, begitupun dengan Natasha
Mereka berada di sudut yang sama untuk memastikan ego siapa yang akan membuat salah satu diantara mereka jatuh terlebih dahulu. Ini lebih baik daripada harus terus berada saling dekat.