Jam di dinding berdetak tanpa henti. Hani melihatnya sekilas, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih. "Tidak akan pernah ada maaf untuk wanita sepertimu! Apalagi kalau sampai Mayang dan bayinya kenapa-kenapa!" bentaknya pada Ana yang masih duduk menunduk di lantai.
"Lupakan dulu masalah ini. Please!" kata Jimi, balas membentak Hani. "Perut Mayang harus diperiksa. Dia harus dibawa ke dokter atau bidan."
"Tapi di mana bidannya, Brengsek!" Hani pun meracau, kesal.
"A-aku tahu! Aku tahu rumah bidan di daerah ini." Ana mengangkat wajahnya yang tak berupa wanita elegan lagi. "Jaraknya sekitar tiga ratus meter dari sini. Jalannya ke arah kanan. L-lurus, nggak ada belok ke kiri ataupun kanan. Kalian pasti akan menemukan plang nama di sisi kiri jalan."
"Nyalakan motormu, Han. Kita berangkat!" titah Jimi, dengan sorot mata ketakutan pada Hani. Takut kalau teman istrinya itu akan menghajarnya habis-habisan.
"Yakin? Aku takut kalau dia hanya membual!" Hani pun menatap tajam ke arah Ana.
"Aku akan mengantarmu kalau perlu!" Ana pun balas berseru. "Please!"
"Astaga! Banyak drama sekali dalam misiku ini. Kenapa pula malah Mayang yang celaka?" Hani q benar-benar merasa geram. "Tapi baiklah. Daripada nyasar, lebih baik kamu memang mengantar kita ke sana."
Jimi berdecak. Sementara Hani terus mengaduh, merintih kesakitan sambil mencengkeram erat pergelangan tangan temannya itu. "S-sakit, Han. Ya Allah. Tolong jangan ambil anakku," lirihnya, parau.
"Beri aku waktu sebentar. Aku nggak mungkin keluar dengan pakaian seperti ini." Ana pun beranjak bangun, meski terhuyung.
Hani pun tergelak, merasa lucu. "Cepatlah bungkus tubuh kotormu itu, Ana. Jangan lama!" serunya, tanpa berpikir. Seolah dirinya adalah gadis baik-baik.
"Jaga bicaramu, Han!" Jimi yang sudah menggendong Mayang pun memarahi teman dari istrinya itu lagi. "Dan cepat nyalain motor!"
"Astaga!" Hani pun kesal karena Jimi lagi-lagi lebih membela Ana. Namun, melihat Mayang yang semakin kesakitan dia pun buru-buru berlari ke luar untuk menyalakan motornya.
Jimi mengikutinya, mengekor di belakan Hani sambil meminta maaf berulang kali pada Mayang. Namun, Mayang sama sekali tak menanggapinya. Dia sibuk mengaduh, dan mengusap-usap perutnya.
"Demi Allah maafin aku, Dek. Aku menyesal," desahnya, berurai air mata. "Aku nggak bermaksud untuk menyakitimu. Apalagi sampai membuatmu celaka seperti ini."
"Buruan kenapa!" Hani yang sudah duduk di motornya pun menoleh, melihat Jimi. "Si Ana lama pula lagi!"
"Kita jalan duluan aja, Han!" kata Jimi begitu mendudukkan Mayang di jok belakang. "Eh, tapi kayaknya nggak bakal muat kalau bertiga."
"Duh ... gimana dong?" Hani pun menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali. Pusing karena keadaan. "May, kamu bisa duduk sendiri, kan?"
Mayang pun mengangguk. "Cepatlah, Han. Aku sudah nggak tahan ini. Sakit sekali rasanya."
"Ya, sudah. Kalau gitu biar aku yang bawa motornya," kata Jimi, menyambar. "Buruan turun!" lanjutnya pada Hani.
"Hah? Terus ... aku gimana?" Hani langsung menunjuk dadanya seraya turun dari motor.
"Sama Ana!"
"Males!"
"Ya, sudah tunggu di sini aja kalau begitu."
"Ih ... nggak mau, ah."
***
Sesampainya di rumah bidan setempat, Mayang langsung mendapatkan penanganan terbaik. Tensi darahnya di cek, begitu juga dengan detak jantung bayinya yang masih dalam kandungan.
"Tensi darahmu tinggi sekali, Mbak. Tapi syukurlah ... detak jantung bayimu berjalan normal."
Bidan yang bahkan sudah memakai daster itu bernapas lega, setelah tadi ikut khawatir karena mendengar penjelasan Jimi tentang kenapa Uni bisa mengaduh sakit.
"Syukurlah, Bu." Mayang pun bernapas lega, meski perutnya masih terasa sedikit sakit.
"Coba rileks, ya. Biar kuperiksa posisinya lagi."
Mayang langsung menarik napas dari hidung dan membuangnya lewat mulut. Perlahan, bidannya itu pun menekan-nekan perutnya pelan.
Sementara itu, Jimi, Ana, dan Hani menunggu dengan resah di ruang tunggu. Ketiganya diam membisu, walau sesekali tatapan Hani seolah penuh ancam pada Jimi dan Ana.
"Tunggu pembalasanku!" rutuknya dalam hati, tanpa mengalihkan tatapan dari Jimi yang duduk di ujung kursi sebelah kanannya. "Kamu akan menerima pembalasan dari perbuatanmu ini!"
Jimi pun buru-buru melengos, menghindar dari tatapan Hani yang serupa macan lapar hendak memangsa buruannya. Perempuan usia dua puluh lima tahun itu terlihat lebih kejam dari istrinya sendiri.
"Habislah aku!" Jimi pun bergumam dalam hati.
Tatapan Hani lantas beralih pada Ana yang duduk di kursi pojok sebelah kirinya. Tak kalah geram dan tajam, seperti apa yang dilakukannya pada Jimi.
"Kamu pun!" batinnya lagi. "Ish! Kalau saja tak sedang di rumah bidan, ingin kucincang rasanya kalian ini."
Hani menahan mengepalkan tangan, menahan geram sampai bergemeletuk gigi putih nan rapinya itu. Wajahnya bahkan memerah, saking merasa marah atas kejadian yang baru saja menimpa Mayang.
Namun, begitu pintu ruang pemeriksaan terbuka, kepalan tangannya tiba-tiba melerai. Gemeletuk bibirnya langsung berhenti. Merah di wajahnya pun seketika memudar. Amarah yang baru saja menguasainya menghilang dalam sekejap.
"Bagaimana keadaan Mayang dan bayinya, Dok?"
Hani dan Jimi menanyakan hal yang sama bersamaan, begitu bidan keluar menemui mereka. Sementara Ana hanya berdiri, mematung di belakang keduanya.
"Alhamdulillah, keduanya baik-baik saja, kok. Kalian nggak usah cemas lagi." Bidan itu menjawab dengan nada santai.
"Sudah boleh masuk?"
Lagi-lagi, Hani dan Jimi bertanya hal yang sama.
"Boleh. Tapi, sebaiknya Mbak Mayang segera beristirahat. Biar besok dia merasa baik," jawabnya sambil tersenyum. "Sementara itu, saya akan menyiapkan obat-obatan."
"Ok, Bu. Terima kasih."
Hani dan Jimi langsung berjalan masuk, lalu berdiri bersampingan di sisi kanan ranjang. Mayang tersenyum tipis pada Hani, tapi tidak pada Jimi. Pun saat suaminya itu bertanya, dia justru lebih memilih menjawab pertanyaan Hani.
"Syukurlah kalau semuanya baik-baik saja. Aku khawatir!" kata Hani, begitu mendengar kabar baik. Lantas dia memegang jemari Mayang, untuk menguatkan mentalnya. "Dengan begitu, kita bisa langsung pulang."
"Pulang?" Jimi mengernyit. "Ini kan sudah malam. Lihat, hampir jam sebelas."
"Terus, maksudmu kita harus tidur di jalan gitu?" Hani langsung mencerca Jimi dengan kata-kata sepedas sambal mereconnya.
"Y-ya nggak gitu juga, Han."
"Lalu ...?" Hani menjeda kata-katanya sambil memutar bola mata. "Kita harus tidur di rumah wanita jalang itu, hah?"
"Kita bisa minta untuk menginap di sini, 'kan?"
"Ini rumah. Bukan klinik, Bang!"
"Maaf?" Bidan yang merawat Mayang tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Memangnya kalian dari mana? Kok, pada bingung begitu?" tanyanya, sambil melangkah maju.
"Eh, Bu Bidan?" Jimi langsung menoleh. Begitu juga Hani yang seketika menyengir.
Mayang yang takut kalau sampai masalahnya diketahui orang lain pun memegang tangan Hani, sebagai kode agar temannya itu tak bicara jujur.
"K-kami, sebenarnya ... kami dari luar kota." Hani akhirnya berbohong. Membuat bidan di hadapannya itu mengernyit heran.
"Mereka teman-teman saya, Bu. Baru datang tadi sore." Ana yang juga tiba-tiba muncul di ambang pintu langsung menyela. Membuat mulut Hani dan Jimi seketika terkatup rapat.
"Oh...." Bidan di hadapan pun mengangguk-angguk sambil tersenyum, paham. Lagi pula, ia tak punya hak untuk bertanya-tanya.
"Iya, Bu. Kalau begitu, kita bisa pulang sekarang, 'kan? Obatnya sudah kuambil, nih." Ana pun berusaha membangun agar mereka lepas dari pertanyaan baru.