Chereads / I Love You, Salsha! / Chapter 27 - Chapter 26

Chapter 27 - Chapter 26

"Yaudah. Lo kerjain aja sekarang. Gue tunggu disini." putus Aldi. Ia beralih duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Ia membuka ponselnya dan mulai menonton video di youtube.

Salsha hanya geleng-geleng melihat tingkah Aldi itu. Ia juga merasa sedikit terhibur dengan kehadiran Aldi. Jika terus saja seperti ini, Salsha takut jika usaha melupakan Aldi akan berakhir sia-sia.

Salsha mulai merambat ke buku besar yang berisi kumpulan-kumpulan lukisan gaun. Kali ini, Salsha berniat melukis gaun pernikahan. Dengan lincah jarinya bermain halus di kertas itu.

Salsha bisa mendengar jika ponsel Aldi bergetar satu lagi. Ia menghentikan aktifitasnya itu dan mengamati Aldi. Lelaki itu tampak acuh dan kembali menonton.

Salsha yakin jika itu adalah pesan dari Kezia, "Pergi deh lo, itu majikan lo udah manggil."

Aldi mengernyit, "Majikan?"

"Iya, lo kan sekarang supirnya Kezia. Tuh, majikan udah nunggu. Pergi supirr," kekeh Salsha.

Aldi meraih kertas dan menggenggamnya menjadi sebuah bola kemudian melemparkannya mengenai kepala Salsha, "Kalo ngomong nggak pernah di filter, lagi."

Salsha meringis, "Kelakuan kayak supir, tapi nggak mau di bilang supir. Aneh."

Aldi hanya menghendikkan bahunya acuh. Memang tadi, Kezia mengiriminya pesan dan mengajak Aldi untuk makan siang bersama. Tapi Aldi hanya membacanya saja. Aldi tak ingin kebersamaannya dengan Salsha di ganggu.

Aldi bangkit dari duduk. Ia merenggangkan otot tangannya sembari berjalan mendekati Salsha. Aldi memperhatikan apa yang Salsha lukis.

"Gaun pernikahan?" beo Aldi, "Wah, bagus nih. Lo bisa bikin gaun pernikahan kita nanti." Aldi berkata dengan semangat.

Salsha hanya menatap Aldi tajam. Ini alasannya menghindari Aldi. Lelaki itu selalu membuatnya baper dengan kata-katanya. Nggak masalah jika Aldi mau bertanggungjawab. Tapi jika tidak, Salsha sendiri nanti yang akan sakit hati.

"Makan siang, yuk. Nggak capek apa kerja mulu. Harusnya masa muda itu di gunain buat senang-senang, bukannya malah kerja kayak gini."

"Bego," maki Salsha, "Kerja tuh pas muda, trus tuanya ninggal nikmatin hasil keringat. Lo bisa kerja apa kalo udah tua?"

Dua persepsi yang berbeda. Mereka ada dua kutub yang berbeda.

"Terserah lo, sih. Pokoknya sekarang makan dulu," paksa Aldi.

Salsha melirik jam tangannya. Sudah pukul satu siang. Salsha mengangguk, ia menutup buku itu dan membereskan mejanya. Kemudian ia meraih tas dan menentengnya, "Yaudah, yuk."

"Tinggalin tas lo dan kunci mobil lo kasih ke gue," titah Aldi. Ia menyodorkan tangannya.

"Buat apa?"

"Bawel! Siniin."

Salsha malas berdebat. Alhasil, ia meletakkan kembali tasnya dan memberikan kunci mobilnya kepada Aldi.

Aldi meraihnya dengan senyum manis. Ia memegang tangan Salsha dan menariknya keluar ruangan itu, "Kita make mobil lo. Soalnya bensin gue sekarat."

Salsha terkekeh dan menoyor kepala Aldi, "Pelit dasar."

***

Kezia meremas kasar ponsel di genggamannya. Ia sudah mengirimi Aldi pesan singkat dan sudah beberapa kali menelfon lelaki itu. Tapi hasilnya nihil. Aldi sama sekali tak bisa di hubungi.

Kezia ingin makan siang dengan Aldi, tapi ternyata, Aldi tak bisa di hubungi. Kezia takut jika sekarang lelaki itu malah pergi dengan Aldi. Kezia tak mau hal itu terjadi. Ia ingin Aldi menjadi miliknya seorang.

Dara, yang sudah beberapa hari ini tinggal di rumah Kezia hanya terkekeh pelan. Jika ia menjadi Kezia, ia tak akan rela menghabiskan waktunya untuk berpura-pura demi bisa dekat dengan Aldi. Karena menurut Dara, Aldi itu hanya cowok biasa dan tak ada spesialnya.

"Kenapa lagi, lo?"

Kezia mengalihkan pandangannya. Ia menatap Dara dengan tampang datarnya, "Gue nggak bisa di cuekin kayak gini. Gue mau, Aldi selalu ada disaat gue butuh."

"Aldi nggak tertarik sama lo!" terang Dara. Ia sudah sering berbicara blak-blakan dengan Kezia. Jika ia tak suka, ia akan langsung mengatakan tak suka.

"Gue nggak peduli! Yang penting gue bisa dekat terus sama Aldi."

"Egois," cibir Dara, "Ide gue kemaren udah lo lakuin?"

Kezia menggeleng jijik, "Gue nggak sudi pura-pura baik dan jadi teman Salsha. Cari ide lain aja."

"Itu udah cara yang paling ampuh," jelas Dara. "Dengan lo pura-pura baik dan jadi teman si Salsha itu. Gue yakin Aldi akan bersimpatik sama lo dan lo bisa dengan mudah dapatin Aldi.

"Gue nggak mau!" tolak Kezia tegas. "Gue nggak sudi temanan sama dia."

Dara hanya menghendikkan bahunya acuh. Kemudian ia menyusul Kezia yang berdiri di balkon kamarnya, "Tapi gue masih punya ide."

Mata Kezia berbinar indah, "Apa?"

"Lo bilang bilang ke Aldi kalo perusahaan nyokap lo bangkrut. Nyokap lo stres dan lampiasan ke lo. Lo sering di aniaya sama nyokap lo. Dengan begitu, gue yakin Aldi akan lebih peduli sama lo dan lupain Salsha." Dara berkata dengan senyum jahat di wajahnya. Ia yakin idenya akan berhasil.

Kezia balas tersenyum dan memeluk Dara. Ia juga menyunggingkan senyum jahatnya, "Lo emang sahabat gue yang bisa di andalkan."

***

Aldi membawa Salsha makan siang di salah satu restoran favorit di jakarta. Dan sekarang mereka sedang menikmati makan siangnya.

Salsha memotong steak daging dengan pisau dan memasukkan potongan daging itu kedalam mulutnya. Ia benar-benar merasa lapar karena tadi pagi ia belum makan apapun.

Aldi juga melakukan hal yang sama. Tapi bedanya, Aldi memakan steak itu dengan santai tak seperti Salsha yang tampaknya sedang terburu-buru.

Salsha tersedak karena kebanyakan makan. Aldi segera meraih gelas dan menyodorkannya ke arah Salsha. Salsha meraihnya dan menyeruput minumannya.

"Makanya pelan-pelan," kekeh Aldi.

"Gue laper. Lagian gratis juga," sahut Salsha acuh. Ia memasukkan lagi potongan dagingnya ke mulut.

Aldi menyudahi makannya dan mengusap bibirnya dengan tissu. Kini fokus Aldi beralih terhadap gadis di depannya ini.

"Sals, gue mau ngomong," katanya pelan. Masih ragu menyampaikan maksudnya.

"Ngomong apa? Ngomong aja kali."

"Mama mau ketemu," Aldi menarik nafas. Entah mengapa, ia merasa akan mendapat penolakan, "Mama ngajak makan malam dirumah."

Salsha tertawa terbahak-bahak. Ia meletakkan pisau dan garpu di atas piring. Kemudian ia menatap Aldi dengan geli, "Becanda lo keterlaluan."

"Gue nggak bercanda. Mama serius ngajak lo makan malam." Aldi berusaha menjelaskan.

"Lo lupa apa pura-pura lupa?" sengit Salsha, "Bahkan otak gue masih jelas merekam gimana sikap Mama lo pas gue main ke rumah lo. Mama lo nggak suka sama gue dan bahkan benci sama gue."

Aldi menggeleng, Mamanya sudah berubah, "Tapi Mama udah berubah. Dan dia pengen kenal lo lebih dalam."

Masih jelas terekam di memori Salsha bagaimana perlakuan Mellina kepadanya. Bagaimana sindiran dan makian yang di lontarkan kepadanya.

"Nggak mungkin secepat itu. Mama lo nggak mungkin bisa suka sama gue." Salsha masih keukeuh terhadap pikirannya.

"Salsha, Mama udah bisa nerima lo."

"Lo makin ngaco!" Tegas Salsha, "Mama lo pasti nggak terima batalnya pertunangan lo sama Katya. Dan gue yakin, Mama lo dendam sama gue."

"Terserah!" Aldi menyerah. Ia sudah tak tahu bagaimana cara meyakinkan Salsha, "Lo nggak mau kerumah?"

Salsha menggeleng singkat, "Gue belum siap di caci maki."

Aldi mengangkat kedua tangannya. Pasrah. Jika Salsha tak mau yasudah. Ia sudah mengatakan jika Mamanya telah berubah. Tapi Salsha tetap tak percaya.

"Habisin makanan lo. Nanti gue antar ke butik."

Salsha hanya mengangguk patuh kemudian kembali makan. Sementara Aldi hanya menatap gadis itu. Sekarang Salsha berubah jadi gadis yang keras kepala. Tak seperti itu yang penurut.

Sepuluh menit kemudian Salsha sudah selesai makan. Ia minum jusnya dan mengusap bibirnya dengan tissu, "Kita balik."

Aldi mengangguk. Ia berdiri dan berjalan terlebih dahulu. Salsha yang melihatnya hanya menghendikkan bahu acuh dan menyusul Aldi.

Bahkan sampai mereka berdua di perjalanan mau ke butik, Aldi hanya diam. Ia sama sekali tak berbicara lagi kepada Salsha. Melirik gadis itu pun Aldi tak mau.

Aldi memarkirkan mobil Salsha di tempat parkir. Tanpa kata apapun, Aldi turun. Salsha pun ikut turun dari mobil miliknya itu.

"Nih kunci mobil lo." Aldi menyerahkan kunci itu kepada Salsha. "Gue pulang dulu."

Salsha menatap kepergian Aldi dengan kening berkerut. Ia rasa ia tak melakukan hal yang bisa memacu kemarahan Aldi.

"Aneh. Gitu doang udah ngambek. Apa kabar gue yang selalu di kasih harapan palsu."