Tubuh Mayang seketika bergetar semakin hebat, terkejut begitu melihat apa yang ada di hadapannya. Ia tak menyangka sama sekali, bahwa dalam hidupnya akan ada masalah serumit dan semenyedihkan ini. Padahal, jauh sebelum pernikahan terjadi, dia dan Jimi telah menghabiskan waktu selama tiga tahun. Dan selama itu pula, mereka selalu menjaga komitmen untuk setia.
"Apa ini, Bang?" batinnya.
Mayang melangkah maju tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya, tetapi degup jantung berdebar-debar layaknya sebuah dentuman musik. Ia menelan ludah, berpikir, apa yang kurang dalam dirinya selama ini. Cantik sudah, langsing sudah, bersikap layaknya seorang istri idaman pun sudah ia lakukan.
"Dek ...." Jimi yang baru selesai memasang baju tak berkutik begitu Mayang datang, ia bergumam. "Abang bisa jelaskan semuanya. Percayalah, ini tidak seperti apa yang kamu lihat, Dek!"
Namun, Mayang dengan setumpuk amarah dalam hatinya tetap diam. Dia terus melangkah tanpa mengalihkan tatapan dari tersangka utamanya itu.
"A-abang khilaf!" Jimi bergumam lagi.
"Jangan percaya dia, May!" Tiba-tiba Hani pun datang. Dia terengah-engah di ambang pintu, setelah berjibaku menahan perlawanan wanita yang menjadi tersangka ke dua. "Dia bukan khilaf. Tapi doyan!" teriaknya lagi, penuh kebencian.
Namun, Mayang tetap tak berkata sampai langkahnya benar-benar mencapai target. "Pake celanamu, Bang."
"May!" Hani meneriakinya. "Apa yang kamu lakukan, hah? Dia itu sudah jelas berselingkuh! Pukul, atau tendang kepunyaannya sekalian!"
"Pasti! Tapi tidak sekarang, Han." Mayang menahan geram, sampai mengepal erat kedua tangan berjemari lentiknya itu. Lantas dia memegang perut sambil membatin, agar anaknya itu tak berkelakuan seperti Jimi.
"Jangan begitu, Dek. Aku mohon maafin Abang." Jimi pun buru-buru memakai celananya yang baru terpasang sampai lutut. "Kamu jangan mendengarkan apa kata Hani. Dia itu hanya kompor."
"Apa?!" teriak Hani yang seketika itu langsung menerjang Jimi sampai terjengkang ke ranjang. "Kompor kau bilang?!" tanyanya, begitu sudah menindih dan mengarahkan kepalan tangan pada Jimi, hendak memberi bogem mentah. "Asal kau tahu, ya! Kompor lebih berguna dari pada lu yang sukanya mengobok-ngobok pelacur macam yang punya rumah ini. Dasar jahanam!"
"Sialan! Beraninya kamu memukulku?" Jimi tak mau kalah, dia langsung menahan bogem yang hampir saja melayang ke arahnya. Lalu, dengan sekali dorongan, dia berhasil mendorong Hani sampai jatuh ke ranjang.
"Bang!" teriak Mayang, begitu Jimi hendak menindih Hani dengan kepalan tangannya yang siap balas menonjok. "Sekali saja Abang berani memukul, Hani. Aku tidak akan pernah memaafkanmu!" lanjutnya, yang tak beranjak sedikit pun dari hadapan Jimi.
Dalam hitungan detik kepalan tangan Jimi langsung merelai. Dia pun langsung kembali duduk, setelah menatap Hani dengan penuh ancaman. "Kalau saja bukan karena Mayang. Kuhabisi kau!"
"Kau yang seharusnya dihabisi!" teriak Hani sambil beranjak bangun dan merapikan rambutnya yang berantakan. "Brengsek!"
Bagaikan bara tersulut api, Jimi kembali mengepalkan tangan kekarnya itu dalam sekejap. Bahkan dia berhasil mendorong Hani sampai terjengkang lagi.
"Bang!" teriak Mayang kembali.
"Temanmu ini resek. Dia perlu diberi pelajaran agar tak mencampuri urusan rumah tangga orang." Jimi menatap istrinya itu. Namun, tatapan Mayang justru membuatnya sadar akan kesalahan sendiri.
"Kau yang harusnya diberi pelajaran!" teriak Hani sambil menjambak rambut Jimi. Tak tanggung-tanggung, dia pun menonjok dan memukuli punggung Jimi tanpa henti.
"Hani! Ya Tuhan. Sudahlah! Percuma kamu memukulinya." Mayang pun merelai, tapi amarah Hani justru melebihi amarahnya.
"Diamlah kamu, May. Biar aku yang memukulnya kalau memang kamu nggak bisa!" Hani menang banyak, karena jambakannya membuat Jimi tak bisa berkutik. Lelaki berperawakan tinggi sedang itu hanya meringis dan mengaduh kesakitan.
"Tolong lepaskan macan tutul ini dari tubuhku, Dek May. Dia ganas sekali. Kamu kenapa bisa berteman sama dia, sih?" Jimi meracau sambil menangkup kepala, agar terjaga dari pukulan Hani.
"Ganas kamu bilang?" Hani semakin marah. "Biar kutunjukkan, seganas apa aku, hah!"
"Han ... sudah hentikan. Biar kita siksa dia di rumah. Jangan di sini!" Mayang pun menarik-narik tangan Hani, mencoba melepaskannya dari tubuh Jimi yang sudah ambruk dan ditindih.
"Nggak, May. Gemas sekali aku melihat lelaki macam dia. Jadi biar kuhabisi saja dulu dia di sini!" Hani masih menghantam tubuh Jimi dengan kedua kepalan tangannya yang gemetar.
"Ya, Tuhan!" teriak seorang perempuan dengan napas berat. "Kalian apakan kasurku sampai berantakan seperti itu?"
Hani dan Mayang menoleh ke arah pintu dengan tatapan tajam. "Diam kau lacur!" teriaknya bersamaan, sampai membuat wanita simpanan Jimi itu tersentak.
"Tapi ini rumahku!"
"Lalu kenapa suamiku ada di sini, hah?"
Mayang yang tadi sempat berhasil meredam emosinya terhadap Jimi, tiba-tiba kembali marah dan berapi-api begitu melihat wanita lain di belakangnya. Dia lantas melangkah maju, mendekati wanita yang bajunya saja sudah robek saat tadi bergelut dengan Hani.
Wanita itu tak menjawabnya, bungkam seribu bahasa.
"Kenapa tak menjawab, hah? Malu kau akui diri sebagai pelakor?" Bibir Mayang terangkat sebelah, menertawakan orang tak bermoral di hadapannya itu. "Malu kau, hah?" tanyanya sekali lagi, sambil mendorong wanita itu sampai hampir terjengkang.
"Habisi dia, May!" teriak Hani yang kemudian lengah dan berhasil didorong Jimi.
"Jangan sakiti Ana, May!" Jimi langsung beranjak bangun begitu lolos dari cengkeraman Hani. Lalu berlari menghampiri Mayang yang baru saja hendak menjambak wanita selingkuhannya itu.
"Oh ... jadi namanya Ana?'" Mayang pun menoleh, melihat Jimi dengan emosi yang tak lagi dapat diredam. "Dan Abang membelanya?"
"T-tidak-tidak! Bukan itu maksudku, Dek. Tapi—"
"Jangan dengarkan dia, Maya. Habisi wanita itu sekarang!" teriak Hani sambil beranjak bangun juga dari ranjang. "Dia pantas untuk mendapatkannya!"
Mayang langsung meronta, lalu menepis cengkeraman Jimi untuk bisa mendapatkan Ana. Dia berhasil karena Hani membantunya dengan memukuli Jimi dari belakang. Ana dijambak, dipukul dan ditendang. Namun, sesekali kena, sesekali tidak karena Ana mengelak dan bersembunyi di balik tubuh Jimi.
"Dasar wanita murahan! Nggak ada akhlak!" teriak Mayang sambil mencoba untuk memukul Ana. Namun, Jimi terus saja menghalanginya. Membuat Mayang akhirnya memukuli Jimi terus-menerus.
"Habis kau!" Hani pun mendapatkan Ana, lalu menjambaknya kuat-kuat.
"Sakit! Lepaskan aku!" Ana meronta, menangis. Dan Jimi lagi-lagi membantunya, menyingkirkan Hani. "Kalian benar-benar brengsek!"
"Kau yang brengsek!" timpal Mayang yang lepas dari cengkeraman Jimi, sambil menjambret pakaian Ana yang seketika robek sempurna.
"Astaga, Dek!" Jimi kewalahan akibat ganasnya dua wanita yang menyerang Ana. "Abang mohon jangan lakukan ini. Kita bisa bicarakan ini baik-baik."
"Baik-baik mulutmu!" Mayang tetap beraksi, tak kalah ganas dari Hani. "Apa kau pikir, aku dan anakmu yang bahkan baru bisa bergerak ini mau bicara baik-baik, Bang!"
"A-abang tahu Abang salah. Tapi please!" Jimi memohon. Bahkan, air matanya seketika mengalir. Dia benar-benar kebingungan.
Namun, saat Ana mendengar pernyataan Mayang, dia langsung terpikir bahwa istri dari selingkuhannya itu sedang mengandung. Tak ingin terus-menerus dalam ancaman, dia pun terpaksa menendang perut Mayang sampai jatuh terjengkang.
"Astaga ... perutku sakit, Han!" Mayang mengaduh, dengan kedua tangan seketika memegang perut. Sementara matanya terpejam dengan air mata merebak. Kesal, sedih, dan takut langsung tercampur aduk.
"Ana!" Jimi terkejut. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya, seraya langsung meraih Mayang dengan tatapan marah ke arah Ana.
Pun dengan Hani yang seketika berhenti menyerang dan langsung menenangkan Mayang. "kamu nggak apa-apa, May?" tanyanya.
"M-maaf! Aku hanya ingin menghentikannya." Ana yang berpenampilan layaknya gembel pun semakin ketakutan. Dia meremas jemarinya, lalu sesekali menyalipkan rambut sepinggang yang berantakan itu ke balik telinga.
"Kalau sampai terjadi apa-apa sama bayinya, mati kau!" Hani berseru sambil memegang kuat jemari Mayang, dengan tatapan tajam ke arah Ana. "Aku akan menjebloskanmu ke penjara!"
Ana seketika terhuyung, jatuh dengan kedua tangan menyentuh lantai. Kepalanya tertunduk, membuat rambut panjangnya itu menutupi seluruh permukaan wajah. "Tolong maafkan aku," desahnya, tanpa peduli dengan pakaian yang sobek di mana-mana.