Chapter 6 - Big Baby

"Baik. Saya akan segera pindah ke kamar yang Nyonya katakan." Melati diberi kejutan kembali oleh keluarga Bagaskara.

Ternyata kamar yang ditempati Melati sekarang bukanlah milik dia. Karenanya ia disuruh untuk pindah.

Bagaimana dengan Devano? Ya, kamar yang sekarang ditiduri oleh Devano juga bukan kamar dia. Melainkan mereka berdua tengah tidur di kamar tamu.

Kamar yang sebenarnya adalah ke arah timur. Yang mana kamar itu langsung menghadap ke gunung yang hijau. Serta disuguhkan berbagai macam pemandangan alami lainnya.

"Melati, kamu silahkan ke sana. Barang-barangnya akan segera di antarkan ke sana'" ucap Pak Bimbim. Bodyguard Devano sebelumnya.

"Wah, luas banget kamarnya. Tiga kali lebih besar dari kamarku yang sebelumnya." Gadis yang memakai kemeja putih polos itu mulai membuka tirai. Ia seperti berada di apartemen mahal seperti di negeri jahe.

"Masya Allah. Indah sekali pemandangannya." Lalu ia melihat kamar mandi yang bersih dan wangi. Beda sekali dengan kamar mandinya di kampung.

Hm, tidak seperti kamar mandi, lebih pantas kepada aliran sungai deras dan airnya cukup jernih.

Di sanalah Melati mandi, mencuci baju, piring dan bermain dengan adik-adiknya. Mereka juga sering menangkap ikan nila air surut.

"Suatu hari nanti, Kakak pasti bisa bawa kalian ke tempat pemandian yang lebih bagus dari ini."

Melati terduduk di lantai, ia mengingat bagaimana adiknya tersenyum dan dengan ceria bermain air sungai.

"Ehem!" Devano yang didampingi oleh Bimbim mendatangi kamar Melati.

"Tuan, maaf saya teledor. Sa saya terlalu senang mendapatkan kamar yang begitu luas ini." Melati merentangkan kedua tangannya.

Kamar yang ditempati Melati bisa menggabungkan dua rumahnya di kampung.

Waktu berjalan begitu cepat. Melati menjadi Nanny bagi Devano. Saat malam tiba, Melati membantu Devano menggunakan bajunya. Serta memberikan sofel ke tangan serta kaki Devano.

Dia bahkan sampai tengah malam berada di kamar Devano. Pekerjaan yang membuatnya betah sekaligus capek yang luar biasa.

Melati tidak menyesalinya, tetapi ia juga menikmati. Fasilitas yang mewah bisa ia dapatkan hanya dengan bekerja menjaga big Baby.

Melihat Devano tidur dengan nyenyak dan tenang, barulah gadis itu beranjak ke kamarnya dan merebahkan badan.

****

"Tuan, cuaca hari ini begitu cerah. mataharinya tersenyum mesra menatap Tuan." Melati dan Devano tengah berada di taman.

"Oh ya? Apa yang dikatakan oleh matahari, Nanny?"

Hari itu Devano mulai memanggil Melati dengan sebutan Nanny. Melati dengan senang hati menerimanya.

"Matahari bilang, Tuan begitu tampan dan manis."

"Heh, memangnya kamu peri yang bisa berbicara dengan benda mati. Aneh!"

"Ya bisa dikatakan begitu, hehe." Melati cengengesan dan melanjutkan mendorong kursi roda Devano.

"Kamu percaya dengan mimpi?" Sifat cerewet Melati mulai keluar.

Memang bukan kemauan darinya, tetapi Yura mengatakan bahwa semakin sering berkomunikasi dengan Devano, maka perasaan senangnya akan muncul dan bisa memperpanjang terapi kaki maupun matanya.

Itulah alasannya ia selalu berbicara, meski terkadang dicuekin oleh Devano.

"Tuan, siapa orang yang ingin sekali kamu lihat?" Tiba-tiba Devano mengunci kursinya, ia merasa tersinggung.

Sampai sekarang belum ada orang yang ingin mendonorkan atau mendapatkan pendonor baginya. Meski harta berlimpah, tetapi kekurangan juga ada.

Uang mungkin bisa membeli segalanya, tetapi segalanya tidak membutuhkan uang. Filosofi tentang uang beredar di mana-mana.

Orang begitu giat dan rajin mengumpulkan uang, tetapi lupa dengan kesehatan.

Selagi masih sehat, tolong dijaga. Bila sudah sakit, uang yang tadinya kau kumpulkan akan habis sekejap mata.

Penuturan itu membuat hati Devano tersinggung. Ia menjauh dari Melati. Meski penglihatannya tidak bagus, ia masih bisa meraba dengan tangan.

"Tuan, kamu ingin ke mana?" Melati mengikutinya dari belakang. Di saat roda kursi tidak sengaja mengenai batu kerikil dan hampir terjatuh, Nanny dengan sigap menangkapnya.

"Aku ingin sendirian!" Melati dilema. Apakah ucapannya benar-benar melukai Devano?

Jauh di dasar hati, Melati hanya ingin membangkitkan semangat yang ada dalam diri Devano. Tidak disangka, senjata utama yang harusnya menjadi pendemik semangat malah menjadi bumerang.

Melati diam-diam mengikuti Devano. Lantas pria itu berkata, "Jika memang diberi kesempatan. Orang pertama yang ingin kulihat adalah dia. Dia yang sudah menghancurkan harapanku menjadi untaian debu-debu yang tak berguna."

Seperti hujan di tangah malam. Deras dan berkabut. Melati tidak paham dengan ucapannya. Ia terus mendengarkan setiap inci ucapan dari Tuannya itu.

Hal yang menyakitkan adalah di saat kamu mempercayai seseorang. Lantas orang itu berbalik dan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan.

Kesempatan yang mungkin tidak akan terjadi kedua kalinya. Dengan begitu mudah dia membuang. Menghanguskan. Binasa dan hancur di tepian sungai.

Seperti harapan yang bisa datang kapan saja, namun tidak tahu kejelasannya. Mutiara di lautan mengerang, burung berkicau serentak, merengek, meminta dan memohon untuk tetap terbang.

"Hidup memang begitu. Kalau tidak begini, ya begitu. Jadi siapa yang akan disalahkan pada keadaan yang terjadi, Tuan?"

Sentuhan Melati tak mampu ditolak Devano, dengan ketulusan yang ada kursi roda mulai berjalan lagi.

"Di luar sana, masih banyak sekali orang yang ingin seperti dirimu. Mereka bekerja keras untuk mendapatkan sesuap nasi. Begitu pun dengan keluargaku."

"Kenapa malah curhat? Apa kamu pikir saya akan peduli." Sentak Devano.

Merasa malu, Melati mendorongnya ke ruang makan. Lalu memberikan makan serta obat yang rutin dikonsumsi olehnya.

"Kata dokter, otot-otot Tuan sudah mulai ada kemajuan. Terutama di bagian kaki. Mari kita teruskan untuk melatihnya agar terapi bisa berjalan dengan lancar."

"Tidak akan berguna. Kalau memang sudah cacat, ya cacat. Tidak akan ada yang berubah. Kamu paham!"

"Tuan, kamu percaya dengan keajaiban? Bagaimana bila esok ketika Tuan bangun tidur. Tuan bisa berjalan seperti biasa dan melihat ciptaan Tuhan." Lagi-lagi Melati menyemangati, meski takkan berhasil.

"Bagaimana jika tidak? Apa kamu akan bertanggung jawab?"

Meyakinkan orang yang sudah berputus asa memang sulit bukan? Sebagus dan sekuat apapun itu, mereka takkan menerimanya.

Lebih parah lagi, jika kamu ikut berputus asa. Nah, gawat dong kalau seperti itu.

"Saya yakin dan percaya. Tuhan tahu mana yang terbaik untuk umatnya."

Hari itu menjadi saksi bagaimana putus adanya seorang Devano. Putra bungsu dari pemilik perusahaan ternama.

Rencana terbaik selalu datang pada saat yang terbaik juga bukan. Nah, bila kamu belum berhasil, artinya waktu itu bukan terbaik untukmu.

Jadikan aku satu-satunya, maka akan kuberikan semuanya. Jadikan aku prioritas, akan kuserahkan seluruh hidupku.

Melati dan Devano. Bisa jadi takdir kalian sedang tertukar. Dan mungkin akan menjadi satu bila kalian bersama.

Haha, authornya lagi gabut dan sedikit gak waras. Maaf bila ceritanya tidak menarik seperti para senior lainnya.

Tetap bersyukur, senang, semangat, senyum dan menerima keadaan ya guys. Sebab Tuhan sedang mengawasi kalian dan melihat seberapa cintanya kalian terhadap diriNya.