Perang dingin Jung Hoo Sik dengan Kim Tae Woo sejak beberapa hari yang lalu masih berjalan sampai sekarang, bangun kesiangan, 24 jam dalam satu hari, tidak pulang dan tidak pergi kemanapun membuat Tae Woo hanya bisa menyadari apa yang seharusnya dia perbaiki.
Walaupun satu dua kali, Tae Woo hanya ingin berdamai sebentar dengan Jung Hoo. Entah mendapat ketukan dari mama Tae Woo berjalan keluar dari ruangannya, dia bahkan baru saja menyelesaikan makan siangnya, meminta tolong pada Min Yoon Seok untuk membantunya, lalu mendapat pesan dari Jeon Jung Ki mengenai kabarnya, namun pria itu benar-benar ingin bebricara banyak hal dengan Hoo Sik.
Sebenarnya diantara keduanya tidak ada yang selalu keras dan tidak ada yang tidak mengalah juga. Karena pada dasarnya jika perang dingin antara dirinya dengan Jung Hoo Sik benar-benar sering terjadi.
Selalu Hoo Sik juga yang mengalah, hanya saja sekarang Kim Tae Woo hanya ingin pergi ke ruangan Jung Hoo Sik dan memikirkan apa saja yang sudah dia lakukan selama ini adalah sepenuhnya kesalahannya.
Mengetuk pintu ruangan Hoo Sik untuk sedikit memberikan sopan pria itu pada akhirnya masuk setelah mungkin saja pria itu anggap jika itu hanyalah izin.
Mata tajam milik Tae Woo meneliti setiap titik dan sudut ruangan kakak sepupu laki-lakinya, tidak ada yang bisa Tae Woo lewatkan selain interior dan kedorasi ruangan yang terlihat begitu liar dan menyenangkan dan hangat.
Mewah, tidak mencolok, nyaman dan terlihat ramai namun tidak membosankan juga. "Kak." Kim Tae Woo terlihat memanggil Hoo Sik saat dimana pria itu sedang sibuk dengan makan siangnya di tangan kanannya hanya sebuah roti yang membungkus daging dengan beberapa saus lalu tomat dan kubis dengan beberapa saus tomat melengkapi makan siang atau mungkin cemilan milik Jung Hoo Sik di tangannya.
Tangan kiri lainnya memperlihatkan bagaimana hanya mengunakan lima jari saja Jung Hoo Sik melakukan pekerjaannya, kacamata yang selalu terlihat keren saat bekerja dengan beberapa dokumen rapi walaupun terbuka di mejanya
"Aku sedang makan siang, apa yang kau butuhkan?" tanya Hoo Sik terlihat acuh dan tidak perduli dengan gerkaannya namun tidak dengan pertanyaannya, suara dingin dan malam membuat pertengkaran kembali Hoo Sik perlihatkan.
Perang dingin dengan Kim Tae Woo sebenarnya membuat Jung Hoo Sik merasa sedikit tenang, dingin, damai, dan bersikaplah benci. Karena dengan begitu keduanya memiliki privasi yang mereka inginkan tanpa mereka sadari.
"Bisakah kita bicara?"
"Aku ingin berbicara serius denganmu." Hoo Sik menganggukkan kepalanya pelan, pria itu menunjukkan tangan kanannya dimana tangan kanannya sedang melakukan tugasnya dan mulutnya yang bekerja dengan baik mengunyah makan siangnya. "Baiklah."
Tae Woo menghela nafasnya berat, dia mengambil duduk di sofa milik Hoo Sik. Pria itu benar-benar membuang banyak uang untuk memberi kesan baik dan nyaman di satu ruangan saja. Walaupun lebih membutuhkan banyak uang di ruangan Kim Tae Woo pria itu hanya yakin jika ruangan Jung Hoo Sik benar-benar sangat bagus.
"Apakah aku harus menunggumu selesai?" tanya Tae Woo terlihat baru akan bergerak berjalan menjauh dari Hoo Sik menuju ke sofa. "Ya, tunggulah sebentar."
Tae Woo hanya bisa berjalan menuju sofa, dia melepas sepatu yang dia pakai dan melipat kedua kakinya agar tidak berada di lantai. Metanya kembali melihat ke beberapa titik, pria itu benar-benar mengagumi bagaimana Hoo Sik sangat baik saat bekerja, menyusun sesuatu dan segalanya.
Walaupun Tae Woo sempurna dalam melakukan sesuatu, pria itu benar-benar melakukan beberapa sisi yang perlu dia perbaiki seperti tidak menimbun barang yang membuatnya menjadi kotor.
Tae Woo diam-diam mencuri lihat pada Hoo Sik juga, pria itu hanya ingin tahu bagaimana kakak laki-laki sepupunya itu melakukan tugasnya. Tanpanya, dan saat Tae Woo benar-benar hanya ingin mengurusnya di caffe tempat dimana Jung Ki bekerja.
Sekarang memang bukan lagi makan siang. Sepertinya Hoo Sik sedang memakan cemilannya, jika itu mungkin. Sepupu laki-laki Tae Woo sepertinya terlambat makan siang, itu juga karena Kim Tae Woo. Sayangnga Tae Woo hanya tidak ingin terus mengukuti apa yang ibunya inginkan.
Dia hanya membenci itu.
"Aku selesai," ucap Hoo Sik berjalan mendekat ke arah Tae Woo setelah dan menyelesaikan tugasnya, makan siangnya, dan mematikan laptopnya begitu juga dengan mencuci kedua tangannya.
"Kau ingin berbicara apa denganku?" tanya Hoo Sik begitu pria itu mematikan ponselnya dan memilih duduk di samping tidak jauh dari Tae Woo karena dia tidak butuh batas antara dirinya dengan Kim Tae Woo.
"Ada beberapa hal baik," ucap Tae Woo yang saat itu membuat Hoo Sik menyatukan alisnya bingung karena pria itu benar-benar membuang pembicaraa penting dengan Hoo Sik tidak seperti biasaya.
"Jelaskan sesingkat mungkin saja, Tae Woo." Terluhat jelas jika Hoo Sik hanya ingin mendengarkan apa yang Tae Woo katakan tanpa dibuat-buat, Hoo Sik tahu benar apa yang pria itu bisa dan yang pria itu tidak bisa. "Apa terlihat sangat jelas?"
"Mengerikan," jawab Hoo Sik membuat Tae Woo menggaruk kepalanya yang tidak gatal menimpulkan sakit yang tidsk begitu lara. "Langsung saja Kim Tae Woo. Kau memiliki jadwal duapuluh sembilan menit lagi," ucap Hoo Sik mengingatkan pada Tae Woo jika pris itu tidak bisa membuang waktunya sama sekali kali ini.
"Pekerjaan bukan segalanya, Kak." Tae Woo melihat ke arah Hoo Sik dengan mata sedikit dilemahkan dan menjelaskan sedikit paru jika dia butuh sesuatu yang lebih penting dari itu. "Apa yang kau katakan!" marah Hoo Sik tentu saja.
"Tidak ada yang tidak penting selain pekerjaaan dan uang Tae Woo. Karena jika--"
"Jika manusia melewatkan bekerja dan membiarkan waktu luang menguasai manusia itu, uang akan menghilang dari kesempatannya?" Tae Woo terlihat memotong ucapan Hoo Sik dengan mengulang apa yang selalu pria itu jelaskan mengenai pekerjaan dan seberapa pentingnya uang untuknya.
"Kau hanya perlu sadar satu hal, Tae Woo." Terlihat jika Tae Woo begitu malas dengan apa yang akan Hoo Sik katakan kali ini. "Kau harus--"
"Kau harus fokus pada tujuanmu, dan melakukan apa yang kau jadikan tujuan untukmu sampai angan-anganmu harus terlaksana?" Tae Woo terlihat pua melihat tatapan tekeejur dan kesal milik Hoo Sik padanya karena dia bisa melihat seberapa bodoh dan mengerikannya seorang Tae Woo karena diam-diam pria itu mengetahui dan menyimpan setiap apa yang Hoo Sik katakan untuknya.
"Kau mengingatnya?" tanya Hoo Sik dengan wajah yang tidak menyangka dan cukup terkejut dengan apa yang dia dapatkan.
"Aku mengingat semuanya." Tae Woo terlihat menjawabnya dengan wajah datar dan suara yang biasa saja, bahkan wajahnya terlihat menjauhi tatapan Hoo Sik padanya. "Tapi aku tidak melakukannya," sambung Tae Woo mengatakannya dengan jelas jika pria itu tidak akan melakukannya juga.
"Sialan," kesalnya pada Tae Woo, Tae Woo yang melihat seberapa bodoh dan kesalnya Hoo Sik saat menyadari jika Tae Woo akan menerima dan melakukannya. "Langsung saja kau ingin apa, Tae Woo." Pria itu terlihat terkekeh kecil, dia tidak langsung mengatakannya, namun mata besar tajam milik Tae Woo terlihat terus melihat pada setiap titik dan sudut ruangan milik Jung Hoo Sik.
"Ruanganmu." Tae Woo tidak langsung mengatakannya, kali ini mata lebar itu melihat ke arah Hoo Sik agar tidak terjadi salah paham antara keduanya untuk kesekian kalinya. "Ya?"
"Kau membuang banyak uang untuk ruangan ini?" Akhirnya pertanyaan yang sejak tadi ingin dia tanyakan terlepas begitu saja. "Ya, itu cocok dengan apa yang ku dapatkan dengan kinerja bekerjaku selama bertahun-tahun. Apa kau ingin mengakuinya?" Tae Woo menggelengkan kepapanya pelan.
"Aku tidak berusaha menjilat uang milik perusahaan." Hoo Sik sedikit mengoreksi agar diantara dirinya dengan Tae Woo tidak terjadi salah paham dengan uang dan warisan juga. "Aku lebih lama di ruanganmu saat kau pergi, ruangan ini memang cocok untukku. Tapi ruang kerja bukanlah kamar, apa yang kau harapkan dari ruang kerja? Semua hanya untik bekerja dan profesional bukan?" Apa yang Hoo Sik katakan pada Tae Woo kali ini benar-benar logis, Tae Woo bahkan menarik satu senyum tipis tanpa suara.
"Kak." Tae Woo memanggil Hoo Sik dengan suara yang lembut tanpa dibuat-buat, kali ini pria itu ingin meluruskan masalah keduanya. "Apa?"
"Aku datang ingin damai sebentar denganmu," ucapnya membuat Hoo Sik memutar bola matalanya sampai kepalanya menggeleng kecil. "Kau hanya ingin sebentar?" tanya Hoo Sik tidak terkejut dengan beberapa hal lucu yang tidak seharusnya Tae Woo katakan lada Hoo Sik saat itu.
"Iya, aku ingin sebentar saja." Bodohnya lagi Kim Tae Woo benar-benar menjawabnya dengan wajah polos dsn lugu seperti tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. "Apa alasanmu tidak suka padaku, Kim Tae Woo." Hoo Sik bertanya pertanyaan kecil pada Tae Woo hanya ingin tahu saja, kali ini Tae Woo menggelengkan kepapanya pelan.
"Aku hanya membencimu saja, Kak Hoo Sik." Percayalah, seberapa gemas dan tidak habis pikir seorang Jung Hoo sik saat mendengar jawaban dari adik sepupu laki-lakinya saat ini.
"Apa kau sadar apa yang kau katakan, Kim Tae Woo?" Bahkan hanya untuk menyadarka Tae Woo Hoo Sik bertanya pertanyaan yang seharusnya Tae Woo sadari karena Hoo Sik pikir Tae Woo sedang mabuk.
"Aku sadar dengan apa yang ku katakan, Kak Hoo Sik."
"Aku memang sangat membencimu," jawabnya dengan menekan satu kata paling menyakitkan itu untuk mempertegas jika pria itu mengatakannya dengan sangat jujur.
"Apa alasanmu membenciku sampai seperti itu, Tae Woo?" Pria itu menggelengkan kepalanya pelan, bahkan kali ini Hoo Sik sedikit terkekeh karena pria itu masih menjawab pertanyaannya dengan tekad yang besar juga.
"Aku membencimu tanpa alasan sekarang, Kak."
"Tapi aku tidak tahu akan sampai dimana rasa benciku padamu berakhir. Aku hanya memiliki firasat mengerikan dimana kau benar-benar akan menjadi kakak sepupu laki-laki yang akan ku benci, Kak Hoo Sik." Tae Woo benar-benar mengatakannya dengan serius, dengan wajah yang menjelaskan jika Tae Woo sekarang tidak membencinya sanhat serius namun pria itu menjelaskannya dengan sangat percaya diri.
"Bodoh sekali," ejeknya. "Apa hari ini kita berdamai Jung Hoo Sik?"