Chereads / From Nanny to Honey (Please, Be Mine) / Chapter 7 - Pelayan Si Gadis Desa

Chapter 7 - Pelayan Si Gadis Desa

Pagi itu Melati menunggu Devano yang sedang mandi dan memakai pakaian. Melati memang bertugas untuk mendorong kursi roda Devano menjelang laki-laki itu bisa berjalan kembali.

"Tuan, hari ini Tuan akan mengikuti terapi. Jadi saya harus memastikan perut Tuan terisi dengan jelas. Agar terapinya berjalan lancar," ujar Melati sambil menyuapi Devano.

Bocah itu mengunyah dengan pelan. Pikirannya seperti tidak baik. Ada sesuatu yang mengganjal dan menyelinap.

"Apa yang sedang dipikirkan oleh Tuanku yang tampan ini?" ucap Melati sambil menggoda.

Melati menjadi mata sekaligus kaki untuk Devano. Ke mana pun yang pria itu mau, Melati selalu siaga.

Tak jarang bila Devano bersikap dingin kepada Melati. Lalu yang dilakukan oleh gadis itu terus menghiburnya hingga malam tiba dan ia tertidur.

"Jangan ke sana, lantainya licin!"

"Oh ya."

Lalu Devano mulai dingin dan diam. Setiap hari Melati terus mendampingi Devano.

Ia seperti kayu yang mengikuti ke mana pun angin menerbangkannya. Tidak bisa menolak, sebab itulah konsistensi dalam bekerja, menurutnya.

Tidak heran bila keluarga besar Bagaskara menyukai Melati. Gadis desa pada umumnya memang terlahir dengan sifat alami penyayang.

Karenanya, banyak orang di kota besar mencari pengasuh, pekerja bahkan istri dari desa.

"Nah dokternya sudah datang. Mari saya bantu berdiri!" Tangannya meraih Devano. Menuntun dengan kasih sayang. Sehingga lambat laun kakinya bisa bergerak dengan alami.

"Pelan-pelan saja, Tuan."

Mereka mulai akrab dan terbiasa bersama. Hari yang dilalui Melati begitu terang. Cepat atau lambat Devano mulai bisa menggerakkan otot-ototnya yang kaku.

Di sini, Devano bisa menggerakkan sedetik jari kakinya. Betapa girangnya Melati mengetahui hal itu.

"Masya Allah. Sudah bisa digerakkan mesksi pun hanya sedetik saja." Puji Melati kesekian kalinya. Lantas hal itu tidak membuat Devano tinggi hati.

Putus asa itu masih menetap di urutan pertama dalam hatinya. Tidak ada kesempatan baginya untuk memikirkan kembali penglihatannya. Yang ada ribuan ketidakpercayaan.

"Masih tidak percaya dengan keajaiban?"

Laki-laki yang memakai sweater biru tua menarik napas dalam-dalam. Sedikit banyaknya keajaiban itu mulai ada.

Tak dipungkiri, sosok Melati menjadi peri yang menjelma dalam kehidupan Devano yang gelap hingga terang. Ia bagaikan kunang-kunang dalam gua yang gelap dan terpuruk di dasar hutan.

"Magic? Hah!" ia tertawa ejek. "Sedikit."

"Usaha takkan pernah mengkhianati hasil, Tuan. Makanya saya selalu membuat Tuan berusaha untuk sembuh."

"Baguslah. Karena itu kamu digaji agar aku sembuh."

"Betul, Tuan!" Melati kembali mendorong kursi roda Devano.

Mereka sedang berada di taman kota. Dikarenakan Devano menjalani terapi di sana. Ini adalah keajaiban bagi Bagaskara.

Semenjak terkena kejadian itu, Devano baru ingin benar-benar menjalani terapi di sini. Biasanya dia akan menolak, marah serta mengamuk.

"Pa, coba lihat! Devano sudah bisa menggerakkan jarinya, meski sedetik saja." Nyonya besar merasa sangat senang. Ia tersenyum di sepanjang hari.

Tak tanggung-tanggung, mereka bahkan melakukan santunan untuk anak yatim dan orang yang membutuhkan.

"Melati, apa yang akan kamu lakukan jika kamu diberikan uang yang banyak?"

"Hal utama yang akan saya lakukan adalah membagikannya kepada yang perlu. Sisanya akan saya gunakan untuk keperluan keluarga. Yang terakhir baru untuk diri saya, Nyonya."

Semalam, Nyonya rumah menemui Melati dan meminta saran. Nah, orang kaya yang nampak kekayaannya saja masih meminta saran serta pendapat kepada bawahannya.

Berbeda dengan orang yang sudah tahu kekurangannya masih saja merasa paling benar dan layak dihargai.

Lucunya bumi ini. Tungau di seberang lautan nampak, tetapi gajah di pelupuk mata hilang.

Orang yang seperti ini tidak layak untuk dijadikan teman atau tempat hidup. Yang ada akan menambah beban pikiran dan nambah piring saja, hehe.

"Kata orang, kalau Tuan mau minum pil ini. Dijamin langsung enak badannya dan gampang banget buat tidur."

Devano tidak mau minum obatnya dan bahkan menolak menerima asupan makanan. Dari tadi ia hanya minum dan terus minum saja.

"Gak." Masih saja Devano menolaknya.

"Ayolah Tuan. Kalau Anda tidak mau makan, nanti saya dimarahi oleh Nyonya."

"Resiko!"

Melati mendengus kesal, namun kembali mengulum senyuman. "Sakit sekali epribadeh!"

Semenjak memakai ponsel yang baru, Melati terpengaruh oleh Tiktok maupun YouTube. Dari sana ia mencoba untuk menemukan kata-kata yang sedang trend.

"Lebay!"

"Gak mau, gak suka gelay." Gadis itu tertawa terbahak-bahak dan tawanya pun menjalar ke Devano.

Tanpa disadari ia mengangkat sebelah bibirnya. Hal langka dan unik.

Hidup memang tidak pernah lepas dari suatu kebosanan bukan? Terkadang, Melati mulai bosan dengan sifat Devano yang suka merajuk. Ya, itu merupakan hal yang tidak disukai olehnya.

"Saya tidak suka dengan orang yang ngambekan!" ujar Melati seperti anak kecil.

Setelah itu Devano membuka percakapan. "Nanny, kamu percaya dengan ketulusan?"

"Hm, tulus ya!" Melati menepuk-nepuk pipinya sedang berpikir.

"Percaya. Contoh yang paling utama adalah tentang kasih sayang orang tua kita kepada kita. Mereka bekerja sekuat tenaga agar memenuhi kebutuhan hidup anaknya." ia memandang langit yang baru, tersenyum.

"Ayah sama Ibu bekerja di ladang sama ngurus ternah orang. Terkadang gak tega lihatnya. Apalagi saat mereka dimarahi karena melakukan kesalahan. Ya Allah z nyesaknya," gadis itu memegangi dadanya.

Bunga melati putih menjadi saksi bisu betapa sayangnya Ayah serta Ibu kepada anaknya. Apa kau pernah melihat peluh yang membasahi tubuh mereka di saat mencari makanan?

Jika pernah, maka kau akan merasa menyesal sebab pernah melukai hati mereka.

Bukan hanya itu, "Ibu kenapa memakan makanan sisa adek?" Ketika kau kecil bertanya tanpa rasa bersalah. Senyuman hangat menyanbutmu, "sayang kalau dibuang makanannya, sayang."

"Kok jadi curhat?"

Dengan segera Melati menlap butiran di sudut matanya.

"Udah menghubungi keluargamu hari ini?" ia menggeleng. Sebab ia terlalu sibuk mengurusi Devano dan tidak memiliki waktu untuk mengabari mereka.

Ia hanya memiliki waktu luang di saat malam hari. Di atas jam 12 malam. Mana mungkin menghubungi mereka di saat jam tidurnya?

Apalagi esok hari harus bekerja keras. Terlalu tidak sopan dan tak etis, pikirnya.

Lagian, tak mungkin bila Ahsa tengah malam ke rumahnya dan memberikan ponsel tersebut ke Ayah.

Biarlah Melati mengumpulkan uang lalu membelikan ponsel untuk keluarganya. Mungkin bulan depan, semua gajinya akan dikirimkan.

Jadikanlah orangtuamu sebagai raja, maka Tuhan menambahkan rezeki seluas samudra. Prioritaskan mereka, tentu Tuhan akan membalasnya dengan ribuan kali lipat.

Nah, mulai sekarang yuk lebih utamakan keluarga daripada urusan pribadi. Sebabz tanpa mereka kau takkan pernah melihat dunia luar.

Jangan tinggi hati karena sudah memiliki jabatan tinggi, pekerjaan bagus dan sekolah yang mewah. Ingat, ridho Allah terletak pada ridho kedua orang tua.