Chereads / PRIA KERAS KEPALA / Chapter 39 - 39. Sperma Tidak Bertanggung Jawab.

Chapter 39 - 39. Sperma Tidak Bertanggung Jawab.

Saa Jeon Ji Hoon keluar dari caffe tempat dimana Jung Ki bekerja di kafe kecil tersebut, pria cantik itu berjalan menuju kampusnya lagi dan kembali menyelesaikan kuliahnya.

Melihat bagaimana Jung Ki bekerja, melihat bagaimana pria itu memiliki teman Ji Hoon benar-benar membencinya. Dia tidak senang melihatnya.

Bagaimana Jung Ki selalu mendapatkan teman, orang-orang yang selalu bersimpati untuknya, dan masih banyak lagi.

Ji Hoon berniat berbicara baik-baik dengan Jung Ki, pria itu bahkan menunggu Jung Ki selesai bekerja dan harus menunggu hampir dua jam lamanya hanya untuk bertemu dan berbicara empat mata saja dengan Jung Ki. Sayangnya saat Ji Hoon akan berjalan mendekati sepupunya pria itu dicegat oleh orang yang sama yang selama ini dekat dengan sepupunya.

Min Yoon Seok.

Pria baik yang selalu mengantarkan Jung Ki pulang bekerja bahkan beberapa kali juga pria itu harus mendapat marah dari ayahnya dan berakhir tetap sama.

Pria itu sangat setia, teman sebelum Jung Ki kehilangan kedua orang tuanya sepertinya, karena sampai detik ini setelah hampir tujuh tahun lamanya juga Jung Ki masih bersama dengan pria tersebut.

Dia melihat perdebataan antara dua pria tersebut, membuat Jung Ki berakhir ikut dan Ji Hoon gagal berbicara empat mata dengan Jung Ki.

Tidak selalu berakhir sama. Namun, selalu Jung Ki yang berakhor mengenaskan. Ji Hoon yang berakhir pulang ke rumah sendirian setelah rela menunggu Jung Ki pulang pada akhirnya harus menyesali niat baiknya.

"Ada baiknya aku tidak melakukan hal ini," gumam menyesal melakukan hal baik dengan niat malaikatnya akhir-akhir ini. "Jeon Jung Ki tetaplah pria pembawa sial yang akan selalu merepotkanku. Ini salahku sendiri karena aku menurunkan egoku hanya ingin meminta maaf, bodohnya semua itu hanya sebuah topeng mainan yang Jung Ki pakai untukku." Ji Hoon berjalan sendirian di jalan, jalan raya yang masih sepi namun tetap ada mobil berlalu lalang namun Ji Hoon tetap sibuk berjalan menuju rumahnya.

Sepertinya ayahnya akan memarahinya hari ini, dan itu berakhir karena Jeon Jung Ji.

Tidakkah Ayahnya tahu jika Ji Hoon hanyalah pria yang menginginkan kasih sayang dari ayahnya yang sama sebelum anak kecil itu datang?

Anak kecil yang sekarang sudah menjadi pria dewasa dengan wajah yang sangat manis dan manipulatif.

Perjalanan cukup lama pada akhirnya Ji Hoon sampai di gang terakhir masuk rumahnya. Pria itu berjalan dengan menghela nafasnya berat karena melihat lampu depan rumahnya masih menyala dan ada ayahnya yang duduk dengan satu gelas kopi hangat dengan ibunya yang menemani.

Jeon Jung Ki belum pulang, dan Jeon Ji Hoon belum sampai. Bagaimana bisa mereka tenang jika kedua putranya belum sampai di rumah saat sekarang pukul satu pagi.

Ji Hoon berjalan menuju pintu utama dan melihat ayah dan ibunya bangun untuk menyambut kepulangannya. Sayangnya itu hanya ibu, tidak dengan ayahnya.

"Apa kau mampir untuk minum-minum dulu?" tanya ayahnya sarkas membuat Ji Hoon menghela nafasnya berat hanya melirik ibunya, dia memeluk ibunya untuk bersembunyi dibelakang ibunya.

"Kau baru pulang? Apakah sangat lelah?" tanya wanita tersebut sedikit lebih halus dan terlihat sangat berbeda dengan apa yang ayahnya tanyakan padanya. "Jagan terlalu keras padanya, dia sangat bekerja keras hari ini. Jangan membuatnya lebih kelelahan dengan menanggapi sikap leras kepalamu yang selalu dilampiaskan padanya," tegur ibunya pada ayahnya.

"Siapapun tahu pukul sebelas malam seharisnya dia sudah sampai di rumah. Kenapa dia baru sampai saat jam satu pagi yang seharusnya---"

"Jangan membuatku marah hanya karena kau terus membela keponakanmu, suamiku!" Wanita itu sedikit menegus lebih keras dari sebelumnya untuk memberi batasan seorang ayah untuk tidak menyakiti putranya lebih jauh lagi. "Apa? Kenapa selalu Jung Ki, dia tidak salah apapun!"

"Kau yang selalu membelanya, itu kesalahannya. Jika kau adil pada Jung Ki dan Ji Hoon aku akan baik-baik saja," balasnya membuat Ji Hoon melepas pelukan pada ibunya dan mengakhiri pertengkaran antara ibu dan ayahnya.

"Maafkan aku jika aku pulang terlambat, ayah." Pria itu berjalan masuk ke dalam rumah untuk mandi dan bersiap-siap untuk tidur. Tidak ada alasan dan tidak ada kesempatan untuk menjelaskan. Ayahnya akan selalu sama. Pria itu akan berakhir sama.

Jika Ji Hoon semakin banyak bicara, maka dia yang akan semakin salah dan disalahkan oleh ayahnya. Jadi lebih baik pergi ke kamaemya atau dia akan mendengar pertengkatan ibu dan ayahnya semakin menjadi.

"Kau senang putramu menarik diri darimu?"

"Aku tidak bermaksud untuk itu."

"Tapi kau melakukannya."

"Dengarkan aku, pertanyaanku tadi sama sekali tidak kasar. Aku hanya meminta tanggung jawabnya sebagai seorang anak pada---"

"Lalu kau?"

"Ini yang ku katakan, kau selalu meminta tanggung jawab Ji Hoon untuk menjadi putramu, tapi kau melupakan fakta jika kau juga ayah yang buruk untuknya."

"Tunggulah keponakanmu itu sendiri, dan lupakan saja kami!"

Wanita itu berjalan masuk ke rumah dan berniat masuk ke kamar putranya.

Dia tahu benar jika putranya sedang menangis di kamarnya, perlakuan ayahnya selalu membuat putranya yang manja menjadi semakin rapuh. Dia kuat dan kokoh, namun suaminya terus mematahkan segalanya dengan gugurnya seorang ayah yang buruk.

Wanita itu mengetuk pintu kamar Ji Hoon, benerapa kali sampai ada jawaban dari putranya. Namun bukannya suara, wanita itu hanya bisa mendengar kunci pintu kamar yang terbuka tidak lagi dikunci. "Ibu masuk, Ji Hoon." Wanita itu mengetuk pintu kamar putranya sebentar dan membuka kamar putranya.

Dan benar saja, Ji Hoon sedang terduduk di samping lemari dengan kedua kaki yang terlipat dan kepala yang menunduk di dalam lipatan tangannya yang bertumpu pada lutut.

"Kau menangis?" tanya wanita itu saat dia melihat putranya hanya diam saja, seorang ibu itu berjalan tanpa ragu untuk mendekati putranya yang terus terdiam dan menengelamkan wajahnya dilipatan tangannya.

"Dengarkan ibu, semua ini hanya sesaat sayang. Tidak akan lama dan selamanya, bersabarlah sebentar lagi." Wanita itu terus menyakinkan pada putranya jika semua tidak akan berakhir semengerikan yang putranya bayangkan.

"Ya?" tanya Ji Hoon dengan mengeluarkan wajahnya saat dia kelalahan dan hanya bisa menangis dalam diam di kamarnya. Hanya ibunya yang tahu segalanya, dan pria kecilnya selalu melakukan hal yang sama. "Ibu berjanji padamu."

Ji Hoon menghela nafasnya berat, dia lega namun dia juga terbebani, kali ini dai hanya memeluk ibunya dengan erat. "Apa yang bisa ku lakukan?" tanya Ji Hoon dengan air mata miliknya utuh.

"Bertahan dengan diam." Ji Hoon tertegun dan kembali mendapatkan jawaban yang sama dari ibu. "Semua itu hampir membuatku sekarat." Ji Hoon berkata jujur.

Saat ayahnya selalu membanding-bandingkannya, saat ayahnya selalu menganggap Jung Ki yang paling sempurna, saat ayahnya selalu membeei pujian pada Jung Ki, dan saat semua perhatian ayahnya hanga untuk Jung Ki.

Ji Hoon kehilangan segalanya, semuanya. Dia tidak mendapatkan ayahnya walaupun berakhir dia harus berpihak pada ibunya agar wanita itu terus ada untuknya.

Cukup saat berbagi kamar dengan Jung Ki, cukup saat berbagi rumah dengan Jung Ki dan cukup berbagi orang tua Jung Ki. Ji Hoon tidak akan mampu bertahan hidup dengan baik jika Jung Ki memiliki hal lain dan tidak berakhir sama dengan Jung Ki yang memiliki segalanya.

"Ibu, apa aku harus mati dulu agar ayah memberiku perhatian walaupun diujung ajalku?" Pertanyaan miris yang wanita itu tanyakan untuknya mampu membuat perasaan seorang ibu teriris, dia tersenyum tipis dan memeluk erat putranya.

"Mandilah, kau sangat kelelahan." Wanita itu mencium kening putranya dan berjalan keluar dari kamar putranya untuk kembali ke kamarnya sendiri. Dia sama sekali tidak bermaksud untuk menyakiti siapapun, namun Ji Hoon selalu memposisikan dirinya menjadi penjahat saat wanita itu tidak melakukan apapun bahkan untuk berpihak.

"Aku sama sekali tidak bermaksud untuk itu," gumamnya setelah dia sudah berada di kamarnya dan menangis dalam diam seperti yang putranya lakukan sendiri setiap waktu menahan segalanya.

Kembali ke Ji Hoon, pria itu berjalan keluar dari kamarnya setelah mandi. Dia ingin berbicara pada ayahnya mengenai Jung Ki.

Setidaknya sampai pria tua itu tahu dan sadar siapa yang dia tunggu sampai hampir pukul tiga pagi.

"Ayah," panggil Ji Hoon saat dia berdiri di dalam rumah namun terlihat dengan jelas jika hanya pembatas pintu yang terbuka untuk berbicara. "Ayah ingin bicara denganmu."

Ji Hoon terkekeh dan berjalan mendekat ke arah ayahnya, pria itu menggantikan posisi ibunya saat menunggu kepulangannya sebelumnya. "Aku juga," putusnya.

Kali ini keduanya mulai duduk untuk membicarakan apa yang sejak lama keduanya ingin katakan. "Ibumu terlalu memanjakanmu sampai-sampai kau menjadi anak yang manja. Ayah tidak ingin memuji Jung Ki, tapi kau selalu bersembunyi di belakang ibumu hanya saat ayah sedang marah."

"Bukan seperti ini caranya untuk menjadi pria yang tanggung, Ji Hoon putraku." Pria itu mengatakan dengan jujur apa yang ingin dia katakan, dan ketahuilah.

Ji Hoon yang selalu menutup air mata dari ayahnya saja akan terlihat manja dan lemah bagaimana saat Ji Hoon yang rapuh ini meneteskan air matanya di hdapan ayahnya.

"Iya, salahkan saja diri ayah sendiri yang memberiku kasih sayang hanya sebatas saat aku masih remaja. Aku kehilangan ayahku setelah orang asing datang ke rumahku dengan bantuan polisi dan berhasil menarik paksa ayahku untuk bersimpati hanya padanya saja."

"Ayah, aku tidak iri sejak awal pada Jeon Jung Ki sebenarnya. Namun melihat bagaimana ayah membelanya mati-matian membuatku merasa aku benar-benar kehilangan ayah sepenuhnya. Kau bukan ayahku, kau adalah pria asing sejak kedatangan Jung Ki, ayah." Ji Hokn menghela nafasnya berat, dia berdiri ingin masuk kembali ke kamarnya.

"Jeon Ji Hoon!!"

"Teriakanmu bahkan sudah tidak terdengar jelas lagi untukku, ayah. Kau benar-benar sudah terbiasa dengan sikap kurang adilmu pada putramu dan demi keponakanmu. Asal ayah tahu saja, aku bahkan menyesal dilahirkan dengan hasil sperma yang tidak bertanggung jawab." Ji Hoon kembali ke kamarnya bahkan saat ayahnya memanggilnya.

Ji Hoon tidak perduli. Dia sudah menjadi tuli untuk ayahnya semenjak kedatangan Jung Ki kerumahnya.