Embusan angin pagi, seolah mengalunkan tembang kepedihan. Iramanya membisikkan bait-bait pilu menyayat hati, sampai membenamkannya sampai ke dalam dasar luka. Wajah tirus Mayang yang biasa selalu ceria karena kehamilannya, sekarang justru bermuram durja di sepanjang jalan menuju pulang. Kadang tertunduk, kadang menatap lurus ke depan untuk memperhatikan jalan. Kadang juga melihat ke sekeliling.
Dia tak tahu, siapa yang pantas untuk disalahkan dalam kasusnya sekarang ini. Perselingkuhan yang dilakukan suaminya benar-benar membuat ia berpikir, apa yang salah dalam diri, sampai berani Jimi bermain hati. Padahal, selama dua tahun menjalin ikatan sebuah pernikahan, dia selalu berusaha melakukan yang terbaik.
Mayang tak pernah alfa merawat diri. Mulai dari merawat rambut sampai ujung kaki ia lakoni. Belum lagi urusan rumah, perut, dan ranjang ia lakukan dengan senang hati demi menyenangkan sang suami. Namun, ternyata, itu tak cukup membuat suaminya setia menjaga satu hati. Jimi justru selingkuh dengan menyamarkan statusnya sebagai seorang suami.
Langit cerah di atas sana pun menjadi saksi, betapa hancur dan patah setiap apa yang diimpikannya dalam pernikahan. Mayang benar-benar tak tahu, bahkan tak yakin untuk bisa mempertahankannya lagi. Sekali pun Tuhan tetap mempersatukan ikatan di antara mereka, bumbu yang tersaji di dalamnya tak kan lagi terasa pas. Mayang yakin akan hal itu. Karena kaca yang sudah pecah, tak mungkin bisa disatukan kembali. Kalau pun bisa, akan ada guratan-guratan kecil yang menghiasinya.
Mayang mendengkus, begitu jalan yang dilihatnya sudah sedemikian dekat dengan tujuan. Tinggal beberapa ratus meter lagi untuk mereka bisa tiba di kampung. Sementara itu, Hani yang duduk di bagian paling belakang, terus saja mengusap-usap pangkal lengan temannya itu. Dia sadar betul, kalau Mayang sedang menahan pedih yang sekarang tengah mengguncang jiwa serta raganya.
"Aku yakin kamu bisa, May. Kamu kuat!" bisik Hani, begitu tegas dan meyakinkan. Bahwa memang, Mayang belum sepenuhnya tahu perihal perselingkuhan Jimi.
"Insya Allah. Doakan aku saja Han, biar nanti aku dan bayiku tetap terjaga dari kewarasan." Mayang menimpalinya, dengan perasaan yang sama. Ia mungkin sudah bisa lebih kalem. Tapi perasaannya tak dapat ia gambar.
"Tentu," balas Hani, seketika. Iya yang juga mulai memikirkan sesuatu itu pun melamun.
Jimi yang sedari berangkat menyetir motor mengerutkan dahinya, penasaran tiap kali Hani dan Mayang saling berbisik. Dia takut, sekaligus curiga kalau Hani akan mempengaruhi pemikiran istrinya. Padahal, jauh dari prasangka buruknya, Hani tidak pernah menyarankan perceraian.
"Bentar lagi kita sampai, Dek." Jimi yang sedari tadi diam pun angkat bicara, sambil melirik kaca spion. Dilihat wajah sembap Uni dari sana. Namun, istrinya itu sama sekali tak memberi tanggapan.
Hening. Jimi mendengkus kesal, karena tak dianggap sama sekali oleh istrinya itu. Membuat ia akhirnya kembali fokus menyetir.
"Di depan belok kiri, Bang!" titah Mayang, setelah beberapa menit lamanya dia terdiam.
"Loh, mau ke mana kita?" Jimi langsung terdengar panik. Pasalnya, alih-alih menjaga kebun juga, Jimi justru merabut singkong.
"Rumah Ibu!"
"Astaga, Dek. Apa yang akan kamu lakuin? Kenapa kita harus ke rumah Ibu?"
Mayang tak menjawab lagi. Membuat Jimi menghentikan laju motor yang dibawanya perlahan. "Dek?" tanyanya, sambil menoleh setelah motor benar-benar berhenti di tepi jalan.
"Aku mau kita cerai!" Bergetar, jantung dan hati Mayang saat menjawab suaminya itu. Namun, dia sudah memikirkannya di sepanjang jalan.
"Cerai?" Jimi terkejut bukan main saat mendengar ungkapan Mayang istrinya itu mengangguk. "Kenapa harus cerai? Bukannya kamu mau maafin Abang kalau Abang mau ikut pulang?"
"Aku nggak pernah bilang seperti itu, Bang!"
"May. Aku turun di sini aja, deh." Jani pun menyela, di tengah obrolan sepasang suami istri itu.
"Dari tadi kek!" timpal Jimi, kesal. Namun, Hani benar-benar malas menanggapinya.
"Motor?" tanya Hani yang juga malas menanggapi Jimi.
"Bawa dulu ajalah. Rumah Ibu mertuamu kan masih jauh. Sementara rumahku udah dekat."
"Ok kalau gitu. Makasi, ya."
Mayang berusaha tersenyum, walau pun keadaan benar-benar membuatnya begitu hancur. Hani langsung mengangguk, lalu melambaikan tangannya sebelum benar-benar melangkah pergi.
"Tapi aku nggak mau ke rumah Ibu, Dek. Kita bisa selesaikan ini baik-baik berdua aja." Jimi tetap menolak.
"Kalau begitu turun kamu, Bang. Biar aku yang bawa motornya. Karena walaupun Abang mau ataupun nggak, aku bakal tetep ke rumah Ibu buat aduin kelakuanmu."
"Astaga, Dek. Tolong Abang sekali ini aja. Please!" Jimi pun memelas, memohon agar Mayang tak melaporkan kesalahannya pada sang Ibu. Namun, Uni tetap menggeleng. Bahkan, dia pun turun dari motor untuk mengambil alih posisi.
"Ok-ok!" Jimi langsung menelan ludah. "Ok kalau itu maumu. Abang akan membawamu ke rumah Ibu. Tapi, aku mohon pikirkan lagi. Aku mohon. Demi anak kita, Dek."
***
Begitu sampai dan dipersilakan masuk, Mayang langsung menghambur pada pelukan ibu mertuanya sambil menangis. Dia terisak, sampai sesenggukan di sana. Sementara itu, Jimi yang tiba-tiba langsung merasa takut akan amarah keluarga hanya tertunduk di ambang pintu. Matanya sama basah. Hanya saja dia tahan, air mata yang sedari tadi berontak ingin keluar.
"Jimi! Kenapa istrimu ini?" tanya Hesti, ibunya. "Kamu juga, bukannya kemarin pamit mau berangkat kerja lagi?"
"Itu, anu ... Bu." Mulut Jimi bagai terkunci. Sampai susah untuk menjawab dengan benar. Lagi pula, dia pun ragu untuk memberitahu ibunya itu.
"Anu apa?" Hesti semakin bingung. "Kalian berantem?"
"Ng-nganu, Bu."
"Nganu-nganu aja dari tadi. Ditanya tuh jawab yang bener. Lagian, kamu kok sama istri kasar banget. Buktinya, Mayang sampai nangis histeris gini." Hesti kembali menatap wajah Mayang yang tersembunyi dalam pelukannya. Lalu, dia mengusap lembut puncak kepala menantunya itu. "Bicaralah, Sayang. Ada apa?"
"Bang Jimi, Bu. Dia jahat sama aku!" ungkap Mayang pada akhirnya. Dia menarik dan mengembuskan napasnya pelan sambil menarik diri. Lalu menyapu air matanya, yang sudah sedikit lebih mereda.
"Jahat apa maksudmu?"
Mayang menoleh, melihat Jimi yang masih tertunduk lemah. Lelaki di hadapannya itu tak berdaya jika di hadapan sang Ibu. "Mau aku yang bilang, atau kamu sendiri, Bang?" tanya Mayang, parau.
"Loh, malah nanya begitu, sih? Mau ngomong ya ngomong aja, May."
Namun, Mayang dan Jimi justru terdiam. Keduanya bergeming, sibuk memikirkan sesuatu yang sama. Takut dan gugup.
"Mayang?" Hesti mengusap pangkal lengan anak menantunya. "Jimi? Jawab ibu!"
"Jimi selingkuh, Bu!" Akhirnya Mayang berani membuka mulut, meskipun lagi-lagi harus menahan rasa nyeri yang menyayat-nyayat hati.
"A-apa kamu bilang? Selingkuh?!"
"Bahkan lebih dari sekadar selingkuh, Bu!"
"M-maksudmu apa? Nggak mungkin Jimi selingkuh, May. Karena ibu tahu betul, kalau dulu ... Jimi yang ngebet mau nikahin kamu."
"Aku serius, Bu!" Mayang menelan ludah. Takut, kalau sampai ibu mertuanya itu tak percaya.
"Jimi!" Hesti pun mengguncang pundak anaknya. "Si Mayang ini ngomong apa? Kenapa dia bilang kamu selingkuh? Jelasin sama ibu sekarang!"
Jimi tetap bergeming, tertunduk lesu, menyembunyikan matanya yang tak bisa menyembunyikan kebohongan.
"Buktinya mataku sendiri, Bu." Mayang terisak lagi, dengan jantung berdebar-debar. "Aku melihatnya sendiri!"