Pukul sebelan malam sekarang.
Jung Hoo Sik sudah pulang limabelas menit sebelumnya, dan sekarang pris itu sudah sampai di rumah yang sudah berlebih dari lima tahun dia tinggali bersama dengan bibinya.
Jung Hoo Sik berusaha mati-matian untuk tidak menarik diri dan tentu saja hal itu sulit ilakukan oleh Hoo Sik, tapi semenjak kematian ayah dan ibunya pria malang itu tidak bisa mendapatkan apapun.
Keadilan, uang, harta kedua orang tuanya, tanah dan semuanya.
Seperti semeuanya sudah rusak begitu saja dan tidak bisa diambil, dan dimiliki. Hoo Sik masih bisa bersyukur karena bibinya mau mengurusnya, begitupun Tae Woo yang menerimanya sebagai sepupu walaupun hubungan keduanya masih sangat sering bertengkar dan baikkan seperti sebelumnya.
Ya, hari ini sama. Hari tepat dimana Tae Woo dan Hoo Sik berdamai dengan bertengkaran keduanya lagi dan lagi.
Hari ini malamnya, pria itu sengaja pulang lebih awal karrna dia ingin berbicara dengan bibinya mengenai perkembangan yang pria itu dapatkan dari Kim Tae Woo yang sangat berbeda dari sekian tahun keduanya hidup bersama.
"Bibi," panggil Hoo Sik karena dia bersyukur melihat bibinya sedang ada di ruang televisi tempat dimana wanita itu beristirahat. "Ya? Kau butuh sesuatu?" tanya nya, Hoo Sik menggelengkan kepapanya pelan, pria itu menyimpan tas dan beberapa ponselnya di atas meja makan dan memilih mencuci tangannya dulu sebelum berbicara banyak hal dengan bibinya.
Selesai mencuci tangan pria itu memilih langsung duduk di seberang sofa bibinya untuk mengatakan apa yang sudah dia niatkan sebelumnya.
"Aku ingin bicara," minta Hoo Sik pads ibu Tae Woo membuat wanita yang sudah membesarkan Hoo Sik dari umur yang masih remaja memilih untuk mematikan televisi dan mulai berbicara. "Katakan, bibi akan mendengarkanmu." Respon yang baik untuk wanita yang memiliki perasaan yang cantik dan ramah untuk leponakan laki-lakinya.
"Aku berbaikan dengan Kim Tae Woo, ini kabar yang baik karena pria itu benar-benar sudah mulai berubah, bibi." Wanita tadi memutar bola matanya malas, menunda dsn memaksa dirinya sendiri untuk tidak melakukan apapun, pada akhirnya wanita itu memilih angkat bicara.
"Dua tahun sebelumnya kau juga mengatakan ini, Hoo Sik," jawabnya. "Apakah semua berakhir sama? Tidak semudah itu, Tae Woo itu keras kepala. Bibi tidak bisa mengendalikannya. Karena itu bibi hanya bisa menggunakan cara yang sama bagaimana Tae Woo inginkan." Apa yang dikatakan ibu Tae Woo memang benar.
Hoo Sik sangat ingat bagaimana pria itu mengatakan hal yang sama sebelumnya dan berakhir sama juga. Pria itu menghela nafasnya berat. "Tidak ada salahnya memaafkan Tae Woo, bibi." Dengan perasaan yang sama lagi-lagi Hoo Sik memilih memberi kesempatan untuk kesekian kalinya kepada Tae Woo.
"Dan kau akan membuatnya terus menjadi anak kecil? Jung Hoo Sik, dia pria dewasa, yang seharusnya dewasa dengan umurnya, jika dia tidak bisa, maka gunakan cara kasar bagaimana dia memperlakukan kita, Hoo Sik." Bibinya memang benar, apa yang wanita itu katakan memang benar.
Tapi melihat bagaimana bibinya menggunakan caranya sendiri, apa sampai detik ini wanita itu bisa melihat wajah putranya sendiri?
NO!
Wanita itu tidak bisa melihatnya, bahkan besok dan untuk kesekian kalinya pun bisa saja Tae Woo akan menghindar dari ibunya.
"Aku tahu, bibi." Jung Hoo Sik pada akhirnya menimpalinya apa yang bibi katakan padanya. "Ada satu kemungkinan yang tidak bibi ketahui sebenarnya dari putra bibi." Hoo Sik mulai angkat bicara apa yang dikatakan Tae Woo padanya tadi pagi.
"Apa?"
"Kim Tae Woo sebenarnya tumbuh dengan sangat baik dan dewasa, bibi hanya tidak melihatnya." Hoo Sik pada akhirnya berani berbicara pada ibu Tae Woo soal bagaimana wanita itu selalu menilai Kim Tae Woo hanya pria keras kepala dan egois yang tidak bisa menjalani hidupnya dengan baik dsn mandiri.
"Kau tidak tahu apa yang Tae Woo pikirkan, Hoo Sik. Kau tidak tahu, bibi ibunya, dan bibi tahu bagaimana Tae Woo berpikir dan bertindak." Hoo Sik menghela nafasnya berat, dia tahu jika apa yang dia katakan tidak akan pernah didengar, dan Hoo Sik juga tahu jika apa yang dia katakan tidak akan pernah bibinya percaya sedikitpun.
Bagaimana Tae Woo yang selalu melakukan semua tugas dari perusahaan tanpa melewatkannya, dimana Tae Woo benar-benar terlambat datang dan selalu menyelesaikan tugasnya dengan lembut setiap hari.
Sebenarnya bibinya tidak tahu banyak mengenai Tae Woo, tapi entah kenapa firasat ibu yang terlalu berlebihan atau memang bibinya sama sekali tidak tahu mengenai putranya.
"Jung." Wanita tadi memanggil marga keluarga milik Hoo Sik untuk tidak meninggalkannya lebih dulu. "Apapun yang terjadi kau harus membuat perusahaan besar milik peninggalkan kakekmu berkembang dengan baik, kau harus membantu Kim Tae Woo, Hoo Sik. Bibi sangat takut kehilangan Kim Tae Woo." Hoo Sik terkekeh, dia menganggukkan kepalanya pelan.
"Bibi jangan khawatir, aku akan menjaga Tae Woo bagaimana baiknya bibi menjagaku, aku tidak melihat aku melakukannya karena hutang budi, bibi. Hanya saja bagiku, kita memang benar-benar keluarga tersisa." Wanita tadi menghela nafasnya berat, menolak lupa memang benar.
Kedua orang tua Jung Hoo Sik meninggal, dan tidak tersisa apapun, harga, uang, dan tempat tinggal. Saat masa hidupnya, adik ibu Hoo Sik sama sekali tidak melakukan korupsi atau penggelapan dana uang perusahaan, hanya saja setelah rusaknya rumah besar milih Jung Hoo Sik, semua uang, dan aset milik perusahaan sedang milik ayah Hoo Sik berhasil ditarik polisi dengan tuduhan jika pria itu melakukan kesalahan besar dengan penggelapan uang perusahaan, dan tidak menggaji semua karyawannya selama lima bulan terakhir.
Tentu saja itu mengejutkan semua orang termasuk Jung Hoo Sik yang hanya fokus pada kuliahnya dibuat tidak berdaya sama sekali. Pria itu benar-benar dalam masalah besar, bahkan untuk dirinya sendiri yang didapat hanya depresi berat ditinggal kedua orang tuanya.
"Bibi hanya tidak berdaya, Hoo Sik." Pria itu memilih menghela nafasnya berat tanpa mengatakan apapun, dia menganggukkan kepalanya sebagai respon yang baik.
"Aku akan ke kamar dulu, bibi," pamitnya pada bibinya membuat wanita tadi menganggukkan kepalanya pelan. "Jangan menganggap candaan apa yang bibi katakan padamu, Hoo Sik. Bibi meminta padaku dengan serius," ucapnya.
Sebagau satu-satunya harapan bibinya Hoo Sik hanya bisa menganggukkan kepalanya pelan dan tersenyum tipis. "Aku tahu caraku merespon apa yang harus ku dengar, bibi. Aku akan melakukan apapun yang bibi katakan padaku." Wanita tadi menganggukkan kepalanya pelan, dia membiarkan Hoo Sik masuk kamarnya untuk beristirahat di kamarnya.
Selama ini, sejauh ini, dan belum lama ini juga ibu Tae Woo merasa jika hidupnya sedikit berwarna karena ada Hoo Sik. Karena jika Tae Woo pergi darinya dengan ada dan tidak adanya Hoo Sik, wanita itu merasa akan kesepian.
Atau mungkin karena keberadaan Hoo Sik? Ah lupakan.
Hoo Sik menaiki anak tangga menuju lantai dua, langkahnya terus berjalan setiap langkah sampai pada amat tangga terakhir.
Ada lima kamar yang baik ditempati di sana. Kamar bibi dan pamannya, kamar Tae Woo, kamar dirinya dan dua kamar yamu.
Saat langkah tidak jauh dari kamar Tae Woo Hoo Sik memilih untuk mampir sebentar.
Kamarnya selalu dikunci, kunci asli dan cadangan semuanya dipegang Kim Tae Woo, tidak pernah dibersihkan dan dimasuki semenjak pria itu memilih pergi dari rumahnya sendiri.
"Seharusnya kau menunggu penjelasan dariku, Kim Tae Woo." Hoo Sik keberatan, pria itu melirik pada pintu kamar Tae Woo untik kesekian kalinya. "Kau menjadi tuli dan kau yang tidak tahu kebenarannya, Kim Tae Woo." Hoo Sik menghela nafasnya berat, dia mulai berjalan menuju kamarnya dan meninggalkan perasaan tidak nyamannya kali ini.
"Kau akan sangat menyesal juga jika kau menutup telingamu rapat-rapat dari kebenaran."
Sesampainya di kamar Hoo Sik melepas semua pakaian luarnya, tas, jam tangan dan tas miliknya.
Menatanya dengan rapi dan memilih langsung berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya sendiri dan menyelesaikan aktifitas lainnya.
Setelah mandi dan membersihkan tempat tidurnya Hoo Sik memilih untuk langsung merebahkan tubuhnya dan mengambil ponselnya untuk melihat-lihat apa saja yang dia lupa.
Hoo Sik membuka galeri tempat dimana ada ribuan foto di ponselnya.
Pria itu mendapatkan foto yang sama, yang selalu membuatnya lemah dan tidak berdaya. Foto dimana foto terakhir antara dirinya dengan kedua orang tuanya.
Delapan tahun yang lalu? Entahlah, Hoo Sik lupa mengingatnya.
Dimana Hoo Sik beberapa minggu pertama berhasil kuliah dengan usaha yang dia lalui selama ini.
"Ayah, ibu." Hoo Sik menghela nafasnya berat, pria itu kali ini lebih memilih diam dan melirik ponselnya untuk kembali mengingatnya.
×××××
"Kau senang dengan semua pakaian yang ibumu belikan untukmu tadi siang?" tanya ayahnya yang saat itu tersenyum cerah dari kepulangannya bekerja satu jam setelahnya.
"Iya, ibu membelikanku sepuluh pakaian yang bisa ku pakai setiap hari untuk datang ke kampusku. Ini semua ide ayah?" tanya Hoo Sik yang saat itu masih terdneyum senang bagaimana ayahnya benar-benar memberikan apa yang dia inginkan apapun yang terjadi.
"Ya. Sepenuhnya ide ibumu juga, dia mengusulkannya, ayah hanya memberi card, dan ibumu yang menemanimu." Jung Joo Sik menghela nafasnya senang, dia sama sekali tidak bisa menahan perasaannya sama sekali.
"Aku senang."
"Terimakasih, ayah, ibu." Keduanya tersenyum dan makan di luar karena sedang mendapatkan untung yang banyak dan uang yang sangat bisa digunakan untuk makan malam bersama di luar.
"Aku merasa sangat senang jika ayah bisa meluangkan waktu ayah untukku. Ibu juga," ucap Hoo Sik saat keduanya sudah sampai di tempat makan ketiganya delalu meluangkan setiap dua bulan satu kali untuk makan bersama.
"Maafkan ayah dan ibu, Hoo Sik sayang. Ayah dan ibu belum bisa memberikan yang terbaik untukmu," ucap ayahnya yang saat itu membuat Hoo Sik menghea nafasnya berat. "Aku juga belum bisa memberikan yang terbaik untuk ayah dan ibu." Hoo Sik mengatakan hal yang sama untuk kedua riang tuanya juga.
"Percayalah pada kami, nak. Kami benar-benar menyayangimu apapun yang akan terjadi dimana yang akan datang."
×××××
Hoo Sik menghela nafasnya berat menyadari jika air matanya benar-benar tumpah lagi.
"Apa yang kalian sembunyikan dariku sebenarnya. Ayah, ibu."