Saat sudah selesai menonton film bersama akhirnya Melvin memutuskan untuk segera pamit. Dia diantar oleh Alexa menuju lift dengan berjalan santai sambil bergandengan tangan.
"Apa kamu sedih?" tanya Melvin, melirik Alexa yang sejak awal dia pamit, sudah terlihat murung seakan tidak ingin mengakhiri kebersamaan mereka.
"Perpisahan akan selalu menyisakan luka, kesedihan, merasa kehilangan ... meski itu hanya sebentar," jawab Alexa sambil terus berjalan.
"Andai aku tau akan seperti ini jadinya, aku tidak akan pernah bersedia untuk pergi ke Thailand," gumam Melvin melirik Alexa kemudian berhenti karena sudah tiba di depan lift yang tampak sangat sepi. Dia memposisikan tubuhnya berhadapan dengan Alexa, kemudian menunduk memegang kedua tangannya. "Sudah jangan sedih. Aku pergi pasti juga akan kembali. Aku akan merindukan wajahmu yang cantik dan imut."
Alexa hanya menanggapi dengan tersenyum dan mengangguk namun semburat kesedihan tidak dapat tertutupi.
"Apa kamu ikut saja? Kita sambil jalan-jalan di sana." Akhirnya Melvin menawarkan solusi.
"Itu tidak mungkin. Aku memiliki tanggungjawab pekerjaan." Alexa tersenyum simpul dan menggelengkan kepalanya. "Pergilah. Aku tidak apa-apa."
"Tapi kamu sedih. Jujur saja aku tidak tega jika pergi dan ternyata kamu sangat tidak suka aku pergi," ucap Melvin dengan gusar, menyugar rambutnya sambil menatap Alexa dengan frustasi.
"Aku memang seperti ini. Aku terlalu mudah sedih tapi aku akan segera membaik. Aku akan selalu menelepon kamu saat aku sedang tidak sibuk," sahut Alexa dengan tersenyum meyakinkan. Dia bahagia memberanikan diri untuk berjinjit dan mencium pipi Melvin. "Ciuman penyemangat."
Melvin tersenyum merona dan segera menunduk membalas ciuman itu dengan mencium bibir Alexa. Secara refleks tangannya memegang tengkuk leher kekasihnya itu, membuat ciuman bibir itu semakin dalam.
"Emhhh ... Melvin, sudah," lirih Alexa memundurkan wajahnya tapi email Fin malah mendekatkannya lagi.
"Aku akan terus menciummu karena kamu kembali memanggilku dengan sebutan itu," sahut Melvin kembali menghujani Alexa dengan ciumannya. Dia nyaris mencium seluruh wajah Gadis itu dengan sangat gemas dan buas sesekali tersenyum geli melihatnya mencoba menghindari namun tidak bisa.
"Sayang, sudah ... cukup. Nanti ada yang melihat kita!" seru Alexa dengan kesal namun tersenyum geli.
"Nah, jika seperti itu sangat nyaman didengar," sahut Melvin menyelesaikan aksinya. Dia menghela napas lega tersenyum menatap Alexa yang sedang memperbaiki rambutnya yang agak berantakan.
"Lain kali jangan seperti ini. Aku malu jika ada yang melihat," seru Alexa dengan mengerucutkan bibirnya. Dia memang beruntung tidak ada orang selain dirinya dan Melvin, namun tentu saja ada kamera CCTV koridor itu yang jelas merekam kejadian dirinya berciuman dengan Melvin.
"Iya, Sayang. Maaf, aku terlalu gemas padamu," sahut Melvin membantu merapihkan rambut Alexa. Dia menatap lift yang terbuka. "Sekarang aku akan pergi. Jaga dirimu baik-baik dan jangan lupa untuk makan tepat waktu, istirahat dan hubungi aku jika sedang tidak sibuk," lanjutnya dengan tersenyum hangat.
"Ya ... hati-hati di jalan dan kabari aku jika sudah sampai," seru Alexa dengan tersenyum.
Melvin menghela napas, kemudian mencium kening Alexa, mengusap-usap kepalanya. Dengan langkah yang terasa berat, dia berjalan memasuki lift dan segera menekan tombol menuju lantai dasar, kemudian menatap Alexa yang melambaikan tangan ke arahnya hingga berlalu lenyap karena pintu lift itu sudah tertutup.
Terdiam dengan bahu yang bersandar pada dinding, itulah yang Melvin lakukan sembari menunggu lift terbuka. Pikirannya tertuju pada sikap Alexa sebelum mereka berpisah.
'Ya Tuhan. Aku merasa sudah membuatnya jatuh cinta padaku ... Dia begitu polos dan sangat takut aku tinggalkan. Semoga akan tumbuh cinta di hatiku untuknya, aku tidak akan bisa meninggalkan nya, aku harus bisa belajar mencintainya, membuang jauh-jauh rasa cintaku pada Joey. Joey sudah hampir menikah itu berarti aku harus benar-benar mencoba untuk merelakannya. Dia akan hidup bahagia bersama Dante dan aku akan mencoba untuk bahagia bersama Alexa.' katanya dalam hatinya, melamun membayangkan senyum Alexa yang begitu manis.
Pintu lift terbuka. Melvin segera berjalan menyusuri koridor hingga keluar dari gedung dan bergegas ke mobilnya yang terparkir. Saat akan masuk mobil, pria itu mendongak menatap arah balkon depan kamar Alexa. Dia pun merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel dan mencoba menghubungi kekasihnya itu.
"Hallo, Sayang."
"Hallo, kenapa menelpon? Apa ada yang tertinggal?" tanya Alexa dari telepon terdengar panik.
"Ya, tentu saja. Aku selalu tertinggal di hatimu," jawab Melvin dengan tersenyum menyandarkan bahunya pada body mobil. "Sekarang keluarlah ke arah baklon. Aku ingin melihat mu lagi sebelum aku pergi."
"Oke."
Hingga beberapa detik menunggu, akhirnya Melvin melihat Alexa yang melambaikan tangan ke arahnya dengan tersenyum. Dia pun membalas senyuman itu, membayangkan bahwa gadis itu adalah masa depannya karena dia sudah terlanjur menyeretnya ke dalam hidupnya.
"Aku akan sangat merindukanmu," ucap Melvin kembali fokus pada telpon.
"Eh .. aku juga," sahut Alexa terlihat malu-malu karena masih tersenyum menatap Melvin dari atas.
"Aku akan kembali secepatnya jika bisa. Sekarang aku harus segera ke bandara."
"Aku tau. Berangkatlah dan jangan terlalu ngebut."
"Iya, Sayangku. Aku pergi sekarang," pamit Melvin kemudian mencium ponsel itu dengan tatapan matanya yang masih terarah pada Alexa.
Alexa membalas ciuman jauh itu dan sambungan telpon pun terputus. Mereka saling melambaikan tangan hingga beberapa saat dan Melvin segera masuk ke mobil kemudian mengemudikannya menuju keluar area hotel.
___
Alexa menghela napas lega, kemudian kembali masuk ke kamar dan menutup pintu menuju balkon. Dia beralih duduk di tepi ranjang, mencoba menghubungi kedua orangtuanya yang sejak kemarin belum berkomunikasi dengannya.
"Hallo, ibu," sapa Alexa saat sudah terhubung dengan ibunya yang bernama Fani.
"Hallo, Nak. Bagaimana kabarmu, kamu sehat kan?" tanya Fani dari telepon.
"Ya, aku baik-baik saja, Bu," jawab Alexa dengan tersenyum merebahkan tubuhnya, mengingat momen manis beberapa jam yang lalu. "Bagaimana keadaan ibu? Apa masih sering batuk dan muntah darah?"
"Tidak, Nak. Ibu menggunakan uang darimu untuk mencoba pengobatan alternatif, dan sekarang ibu merasa lebih baik ... tidak harus ke rumah sakit untuk cek-up," jawab Fani dari telepon. Suaranya terdengar berat dan sekarang terdengar seperti sedang batuk.
"Ibu jangan berbohong. Ibu harus rajin cek-up ke dokter meski ibu sedang menjalani pengobatan alternatif. Itu sangat penting," seru Alexa dengan khawatir. Rasa bahagianya akibat kebersamaannya dengan Melvin pun sudah pudar berganti dengan rasa khawatir berlebihan pada ibunya.
"Ibu tidak ingin kamu mengeluarkan banyak uang lagi untuk pengobatan ibu. Kamu tidak perlu khawatir, ibu akan baik-baik saja."
Alexa menghela napas, beralih menyandarkan tubuhnya pada tumpukan bantal. "Andai aku bisa cuti, aku pasti bisa melihat keadaan ibu."
"Jangan sedih, Nak. Ibu baik-baik saja. Kamu fokus bekerja dan memikirkan masa depanmu saja. Jangan terlalu memikirkan beban masalah keluarga kita. Kamu berhak bahagia di usiamu yang seharusnya bersenang-senang dengan teman-temanmu, atau mungkin dengan pacarmu." Fani malah mengalihkan pembicaraan dengan membahas tentang pacar.
"Pacar?" gumam Alexa ... Dia berpikir, ibunya pasti mengatakan hal ini karena selama ini mengetahui bahwa dirinya selalu sendiri dan tidak memikirkan tentang asmara.
"Kamu sudah punya pacar, Kan? Jangan sampai kamu terlalu fokus pada keluarga, kamu jadi lupa untuk mencari jodoh."
"Eh ..." Alexa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa bimbang untuk mengatakan bahwa dirinya adalah pacar dari pria kaya raya.
"Kamu harus mencari pendamping hidup. Terimalah pria yang berani serius menjalin hubungan denganmu, bukan hanya sekedar berpacaran saja. Dan kamu harus memastikan dia adalah pria baik-baik ... sopan, tidak memandang mu dari segi fisik saja, tidak akan menghina keluarga kita yang miskin." Fani memberi nasehat, sesekali terdengar masih batuk.
"Iya, Bu. Itu pasti akan aku pikirkan," sahut Alexa dengan menekuk wajahnya, memikirkan apakah mungkin Melvin merupakan kriteria seperti yang ibunya katakan.