"Kalau begitu, kamu tidur di kamar tamu, yah! Kamu ikuti aku dari belakang!" ajak Farisha, setelah mendengar cerita dari Usman.
"Iya, Tante. Aku di mana saja yang penting bisa tidur." Usman menurut dan mengangguk. Ketika Farisha mengajaknya, ia bawa pakaian basahnya juga.
Usman mengikuti wanita itu dari belakang. Farisha yang sekarang memakai pakaian seksi, dengan bokong yang besar, melenggak-lenggok seperti model atau catwalk, membuat pemuda itu menelan salivanya. Wanita itu berjalan menuju ke sebuah kamar yang ditujukan untuk Usman.
"Nah, kamu tidurnya di sini saja! Di dalam ada kamar mandinya. Besok berangkat kerja lagi. Kamu masih punya orang tua, kan?" Sebelum benar-benar menikah, ia ingin mengetahui kalau pemuda di depannya masih punya orang tua atau tidak. Tapi kalau status, sudah jelas masih jomblo. Tidak perlu ditanyakan lagi.
"Aku dari kecil sudah hidup sendirian, Tante. Nggak tahu bapak sama ibuku. Kata paman, mereka sudah mati," balas Usman jujur.
"Oh, kamu mau bawa pamanmu saat nikah? Eh, tapi sebaiknya enggak usah, deh! Lagian kita hanya menikah sementara saja! Sampai aku memutuskan untuk menceraikan kamu. Hemm ... bagaimana kalau kita bikin kontrak?"
Farisha menolah ke kanan dan ke kiri, masuk ke dalam kamar Usman. Ia menutup pintunya dari dalam, mengunci juga. Ia tidak ingin orang lain mendengar perkataannya. Menikah itu adalah hal yang tabu baginya. Apalagi ia tidak ingin seumur hidup tergantung dengan lelaki manapun. Tidak ingin diperbudak seperti ibunya.
Wanita itu berjalan menuju ke depan tempat tidur. Lalu ia menjatuhkan bokongnya di tepian ranjang. Menatap Usman yang melihat-lihat kamar. Kamar yang sekarang Usman lihat begitu mewah. Membuat dirinya dalam ketakjuban.
"Kamu duduk, di sebelah sini! Kita bisa diskusikan masalah ini sekarang, yah? Lagian ini masih belum malam banget." Setelah memutuskan, ia ingin berbicara berdua dengan calon suami pura-puranya.
Usman menuruti perintah Farisha. Ia duduk di sebelah wanita yang akan menjadi istrinya. Walau harus akui, ia hanya akan menjadi suami pura-pura. Tapi melihat Farisha yang memiliki kecantikan dan bentuk tubuhnya yang menggoda kaum lelaki, dirinya sudah senang.
"Kontrak apa, Tante?" tanya Usman. Ia tidak tahu maksud dari wanita itu. Ia duduk pun grogi, tidak berani menatap lama-lama. "Maksudku, anu ... maaf ... aku nggak tau," ungkapnya bingung.
Farisha menghela nafasnya. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua pada lelaki yang bodoh itu? Dirinya pun tidak memikirkan ini sebelumnya. Memiliki suami yang bodoh, ia antara senang dan tidak senang. Satu sisi, ia bisa memanfaatkan kebodohannya. Do sisi lain, ia bingung, bagaimana ia harus menjelaskan sampai mengerti.
"Huhh ... sabar, Farisha," ucapnya lirih sambil mengambil nafas dalam. "Jadi gini–" Ia berhenti berbicara, menatap ke arah Usman yang mencuri-curi pandang ke arahnya.
Saat Farisha menatapnya, Usman mengalihkan pandangannya ke depan. Usman tidak berani menatap wanita di sampingnya. Bagaimana kalau ia ketahuan, dirinya sih suka melihatnya. Tapi ia tidak boleh mengatakannya, bisa-bisa dirinya mencari orang lain, dan ia juga diusir olehnya.
Sebelum melanjutkan ucapannya, Farisha membetulkan duduknya, bokongnya terasa tidak nyaman duduk di tepi ranjang itu. Ia mengangkat kaki kanannya, meletakkannya di paha kirinya, membuat Usman yang melirik pun menelan kembali salivanya.
"Kita lakukan tanda tangan kontrak pernikahan, Usman! Pada intinya, ada kertas yang berisi aturan tertulis, yang kemudian kita tanda tangani. Bagi siapa saja yang melanggarnya, bisa dibawa ke meja hijau," ujar Farisha memberi keterangan.
"Meja hijau itu, apa ada makanannya? Kok mejanya hijau?" tanya Usman bingung. Yang dalam pikirannya adalah meja hijau yang biasanya ada di meja prasmanan di acara nikahan atau sunatan.
"Aduh, mengapa kamu bodoh banget, sih? Sebenarnya otak kamu ada di mana? Dengkul, hah?" decaknya kesal. Ini yang membuatnya kesal, pemuda itu memang tidak ada ngerti-ngertinya.
"Maaf, Tante ... aku memang nggak tau," balasnya lirih. "Aku memang bodoh." Usman mengambil nafas pelan. Tidak bisa membayangkan otaknya yang tidak tahu apa-apa, bisa-bisa nanti meledak.
"Ah, sudahlah ... percuma juga, kamu yang nggak tahu apapun. Kalau nggak tahu apa-apa, lebih baik nggak usah saja. Gini saja, kamu bisa menjamin, bisa menegang kata-kataku?" tanyanya tegas.
"Iya, Tante. Aku ... aku terlalu bodoh. Tapi apa yang Tante maksud? Memegang kata-kata? Di mana?" Tentu ia bingung, bagaimana ia memegang kalau nggak ada.
"Ya sudahlah ... aku sangat ngantuk. Kamu juga nggak mudengan juga. Hehh ... yang penting kamu nurut saja padaku, oke?"
"Iya, aku akan nurut apa yang dikatakan Tante. Aku janji. Tapi jangan usir aku, Tante. Aku pasti bisa belajar, apa yang belum aku tahu."
"Sudahlah ... kamu tidur saja! Aku mau kembali ke kamarku. Jangan lupa, besok kamu masih harus bekerja di swalayan!" tandas Farisha, bangun dari duduknya.
Usman melihat Farisha yang berdiri dari tempatnya duduk, melirik sedikit apa yang bisa ia lihat. Awalnya ia mendongakkan kepala, melihat rambut Farisha yang panjang, bervolume.
Wanita itu lalu menengok ke arah Usman, tanpa ekspresi di wajahnya, hanya menatap dengan pandangan serius. Terlihat wanita itu tegas dengan mata yang menyipit. Wajah yang ayu, dengan kulit berwarna putih langsat.
"Ingat! Kamu nggak boleh melanggar janji!" tegasnya sekali lagi. "Kamu harus ingat, walau nggak ada surat kontrak, kamu jangan macam-macam denganku. Kamu nggak mau, aku melakukan sesuatu yang membuatmu menderita, kan?"
Usman hanya mengangguk, galak sekali wanita itu. Bagaimana nantinya jika Farisha sudah menjadi istrinya? Tentu ia akan mendominasi semua hal. Usman menurunkan pandangannya, terlihat memar di leher ke bawah. Dagu wanita itu juga masih sedikit memar karena perlakuan Benny.
"Kamu lihat apa?" tanya Farisha karena Usman terus menatapnya tanpa berkedip. "Hah, kamu melihat ini, kan?" tunjuknya pada memar di lehernya. Tapi ia juga menyentuh dadanya, yang terlihat setengahnya. Karena Farisha memakai pakaian yang seksi malam ini.
'Itunya gede banget, apa aku boleh pegang, yah?' tanyanya dalam hati. Usman masih belum berkedip sampai beberapa detik.
Farisha tidak menyadari tatapan Usman pada tubuhnya yang lain. Ia membalikan badannya. Berjalan berlenggak-lenggok. Pandangan Usman menurun, melihat hotpants yang dikenakan Farisha, menunjukkan bentuk bokongnya yang lebar dan berisi.
Farisha membuka pintunya dan keluar dari kamar. Tinggallah Usman seorang diri. Masih memikirkan apa yang ia lihat barusan. Membayangkan bagaimana ia menyentuh dada atau bokong besar itu. Namun itu hanyalah khayalannya saja.
"Ah, kenapa kepikiran, sih? Tapi tante itu cantik dan badannya itu, hemm ... sudahlah, lebih baik segera tidur," kata Usman lalu melepas sepatunya. Ia risih juga kalau harus memakai sepatu. Karena ia tidak pernah memakai sepatu sejak tidak sekolah lagi.
"Malam ini harus istirahat yang cukup. Besok harus menjalani hidup yang masih berlanjut. Kuharap besok akan menjadi hari yang lebih baik lagi."
***