Chapter 4 - That's You

Melati yang sudah tahu bagaimana cara menggunakan ponsel pun tertawa sendiri saat menyaksikan video lucu yang ada di layar ponselnya. Kalsum datang dan memberitahu bahwa Devano sebentar lagi akan datang. Karenanya ia diminta untuk memakai pakaian yang baik dan terlihat sopan.

"I--iya Bi, sebentar!" serunya terburu-buru berganti pakaian. Pantas saja Yura membelikannya baju, rupanya untuk hal ini. Pikir Melati.

Apalagi Devano menyukai orang yang rapi, bersih dan menawan. Sejenak Melati bingung, tujuan dia ke sini kan untuk bekerja, bukan untuk menampilkan kecantikan atau kemanisan yang ia punya.

"Apa yang harus aku kenakan? Haruskah aku memakai pewarna bibir ini? Duh, tak mau. Tampil natural juga sangat bagus." Melati hanya menggunakan bedak baby untuk memolesi wajahnya dan memakai sedikit lipbalm.

Merasa jenuh karena si calon majikan belum datang, Melati meminta izin untuk keluar.

Ia sedang berdiri di depan pagar. Melihat apakah Devano sudah datang dan ia harus menyambutnya. "Mobil yang mana? Ada begitu banyak mobil yang berlalu lalang. Huwah!!!" Melati nampak bingung.

"Haus lagi." Ia pun menyebrang dan membeli minuman di warung kecil pinggir jalan. Saat Melati hendak pergi, ada laki-laki yang terserempet motor dan Melati segera menghampirinya.

"Awas!!!" teriaknya penuh keterkejutan.

Matanya melihat jelas bagaimana pria itu terlempar ke sisi jalan dan terjatuh. Buru-buru Melati menghampirinya.

"Kamu tak apa-apa?! Ayo bangun!" serunya sembari membantu pria itu berdiri. Saat melihat pria itu meraba-raba sekitarnya, Melati tertegun. Rupanya dia buta.

"Kepalamu berdarah, harus segera dibersihkan. Jika tidak akan infeksi, ayo," kata Melati dan tanpa ragu membawa si pria itu masuk ke rumah majikannya.

"Pak, tolong bantu saya. Orang ini tidak sengaja terserempet motor dan ia butuh obat." ujar Melati sambil memapah Devano masuk.

Si satpam terkejut dan tidak bisa menjelaskan. Ia segera membawa Devano dan membaringkannya di atas sofa. Sementara itu Melati berlari ke dapur dan mengambil air dingin serta membersihkan lukanya.

"Maaf ya, mungkin ini sedikit perih. Tahan ya," Melati dengan sangat hati-hati membersihkan lukanya agar tidak infeksi dan saat Devano mengaduh, Melati menggigit jarinya. Panik.

"Aku terlalu kuat ya menekannya?" Kini Melati dengan pelan mengolesi serta memperban Devano.

Devano tidak bicara dan tidak pula mengatakan bahwa dia adalah majikannya. Orang yang akan ia rawat. Laki-laki itu memilih diam, bungkam dan merasa tak perlu menjawab ucapan Melati. Dia sendiri memang sedang berada dalam kondisi yang tak baik.

Dari kejauhan, banyak orang yang mulai mengkhawatirkan Tuan Muda mereka. Sambil bertanya-tanya kenapa dengan Devano. Mereka berbisik-bisik ingin tahu apa yang terjadi kepada Devano.

"Ati, ini siapa yang kamu bawa masuk ke rumah?" tanya Kalsum dengan pura-pura.

"Anu anu, dia tadi terserempet motor. Saya bingung hendak membawanya ke mana, jadi saya putuskan untuk membawanya masuk. Apakah ini masalah besar, Bi?"

Kalsum menggeleng, "Oh ya, apa kamu sudah ketemu sama Devano?"

"Astaghfirullah! Saya lupa! Bagaimana ini?! Pasti Tuan sama Nyonya akan marah besar bila tahu saya tidak bertanggung jawab." Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

Devano mulai kasihan pada Melati. Ia pun mengakhiri sandiwaranya. "Akan masalah besar jika kamu tidak menolong saya," sergah Devano, cuek.

"Tentu. Jika lukamu tidak segera dibersihkan, bisa jadi kamu infeksi dan virusnya bakalan menular ke mana-mana." Melati tentu saja tak tahu apa yang dimaksud oleh Devano.

"Ah ya sudahlah. Terserah." Devano sedikit menahan senyuman. Rupanya wanita yang menolongnya yang akan menjadi pengurus selanjutnya.

Saat Melati kembali menuju lantai dua, Kalsum kembali mendekatinya dan berbisik.

"Ati, sebenarnya dia adalah Den Devano. Orang yang akan kamu rawat," jelas Kalsum.

"Maksudnya?" Masih tidak percaya, Melati menutup mulutnya, mata membulat dan merasa malu. "Jadi ... dia??? Kenapa Bibi enggak bilang? Aku harus gimana?" rutuk Melati merasa kecolongan. Dia semakin panik memikirkannya.

Ia begitu tidak sopan menyentuh dan memapah Devano begitu saja ke rumah. Apalagi mereka belum berkenalan. Benar-benar keterlaluan. Dia sudah malu bukan kepalang.

*****

Seorang gadis yang sudah selesai mandi. Lalu menyisiri rambut serta memakai bedak baby. Malam itu menjadi malam pertama baginya berada di rumah besar layaknya istana.

Memiliki satu kamar yang cukup menampung tiga orang. Ada AC, lemari baju sendiri, kasur yang empuk dan ada toilet di kamar. Wah, Melati tidak mengharapkan bahkan tidak pernah membayangkan sebelumnya.

Karena ketulusan dan kegigihan ia bekerja, ini adalah satu dari sekian juta nikmat yang Tuhan berikan.

Terdengar suara adzan dengan begitu kencang. Melati segera mengambil wudhu dan memuji Allah. Di sana ia mengucapkan rasa syukur dan terima kasih atas nikmati yang tak hentinya diberikan.

Jam sudah menunjukkan pukul 20.06

Ia meraih ponselnya, dan mulai berselancar di dunia maya. Ya, seperti yang diajarkan oleh pekerja lainnya.

Kini, Melati bisa melihat keluarganya di kampung melalui ponsel Ahsa.

"Assalamualaikum, Ahsa. Bagaimana cara kamu mengirimkan video tersebut?"

"Waalaikumsalam, kamu tinggal tekan gambar kamera lalu pilih foto ataupun video."

"Terima kasih, Sa. Titip salam ya buat Ayah, Ibu sama adekku."

Gadis itu tersenyum. Beginilah rasanya jika memiliki benda pipih itu. Pantas saja banyak orang tergila-gila dengan benda kecil ini.

Selain untuk berkomunikasi, bisa juga untuk menambah teman, wawasan dan pengalaman.

"Masya Allah, akan aku jaga selalu ini ponselnya. Dari sini aku bisa belajar layaknya teman-temanku yang bersekolah."

Pada saat tengah malam, Melati sholat tahajud, kemudian belajar melalui ponsel.

Esok adalah hari di mana ia akan merawat Devano. Pasti akan menyenangkan, bukan?

Tidak ingin jadi munafik, Melati mengagumi wajah Devano yang tampan. Ya, ia tidak bosan-bosannya untuk dipandang. Mengingat tadi dia bisa melihat wajah sang Tuan Muda dari dekat.

"Andai saja, aku bisa bersatu dan menikah dengannya. Aah pasti aku akan bahagia sekali, haha." Melati mulai berkhayal.

Intinya, jangan pernah takut untuk bermimpi maupun berkhayal. Sebab, kita tidak pernah tahu bagaimana roda kehidupan ke depannya.

Bisa jadi khayalan itu akan menjadi kenyataan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tetapi yang perlu diingat, bermimpilah setinggi langit ketujuh, tetapi tetap rendah hati serendah tanah.

Melati tidak pernah melupakan nasihat yang diberikan Ayah dan Ibu. Ia akan membawa nasehat itu ke mana pun ia pergi.

Tak terkecuali bila itu dalam khayalannya. Suatu keyakinan yang besar, percaya dan berusaha. Ia pasti akan mendapatkan kehidupan yang baru di masa depan.

Perutnya keroncongan saat tengah. Ia pun berniat untuk membuat sesuatu di dapur. Melati ingat dengan pesan karyawan lama. Bahwasannya para pekerja tidak diizinkan untuk membuka kulkas utama, salahnya dia tak mengenali mana kulkas utama dan kulkas lainnya.

Padahal bahan makanan tak ada di sana. Yang ada di hanya sebungkus mie instan. Tanpa berpikir panjang, ia langsung memasak dan menyantap hingga rasa lapar itu pergi.

Matahari sudah mulai menampakkan diri. Di saat itu juga Melati sudah membersihkan kamarnya. Ia keluar dengan ceria serta senyuman yang tidak pernah pudar.

"Jadi siapa yang masak mie instan dan ini?" Seorang wanita yang lebih muda dari Kalsum tengah memarahinya.

Melati mendekat dan mengatakan bahwa dialah yang sudah memasak tersebut. "Maaf, Bu. Saya yang masak, karena perut saya lapar," papar Melati, bersalah.

"Ternyata lo. Anak baru yang tengil dan tidak tahu tata krama," makinya dengan emosi.

"Nela, kau tidak berhak memarahinya. Karena kita di sini sama-sama pekerja!" sergah Kalsum membela Melati.

"Apa? Sama? Oh tidak. Derajatku lebih tinggi daripada kalian berdua atau yang lainnya. Karena apa, karena aku adalah kepala asisten di sini. Mengerti?"

"Ya sudah, biar nanti aku yang menggantinya."

"Harus dong. Karena ini mie mahal." Kemudian pergi meninggalkan Kalsum dan Melati.

"Bi, dia siapa? Kenapa cara berbicaranya tidak sopan dan tidak menghargai Bibik?"

"Biasalah kepala asisten rumah tangga di sini. Dia yang mengatur semua pekerjaan di rumah ini dan dia juga tidak pernah mau diatur. Apalagi mengerjakan pekerjaan rumah."

"Ada ya orang seperti itu, huh!" Melati menghela napas. Dia lapar dan malah dimarahi begini