Chereads / The Retro: Art and Death / Chapter 5 - Pendaratan Darurat

Chapter 5 - Pendaratan Darurat

"Innalillahi, kenapa ini?" gumam Bella.

Seisi kabin mulai panik. Beberapa diantaranya tidak, karena sangat yakin kalau ini pasti turbulensi.

Pesawat itu terus terguncang dengan hebat, sampai kepala Bella terbentur ke kursi di depannya.

"Seatbelt Kamu, pakai dan kencangkan," titah Tristan. Pria berprofesi sebagai polisi itu masih tampak tenang di tempatnya, menahan tubuh agar tidak goyah dengan berpegangan erat pada gagang kursi dan bangku depan.

Dengan susah payah, Bella mencari kedua ujung seatbelt yang Ia lepas ketika pesawat mencapai ketinggian stabil tadi. Ah, kini Ia menyesal.

"Kenapa Mbak?" tanya Sierra yang tak kalah panik. Sedari tadi Ia sudah melantunkan doa dan ayat suci memohon keselamatan.

Bella masih sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Ini … maaf." Entah sejak kapan Tristan sudah menemukan ujung kiri seatbelt Bella, dan kini Ia menemukan satu lagi di sisi kanan gadis itu, mengambilnya langsung, hingga Ia seolah sedang memeluk Bella dari samping depan.

KREK!

Sabuk itu sekalian Ia pasangkan, setelahnya Ia kembali ke posisi awal. Bella dan Sierra melongo ditengah paniknya melihat aksi Tristan itu. Bukan tidak sopan, hanya saja … sangat rapi dan tenang.

Alarm di pesawat berbunyi, pilot dari kokpit hendak kemudian berbicara, "Kepada seluruh penumpang, saat ini kita melewati cuaca buruk, turbulensi akan terjadi. Mohon eratkan sabuk pengaman Anda sekalian, dan bersiap jika instruksi lain diperlukan," ujarnya.

Suasana kabin kembali riuh, lantunan doa mulai terdengar dari setiap orang. Turbulensi yang dialami pesawat itu kian parah, guncangannya semakin besar. Bella, Tristan, dan Sierra memejamkan mata mereka, berdoa sebaik mungkin.

"Allahuakbar!"

Seru seluruh penumpang ketika pesawat itu condong ke bawah, alias menukik tajam tiba-tiba. Sangat mengerikan.

Tristan yang sedari tadi tenang kini ikut tegang, jantungnya serasa ingin lepas saja. Diliriknya Bella di sebelah kanan, gadis itu sudah tidak karuan, bahkan Ia menangis sembari memejamkan mata.

"Astagfirullohaladzim!" sebut Tristan ketika tubuhnya terpelanting ke belakang. Pesawat itu naik ke ketinggian tiba-tiba. Kembali, itu sangat curam.

"Hahhh!" seru Bella. Nafasnya kian sesak.

Pesawat itu kembali ke posisi normal, datar. Namun guncangan itu masih terjadi. Detik berikutnya, masker oksigen diturunkan. Pilot menginstruksikan seluruh awak pesawat dan penumpang untuk menggunakannya karena tekanan udara dalam pesawat menurun. Pesawat itu baru saja naik ke ketinggian yang tidak biasa untuk menghindari kondisi yang lebih buruk.

Tristan segera menggunakan masker oksigen miliknya, lanjut memeriksa Bella dan Sierra. Mereka sudah menggunakannya dengan baik. Instingnya sebagai aparat publik muncul, Ia menoleh ke kiri, depan, dan belakangnya, lalu membantu beberapa orang yang kesulitan atau salah menggunakan alat keselamatan itu.

Alarm dalam pesawat kembali berbunyi, pilot kembali berbicara, "Penumpang sekalian, pesawat mengalami kerusakan mesin. Kita akan melakukan pendaratan darurat di laut Jawa, segera kenakan pelampung masing-masing!" ujarnya.

"Innalillahi …"

"Astaga …"

Riuh seisi kabin, semakin panik karena pendaratan darurat jarang sekali mereka dengar akan berhasil.

Tristan menelan salivanya, dalam kepanikan itu Ia mencari dua rekannya, Jevan dan Yudha. Mencari mereka untuk bersiap membantu awak pesawat dalam evakuasi darurat di laut. Sebagai aparat kepolisian dan juga tentara, mereka dibekali ilmu seperti itu. Tidak hanya untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi juga orang lain.

Tidak kunjung menemukan dua orang itu di kabin yang gelap, Tristan nekat, berniat berjalan atau bahkan merangkak untuk mempersiapkan komunikasi darurat dengan polisi laut, atau kapal penyelamat sebelum terlambat. Ini malam hari, risiko hipotermia, hipoksia, dan orang hilang akan semakin tinggi.

Sebelum beranjak dari duduknya, Tristan masih sempat melirik pada Bella dan Sierra, "Pegangan yang kuat. Lindungi kepala kalian dengan tangan dibalik kursi depan," titahnya yang tidak direspon baik oleh Bella apalagi Sierra.

Suara Tristan tidak jelas karena Ia terseok seok dalam pesawat yang terus berguncang hebat tanpa henti.

Tristan lantas mengenakan pelampungnya, masker oksigen Ia lepas karena pesawat sudah berada di ketinggian normal. Tristan berjalan jongkok ke depan, ke ruang awak pesawat dengan susah payah. Seluruh penumpang meliriknya sesekali dibalik panik mereka. Sampai akhirnya di kursi nomor 50-an, Tristan menemukan Yudha dan Jevan.

"Bersiap untuk evakuasi darurat!"

"Siap Kapt!"

Mengetahui ada anggota kepolisian dan pasukan militer khusus dalam pesawat, awak pesawat lanjut berkoordinasi dengan mereka. Pesawat semakin menukik ke bawah, Tristan tanpa sabuk pengaman susah payah berpegangan pada pintu pemisah ruang awak dan penumpang kelas bisnis.

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam kokpit, pesawat itu menukik dengan kecepatan lebih tinggi. Tristan, Yudha, dan Jevan secara bersamaan terhempas ke belakang. Jangankan mereka yang tidak mengenakan sabuk pengaman, penumpang kelas bisnis yang bersabuk saja sampai ada yang terpental.

Alarm pesawat berbunyi, kali ini lebih cepat.

"Kepada seluruh penumpang, brace for impact! Brace for impact! Brace for impact!" seru co-pilot. Dengan susah payah, awak pesawat menoleh ke belakang dari tempatnya, memperagakan apa yang harus mereka lakukan untuk 'brace for impact' itu.

Tristan, Jevan, dan Yudha akhirnya berhasil mendudukan diri di kursi darurat ruang awak kabin, segera mereka mengeratkan sabuk pengaman, melakukan brace for impact itu sendiri.

Tristan menoleh ke jendela, pesawat semakin turun dan turun, mendekati laut. Pesawat itu akan segera mendarat darurat.

"Ya Allah, tolong selamatkan Kami semua. Sukseskan pendaratan darurat ini!" teriak Tristan dalam hati.

Pilot mulai menghitung mundur, "Mendarat dalam hitungan tiga …"

Riuh penumpang semakin terdengar. Kepanikan hebat melanda seisi kabin. Sekuat apa benturan pesawat itu dengan muka laut tidak ada yang tahu.

"Duaaa!"

Pesawat kini mengangkat hidungnya, semua penumpang kembali terhempas ke bangku masing-masing. Pesawat itu semakin mendekati laut.

Di depan, Tristan terus melihat ke luar jendela. Memikirkan kemungkinan seberapa banyak air yang akan masuk dan seberapa lama air laut akan merendam kabin.

"Satu!"

Benturan hebat dirasakan seluruh pengisi burung besi itu. Sayap pesawat patah, gesekan dengan permukaan air memperparah guncangan. Hampir sepertiga dari penumpang terhempas dari tempat duduknya, seatbelt mereka terlepas, dan mereka terbentur kesana kemari. Suara teriakan dimana-mana.

Pesawat itu belum berhenti, pilot dan co-pilot susah payah menurunkan kecepatan. Mereka mendarat di lautan yang sepi, tidak ada armada laut yang melintas, semua gelap gulita, bahkan lampu pesawat sudah padam sejak masih diatas langit.

Beberapa menit berjuang dalam ketakutan, akhirnya … pesawat itu berhasil dihentikan, kini benda itu mengambang di tengah laut.

"Berapa lama kapal penyelamat akan datang?"

"Tristan! Air laut mulai masuk di dari pintu darurat!"

"Di belakang, sepertinya banyak korban meninggal!"