Chapter 3 - Anxiety

Pekerjaan menjadi seorang baby sitter memang bukanlah pekerjaan yang terlalu bagus. Tetapi apa jadinya bila yang kamu asuh adalah bayi dewasa? Dua tahun lebih muda dari dirimu.

Melati masih tidak habis pikir. Kenapa pria berumur 18 tahun harus membutuhkan perawat? Bukankah ia bisa melakukan segala sesuatu dengan sendiri? Ya, Melati masih mencerna apa yang dikatakan Yura ketika di pesawat beberapa jam yang lalu.

"Melati, bukannya dia tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Tetapi ada sebuah kecelakaan yang menimpanya, makanya dia butuh seorang perawat," jelas Yura, meski Melati masih membubuhinya dengan banyak pertanyaan.

"Perawat? Kan Ati bukan dokter, Kak. Mana bisa ngerawat orang sakit."

"Bukan merawat sepeti dokter, tetapi mendampingi. Ya seperti itulah."

"Dia memiliki suatu penyakit yang bernama Anxiety. Yang mana dia merasa terganggu atau memiliki kecemasan yang berlebihan bila mendengar suara mobil menyala, kebisingan dan suara teriakan."

Melati tiba-tiba terdiam dan merasa kasihan. Di usianya yang muda, ia harus menderita penyakit tersebut. Di mana saat orang seumuran tengah bermain dan berbincang bersama teman-teman, anak itu harus menjalani terapi.

Selain itu, pria yang bernama Devano itu juga mengalami buta untuk sementara dan tengah menanti pendonor untuknya. Tak habis-habis, Devano juga tidak bisa berjalan secara normal. Ia harus dibantu dengan tongkat supaya bisa keluar kamar.

Begitu banyak cobaan yang menimpa dirinya. Melati bersyukur masih diberi kesehatan dan kesempurnaan. Ia mengingat pesan yang disampaikan oleh kedua orang tuanya.

"Jangan lupa untuk selalu bersyukur ya, Nduk. Tidak semua orang bisa seperti kita sekarang ini. Mungkin dari segi materi kita kekurangan, tetapi dalam fisik alhamdulillaah kita sempurna, Nduk." Perkataan Ibunya kini menohok hatinya.

Karena Devano sedang ikut bersama neneknya, Melati bisa beristirahat untuk sejenak. Tiba-tiba perutnya keroncongan dan tidak tahu harus mencari makanan ke mana.

Ia terpaksa mengurung diri dan menahan laparnya. Sebab, tidak mungkin rasanya bila keluar dan langsung meminta makanan. Tidak etis dan tidak sopan.

Dari kejauhan, Melati melihat ada warung kecil. Ia tersenyum, dan meminta izin untuk keluar mencari makanan.

"Bi, antar saya keluar yuk?" ajaknya pada Surti, salah satu ART yang sedang tidak ada tugas.

Surti setuju, dia mengantarkan si gadis muda itu untuk pergi keluar.

Sesampainya di sana, Melati memesan sepiring nasi. Di sana ia melihat kota baru yang ia datangi.

"Owalah, Neng, kenapa enggak bilang kalau lapar? Padahal makanan sudah disediakan, tinggal ambil saja," seru Surti dengan logat jawanya yang khas.

Melati tersenyum malu mendengarnya. Dia beranggapan, sesekali makan di luar boleh ....

Suasana baru dan bertemu banyak orang baru. Jauh dari orang tua membuat Melati tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Tidak bergantung pada keadaan, memilih jalan yang ada dan tidak menyesalinya. Meski perih.

Seandainya saja ia masih sekolah. Mungkin sekarang Melati sudah menjadi mahasiswi di sebuah kampus. Dan jadi mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan pendidikan.

"Neng Melati, dipanggil sama Nyonya. Yuk pulang." Tiba-tiba salah satu ART bernama Surti, menghampiri dirinya yang sedang melamun. Menyela lamunannya dan mengajaknya pulang.

Melati membayar dan berjalan memasuki rumah besar bak istana itu. Sesampainya di sana, Melati dijelaskan tentang tugas yang nantinya akan dijalaninya. Kembali Melati masih dibuat ternganga saat masuk ke dalam rumah gedong itu.

Memang area kompleks pun nampak sekali mewahnya, tidak ada rumah yang tak berlantai dua dengan gerbang menjulang tinggi. Sangat tinggi. Keamanannya sangatlah ketat, sungguh pencuri tak akan bisa mendapatkan apa-apa jika di sini.

"Devano tidak suka suara yang berisik. Jika ia sudah mulai marah dan membanting benda sekitar, segera berikan obat ini." Wanita itu memberikan pil berwarna gelap itu kepada Melati.

Sedangkan gadis itu memperhatikannya dengan seksama, tersenyum.

"Ngomong-ngomong umurmu berapa Melati?" tanyanya untuk menghilangkan rasa gugup Melati.

"Dua minggu lagi masuk 20 tahun, Buk," jawabnya dengan lembut.

"Kamu sekolah tamatan apa?" Tiba-tiba seorang pria berjas hitam masuk tanpa basa-basi, duduk di samping nyonya rumah dan mengangkat kakinya.

Kedua alis Melati bertaut, tetapi beruntung Bi Kalsum sudah memberitahu bahwa dia adalah ayah dari Devano. Tuan besar yang memiliki rumah serta aset yang ada.

"Sa, saya tidak tamat SMA, Tuan," balas Melati dengan gagap. Serasa ada sesuatu yang mengganjal di pangkal tenggorokan Melati dan lidahnya beku seperti es. Sulit untuk digerakkan. Inilah yang dinamakan takut?

Lalu kenapa Melati harus takut? Ya mungkin karena cara bicaranya yang tegas dan langsung membuat lawan bicaranya mati kutu.

Apakah begitu cara orang kaya berbicara? Hanya dengan satu pertanyaan bisa membuat kita mati rasa. Ya, terserah. Baginya sekarang adalah bekerja di keluarga Carlston adalah anugerah. Sebab gajinya melampaui ekspektasi Melati.

"Alasan kamu tidak sekolah apa? Karena uang." Melati mengangguk, "I--iya, Tuan."

Melati mencoba untuk tidak salah berbicara dan menjaga sikap. "Orang tuamu kerja apa? Berapa saudara?" Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkannya, sehingga membuat Melati bingung harus menjawab apa.

Melihat Melati yang mulai tertekan, istrinya mengubah topik. "Melati, jika kamu membutuhkan sesuatu katakan saja. Jangan pernah sungkan dan saya tak menoleransi tindak kejahatan sedikit pun."

"Baik, Bu." Gadis itu keluar dari ruangan yang besar dan megah. Di luar Melati menarik napas dan menghembuskan. Mencari udara segar untuk mengisi paru-parunya yang seperti kosong di dalam tadi.

"Huwah, sesak sekali rasanya." Ia mengibas-ngibaskan tangannya sambil berjalan menuruni anak tangga. Berpikir bahwa memang orang berada selalu memiliki judgment pada orang lain, apalagi yang berlevel rendahan seperti dirinya.

Lihatlah rumah besar ini, seperti tidak berpenghuni. Hanya para pekerja saja yang lalu-lalang dilihat oleh Melati. Gadis itu berniat untuk membantu pekerjaan Bi Kalsum di belakang. Ia menyingkap lengan tangan baju dan mulai mengangkat piring kotor yang ada di meja makan.

Ia bersuka cita mencuci piring, gelas dan peralatan yang kotor lainnya. Kalsum terkejut melihat Melati yang rajin dan ia salut.

"Neng, pekerjaan ini tidak untuk kamu. Kamu harusnya sekarang beristirahat di kamar saja. Karena jika sudah merawat Aden mungkin sedikit merepotkan," bisik Kalsum agar tidak di dengar oleh yang lainnya.

"Sebenarnya agak sulit merawat Aden, mungkin beliau masih trauma dan tidak terima dengan keadaan yang menimpa dirinya," papar Kalsum sambil memotong sayuran.

"Sudah ada sekitar lima orang yang bekerja, tetapi tidak ada yang tahan dengan amukan Aden. Ia akan membanting apapun yang ada tanpa memperdulikan orang tersebut." Kalsum menarik napas panjang, menatap keluar jendela. Merasa prihatin dan kasihan.

"Beberapa di antaranya ada yang emosi dan hampir menyakiti Aden. Untungnya ada saya, kalau tidak. Entahlah, tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya."

"Yang lebih kasihan adalah mereka. Ada yang dituntut hingga tidak bergaji dan membayar denda karena berniat mencelakai seseorang."

"Aduh, ternyata susah ya bermasalah dengan orang yang berada. Melati sampai pusing dibuatnya." Melati menggeleng cepat.

Ada uang, ada kekuasaan. Ada harta, ada yang mendukung. Lalu bagaimana dengan kita, orang biasa. Yang tidak memiliki harta atau kekuasan? Jangankan untuk itu, makan dua kali seharis aja sudah bersyukur.

Karena itulah kita yang dilahirkan dari orang biasa, dari keluarga sederhana atau pun miskin diharuskan untuk menjadi pintar. Meski tidak dilahirkan dalam keluarga yang berpendidikan tinggi.

Zaman sekarang bila tidak pintar dalam berbicara, maka hilanglah harapan. Pendidikan memang penting, tetapi akhlak dan tata Krama jauh lebih penting.

Kita hidup dalam zaman yang terus saja berubah dan berjalan. Terkadang hal yang baik pun dianggap buruk dan begitu sebaliknya. Semangat mengumpulkan ilmu di mana dan pada siapa saja. Serta terus bersyukur dan mengingat apa yang dipunya.